Sukarelawan Penyelam Berjuang Bermodalkan Hobi dan Panggilan Moral
Tantangan para penyelam bukan hanya soal jarak pandang dan kondisi bagian tubuh diduga korban yang mudah hancur. Ada risiko yang senantiasa mengintai mereka: dekompresi.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tim penyelam TNI AL menemukan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di sekitar Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Eloknya alam bawah laut mendorong mereka untuk menguasai teknik menyelam. Namun, di waktu-waktu petaka terjadi karena kecelakaan pesawat, hobi mereka menjadi modal untuk mencari korban di laut. Berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu bisa mereka lewatkan tanpa berjumpa keluarga, demi keluarga korban yang berharap keajaiban.
Ajie Oye (58) rehat di atas kasur lipat atau biasa dikenal sebagai veldbed, Senin (11/1/2021) siang, di area JICT 2 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia baru tiba pada pagi hari dari Makassar, Sulawesi Selatan. Tenda yang menaungi veldbed-nya bakal menjadi ”hotel” bagi pria tiga anak itu hingga berhari-hari ke depan, entah berapa lama waktu pastinya.
Namun, berapa lama pun Ajie mesti tinggal di sana, demi kemanusiaan ia siap. Sebab, ia bagian dari 20 penyelam bersertifikat instruktur dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) yang menerima mandat menjadi sukarelawan. Mereka terlibat dalam operasi pencarian dan pertolongan (SAR) musibah pesawat Sriwijaya Air di perairan Kepulauan Seribu.
Sebagai seorang penyelam yang sudah punya kemampuan, apa yang bisa kita sumbangkan ke negara? Apakah hanya untuk bersenang-senang? (Ajie Oye)
”Di sini lebih makmur daripada di rumah sebenarnya,” gurau Ajie. Makan tersedia empat kali sehari bagi mereka. Masker dan vitamin juga terus disuplai agar mereka tetap bisa menjaga stamina, terutama di situasi pandemi Covid-19 dan karena mereka di JICT 2 mesti berada di tengah orang-orang yang berasal dari beragam tempat.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Ajie Oye rehat di atas veldbed, Senin (11/1/2021) siang, di Posko Sukarelawan Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) di area JICT 2 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ajie mengatakan, ia pada Minggu (10/1/2021) pagi menerima surat tugas untuk bergabung sebagai penyelam sukarelawan dalam operasi SAR Sriwijaya Air SJ-182. Tanpa ada protes, ia terbang ke Jakarta keesokan paginya dan menjadi penghuni sementara pelabuhan. ”Istri sudah paham,” ujarnya.
”Sebagai seorang penyelam yang sudah punya kemampuan, apa yang bisa kita sumbangkan ke negara? Apakah hanya untuk bersenang-senang?” tanya Ajie kepada diri sendiri. Pertanyaan yang senantiasa membawanya ke tempat operasi kemanusiaan kecelakaan pesawat.
Kali ini, ia kembali ke JICT 2, tempat yang sama untuk posko SAR kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, Oktober 2018. Sebab, Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak diduga jatuh di perairan Kepulauan Seribu, antara Pulau Lancang dan Pulau Laki, Sabtu (9/1/2021) sore, setelah baru tiga menit mengudara. Sebanyak 62 orang, termasuk 6 awak aktif, ada di dalam pesawat itu.
Pengalaman sewaktu SAR Lion Air lebih dari dua tahun lalu, Ajie menginap di JICT 2 selama enam hari. Untuk SAR kecelakaan Sriwijaya Air saat ini, ia belum bisa langsung ikut turun ke air. Selain karena belum ada perintah dari Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas), ia baru saja melakukan perjalanan udara sehingga berisiko bagi tubuhnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tim intai Amfibi TNI AL menemukan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di sekitar Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Saat ini, dua orang anggota POSSI tengah bertugas di tengah laut untuk ikut mencari serpihan badan pesawat atau jasad korban. Simon Boyke Sinaga (42), salah satunya. Ia sudah bermalam di laut, di atas Kapal Negara (KN) SAR Wisnu, sejak hari Minggu untuk membantu operasi yang dikoordinasikan Indonesia Divers Rescue Team (IDRT)
Pada Senin sekitar pukul 10.00, ia melakukan penyelaman pertama bersama dua anggota tim. Dari KN SAR Wisnu, terdapat sekitar 10 tim terjun ke laut untuk pencarian dan evakuasi.
Tim Simon menemukan sejumlah bagian badan pesawat dan semacam tas ransel yang berisi kartu kredit serta surat izin mengemudi (SIM). Identitas pada SIM merujuk pada seorang perempuan asal Pontianak, Kalimantan Barat, kota tujuan Sriwijaya Air SJ-182.
Pada penyelaman kedua pukul 14.00, tim Simon kembali menemukan bagian dari pesawat, seperti potongan jok penumpang serta sejumlah bagian tubuh manusia, antara lain tangan. Mungkin karena sudah membusuk, mereka kesulitan untuk mengangkat bagian-bagian tubuh tersebut. ”Begitu masuk ke kantong jenazah, langsung hancur lebur,” ucap aparatur sipil negara di Kementerian Kelautan dan Perikanan ini.
SIMON BOYKE SINAGA UNTUK KOMPAS
Penyelam POSSI, Simon Boyke Sinaga, bersama barang bukti kecelakaan pesawat Sriwijaya Air, saat sudah di atas KN SAR Wisnu, Senin (11/1/2021).
Simon menjelaskan, mereka menyelam di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, yang berkedalaman 17-20 meter. Dasar laut yang sarat lumpur membuat jarak pandang mereka terbatas. Pada penyelaman pertama, jarak pandang berkisar 4-5 meter, sedangkan pada penyelaman kedua lebih parah lagi, hanya sekitar 1 meter, mengingat langit semakin mendung. Setiap kali mereka mengambil bagian pesawat ataupun bagian tubuh manusia di dasar laut, lumpur tersibak dan berhamburan, makin menghalangi pandangan.
Tantangan para penyelam bukan hanya soal jarak pandang dan kondisi bagian tubuh yang diduga korban yang mudah hancur. Ada risiko yang senantiasa mengintai mereka: dekompresi. Ini adalah masalah yang timbul akibat tekanan tinggi di kedalaman laut. Penyakit yang bisa muncul, antara lain, kelumpuhan. Yang lebih fatal, kematian.
Namun, Budi Cahyono (49) alias Bucay, Koordinator Posko POSSI untuk SAR Sriwijaya Air SJ-182, yakin rekan-rekannya paham dan bisa menjaga diri dari bahaya dekompresi. Sebab, sertifikat instruktur didapatkan lewat proses yang panjang serta kursus dan ujian berjenjang-jenjang. Tingkat pertama disebut A1, yakni level open water scuba diving, berlanjut ke A2 (advanced scuba diving), A3 (rescue scuba diving), A4 (master scuba diving), baru masuk ke level B1 (instruktur).
KOMPAS/LASTI KURNIA
Dua sukarelawan penyelam Indonesia Dive Rescue Team (IDRT)-Potensi SAR Basarnas membawa naik kantong jenazah berisi bagian tubuh manusia korban kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP yang dievakuasi dari dasar perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, Minggu (4/11/2018).
Ajie, misalnya, menghabiskan waktu delapan tahun sejak mengantongi sertifikat A1 hingga berhasil menjadi instruktur. Ia pun paham batas waktu menyelam agar aman dari serangan dekompresi.
Saat penyelaman untuk SAR Lion Air, karena kedalaman perairan Karawang, Jawa Barat, bisa mencapai 40-42 meter, batas waktu amannya 6-7 menit. Adapun kedalaman laut di lokasi Sriwijaya Air diduga jatuh 20-an meter sehingga penyelam bisa di bawah laut dalam waktu lebih panjang, lebih kurang 16-20 menit.
Meski risiko menghadang, Ajie, Simon, dan Bucay terus menjawab panggilan kemanusiaan ke posko SAR kecelakaan pesawat. Mereka ingin hobi yang mereka jalani berbuah pahala.