Mereka Butuh Pendekatan Khusus Agar Patuhi Pembatasan
Sebagian warga urban sulit mematuhi protokol kesehatan karena memiliki kebiasaan dan pandangan hidup berbeda sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda pula.
Oleh
Aguido Adri/Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Vaksinasi Covid-19 mulai diberikan serentak kepada kelompok pertama penerima, khususnya pejabat publik dan tenaga kesehatan. Wali Kota Bogor Bima Arya, Kamis (14/1/2021), mengatakan, para pejabat publik yang telah divaksin dan dipublikasikan diharapkan mempertebal keyakinan publik untuk tidak takut menerima vaksin. Vaksinasi juga menjadi ikhtiar bersama memerangi, menangulangi pandemi Covid-19, dan upaya pencegahan terpapar virus.
Bima melanjutkan, vaksinasi harus berakselerasi dengan protokol kesehatan melalui pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). ”Mengapa harus PPKM? Covid-19 di Kota Bogor masih jauh dari aman dan terkendali. Per hari tercatat rata-rata 70 kasus. RS penuh, ICU 100 persen penuh, kamar isolasi 82 persen,” kata Bima.
Menurut Bima, meningkatnya kasus positif Covid-19 ini seiring dengan menurunnya kepedulian dan kesadaran warga terkait pentingnya protokol kesehatan.
”Kita semua tidak boleh berhenti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Seluruh jajaran pemkot, TNI/Polri, aparatur di wilayah selama dua minggu ke depan memastikan pengawasan untuk tidak terjadi kerumunan di lapangan,” kata Bima.
Penting bagi pemerintah pusat dan daerah transparan dalam menghadirkan data nama penerima bansos serta jadwal pasti pencairannya. Adanya kepastian adalah langkah awal masyarakat mau untuk tetap di rumah karena tidak perlu khawatir tak bisa makan.
Bima menegaskan akan memberlakukan sanksi teguran lisan, kerja sosial, hingga denda dan bahkan penutupan sementara atau berujung pada pencabutan izin usaha.
Apa yang ditegaskan Bima senada dengan imbauan dari pemimpin negeri ini mulai dari presiden, gubernur, hingga bupati dan wali kota di berbagai daerah. Namun, akankah PPKM kali berhasil?
Pantauan di wilayah Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, kemarin, memperlihatkan tidak ada perubahan perilaku masyarakat di saat PPKM. Warga bergerombol di sekeliling tukang sayur keliling dengan masker hanya melingkar di leher.
Seorang pesepeda motor tampak baru memakai masker ketika hendak memasuki toko. Hal itu karena di pintu toko ada tulisan semua pengunjung wajib bermasker.
Di Ibu Kota, tepatnya di Rawamangun, Jakarta Timur, warga di permukiman padat tetap beraktivitas di luar rumah. Di Jalan Cipinang besar menuju Banjar Kanal Timur, misalnya, enam pembeli mengerubungi seorang penjual cireng. Semua pembeli bermasker, tetapi penjual tidak bermasker.
”Enggak apa-apa. Ini, kan, nongkrongnya sama teman dekat semua. Lagian juga bosan di rumah melulu,” kata Fajri, warga Kelurahan Rawamangun yang tengah kongko di pos ronda bersama lima temannya.
Di Tempat Pemakaman Umum Kebon Nanas terlihat ada prosesi pemakaman sedang berlangsung. Peziarah berkerumun dengan masker tergantung di leher atau dagu.
Mencari kepastian
Sosiolog peneliti masyarakat akar rumput Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menjelaskan, perilaku ini ciri khas masyarakat yang mencari kepastian. Masyarakat miskin tidak memiliki kepastian apakah mereka masuk dalam daftar penerima bansos (bantuan sosial).
Kalaupun masuk daftar, tidak ada pengumuman transparan dari jauh-jauh hari mengenai kepastian jadwal pencairan bansos. Warga akar rumput tidak bisa menunggu lama karena ada kebutuhan hidup yang mendesak dipenuhi saat ini juga. Akibatnya, mereka rela mengambil risiko terpapar Covid-19 ataupun melanggar aturan pemerintah.
”Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah pusat dan daerah transparan dalam menghadirkan data nama penerima bansos serta jadwal pasti pencairannya. Adanya kepastian adalah langkah awal masyarakat mau untuk tetap di rumah karena tidak perlu khawatir tak bisa makan,” tutur Asep.
Penyebab lain banyaknya pelanggaran protokol kesehatan ialah minimnya pendidikan. Hal ini berlaku baik di kalangan sosial-ekonomi miskin ataupun kaya karena berarti tidak memahami adanya bahanya penularan Covid-19. Di golongan menengah dan atas akses mendapat tes antigen ataupun tes usap mudah, plus ada kemampuan membayar fasilitas perawatan yang baik apabila tertular virus.
Bagi masyarakat miskin yang kesulitan memperoleh akses tes serta pengobatan, budaya nongkrong menjadi permasalahan utama. Berbeda dengan kelas menengah-atas yang nongkrong demi hiburan, bagi warga miskin nongkrong adalah pelarian dari hidup. Sebagian dari mereka bisa berjam-jam kongko di pos ronda, warung rokok, trotoar, ataupun perempatan jalan menjadi petugas parkir ilegal atau polisi cepek.
Sebagian warga akar rumput urban, terlepas dari suku bangsanya, mereka lahir dan besar di wilayah perkotaan. Pemikiran yang berkembang ialah jarang memiliki konsep masa depan, hanya melihat kepada kebutuhan sekarang.
Berbagai program pemerintah pusat dan daerah di sektor pelatihan keterampilan kerja dari dulu gagal membenahi kelompok masyarakat ini. Sama dengan pendekatan kesehatan semasa pandemi juga sukar mereka pahami karena memang tidak ada kesadaran ataupun motivasi jangka panjang.
”Satu-satunya jalan ialah jika ada penggerak sebaya dari penduduk lokal yang dipacu dan digerakkan oleh dari pemerintah ataupun lembaga lain untuk mau mendampingi sesama warga membuat perubahan,” kata Asep.