Di mata keluarga, mereka adalah sosok teladan. Sebagian dikenal sebagai penyayang orangtua, penolong, dan penganjur kebaikan kepada yang lain.
Oleh
Kristi Utami / Aguido Adri / Aditya Diveranta / Yola Sastra / Kristian Oka Prasetyadi / Fajar Ramadhan
·5 menit baca
Saat orang-orang sekitarnya menaruh harapan, kabar tentang mereka makin mencemaskan. Hingga Minggu (10/1/2021) malam belum ada pihak yang memastikan keselamatan 62 jiwa dalam pesawat Sriwijaya Air SJ-182 setelah jatuh di perairan utara Jakarta.
Lewat doa, keluarga memohon mukjizat pada orang yang mereka cintai, sebagaimana yang diinginkan keluarga Panca Widia Nursanti (47). Ibu empat anak yang bekerja di Pontianak, Kalimantan Barat, itu baru pulang ke Tegal, Jawa Tengah, menjenguk ibunya yang sakit. ”Karena ibu sudah sehat, dia memutuskan untuk kembali ke Pontianak,” kata Nur Eka Cahyaningsih (54), kakak Widia di Tegal.
Kebahagiaan keluarga di Tegal tidak bertahan lama. Suami Widia di Pontianak, Rafiq Yusuf, menyampaikan bahwa Widia ada dalam pesawat Sriwijaya Air yang jatuh, Sabtu (9/1/2021) sore). Keluarga di Tegal sangat terpukul atas kejadian itu. Betapa tidak, Widia dikenal sebagai sosok yang berbakti dan sayang pada orangtua. ”Ibu sudah bilang kalau Widia tidak usah pulang ke Tegal, tapi Widia bersikukuh untuk pulang karena ingin merawat ibu yang sedang sakit,” ujar Nur.
Sejak tiba di Tegal pada Selasa (22/12/2020), Widia tidak pernah meninggalkan ibunya. Widia selalu merawat dan melayani ibunya yang sakit. Bahkan ia mengumpulkan saudara-saudaranya di rumah ibunya agar ibunya merasa senang. Keluarga Widia tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang menimpa perempuan itu. Mereka berharap, upaya penyelamatan dan pencarian korban dapat berjalan maksimal.
Kegundahan juga menyelimuti keluarga pilot Sriwijaya Air SJ-182, Kapten Afwan, di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pihak keluarga tidak ingin nasib tragis menimpa sosok yang dikenal religius dan penyayang itu. Keluarga berharap perwira Akademi Angkatan Udara lulusan tahun 1986 itu dapat ditemukan dalam keadaan baik. Sejak kabar pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh, kerabat dekat dan tetangga silih berganti mendatangi rumah Afwan untuk memberikan dukungan doa.
Dalam keseharian, ayah tiga anak ini aktif membantu pendirian masjid dan menyantuni anak yatim piatu di sekitar rumahnya. Adik Kapten Afwan, Buyung Ismiaufa, mengenal kakaknya dekat dengan anak-anaknya. ”Beliau adalah teladan. Kebaikannya selalu memberikan kami pelajaran untuk peduli dengan sesama,” kata Buyung.
Peristiwa naas yang dialami Afwan menjadi perbincangan di Sumatera Barat. Dia dikenal sebagai perantau asal Tanah Datar oleh warga setempat. Dalam daftar nama manifes pesawat, Afwan salah satu dari lima perantau di dalam daftar itu. Selain dia, perantau lain yang meninggal adalah kru ekstra Fadly Satrianto (Pesisir Selatan), penumpang Faisal Rahman (Tanah Datar), penumpang Asy Habul Yamin (Tanah Datar), dan Angga Fernanda Afriyon (Padang). ”Semoga para penumpang bisa segera ditemukan,” ujar Kepala Biro Kerja Sama, Pembangunan, dan Rantau Provinsi Sumbar Luhur Budianda.
Peristiwa naas ini terjadi saat banyak keluarga di Indonesia dirundung duka karena keluarganya meninggal selama pandemi Covid-19. Sementara keluarga yang lain berusaha membatasi bepergian untuk menghindari paparan virus SARS-Cov-2.
Namun, apa daya, manusia berharap, Tuhan yang berkehendak. Pesawat Sriwijaya SJ-182 jatuh tiba-tiba hanya 4 menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Kejadian ini membuat Martha Sari (32) tak berhenti menangis di sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Langkahnya berat saat dirinya tahu kalau Ricko (32), suaminya ada dalam kecelakaan pesawat itu.
Peristiwa ini membuyarkan kegembiraan keluarganya saat di libur pergantian tahun. Kabar kecelakaan itu mendorong Martha bersama ayahnya, Demianus Mahulette (56), bergegas ke Jakarta dari Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka terburu-buru ke posko antemortem rumah sakit untuk melaporkan sejumlah data tentang Ricko. Semua itu dilakukan dengan harapan agar ada kepastian dari proses pencarian itu.
”Rasanya baru beberapa hari lalu kami sekeluarga berkumpul dan menikmati kebersamaan. Semuanya tiba-tiba berubah dan kami harus buru-buru ke Jakarta seperti ini,” ujar Demianus, yang tampak lelah setibanya di Jakarta.
Martha dan Demianus harus menerima kabar pahit bahwa Ricko, bagian dari keluarga, harus pergi akibat kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 PK-CLC. Pesawat tujuan Bandara Supadio, Kalimantan Barat, tersebut hilang dari radar pada Sabtu pukul 14.40 WIB setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Banten.
Meski tahu bahwa harapan hidup penumpang kecil, keluarga berharap adanya mukjizat. Keluarga Diego Mamahit (33), kopilot Sriwijaya Air, berkumpul memanjatkan doa di Desa Suwaan, Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Mereka mengenakan baju hitam, seolah menyesuaikan dengan duka dan cemas yang melingkupi.
Di mata keluarga, Diego adalah anak baik yang dekat keluarga dan selalu aktif berkegiatan di gereja. Mereka merasakan kedekatan dengan Diego meski ia lahir di Surabaya, Jawa Timur, dan tak pernah benar-benar tinggal di Desa Suwaan ataupun Manado.
”Dia selalu telepon untuk minta dijemput, lalu menginap di sini. Jadi sangat melekat dengan kami,” kata David Tuerah (56), paman Diego.
Keluarga di Desa Suwaan pun terus memantau pemberitaan. Gambar-gambar potongan badan pesawat telah beredar di dunia maya. Mereka berharap kabar baik datang di tengah ketidakpastian tentang Diego.
Hingga Minggu petang, tim gabungan menemukan serpihan pesawat serta sejumlah bagian tubuh dalam operasi pencarian dan penyelamatan di sekitar Kapal Perang Republik Indonesia Rigel. Temuan tersebut diserahkan kepada tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Dalam operasi pencarian dan penyelamatan ini, pemerintah menerjunkan sejumlah tim serta mengerahkan tim gabungan, berbagai jenis kapal, dan tim penyelam dari sejumlah unsur.
Di tengah upaya pencarian itu, satu per satu keluarga korban mendatangi RS Polri Kramat Jati untuk mengonfirmasi penemuan kerabat mereka. Setidaknya 40 orang dewasa, 7 anak, 3 bayi, dan 12 kru pesawat itu masih dicari. Mereka adalah sosok teladan yang amat dicintai keluarganya.