Industri penerbangan, sebagaimana perbankan, sesungguhnya diatur sangat ketat oleh pemerintah. Industri penerbangan diatur ketat karena menyangkut keselamatan penumpang yang harganya tidak ternilai.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecelakaan pesawat dalam tiga tahun terakhir membuat sejumlah warga gamang memakai angkutan udara ini. Ada warga yang beralih ke moda lain. Ada pula warga yang berpikiran lebih tenang hanya dengan menggunakan maskapai layanan penuh (fullservice airline/FSA).
Pada Sabtu (9/1/2021), Sriwijaya Air SJ-182 jatuh di Kepulauan Seribu, Jakarta. Di pengujung Oktober 2018, Lion Air JT-610 jatuh di Laut Jawa, Karawang, Jawa Barat. Kedua pesawat itu jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta.
Kabar jatuhnya pesawat membuat sepupu Elsa Toruan (28) batal naik pesawat. Pekerja di perusahaan konsultan komunikasi ini menjelaskan, sepupunya akan berangkat dari Medan ke Jakarta akhir bulan ini. Sepupu Elsa yang berangkat bersama suami itu semula berencana naik pesawat.
”Awalnya naik pesawat, tetapi suaminyaenggak mau karena (kasus kecelakaan) Sriwijaya Air. Jadinya naik bus mereka,” ujar Elsa, Senin (11/1/2021).
Yedida Rani (36), warga Surabaya, Jawa Timur, cenderung lebih memilih maskapai FSA ketika bepergian. ”FSA juga jarang kecelakaan. Makanya aku merasa lebih tenang saja,” katanya.
Terakhir, Rani bepergian dengan menggunakan pesawat terbang pada Februari tahun lalu. Ia terbang dari Surabaya menuju Bali. Ketika berangkat, dia naik Garuda, maskapai dengan layanan penuh.
Arif Zulnanda Putra (29), karyawan di salah satu perusahaan BUMN di Jambi, menjelaskan, dirinya menggunakan pesawat dua kali setahun untuk perjalanan dinas. Insiden kecelakaan pesawat baru-baru ini membuatnya lebih selektif dalam menggunakan pesawat untuk perjalanan dinas tahun ini.
Jika perjalanan dinas memungkinkan ditempuh lewat jalur darat, dia akan menggunakan bus. ”Kalau waktunya mepet, ya, mau tidak mau harus pesawat,” ujarnya.
Wulan Andayani Putri (32), warga Jakarta Selatan, menjelaskan, setelah Lion Air JT-610 jatuh di Laut Jawa pada 2018, dirinya tak pernah benar-benar nyaman di atas pesawat. Ketika terjadi turbulensi sedikit saja, dia sudah cemas.
”Kalau suami yang bepergian, setiap sebentar cek flight radar,” ujarnya.
Ekonom A Tony Prasetianto (Kompas, 19/6/2015) menyebutkan, industri penerbangan sebagai bisnis dengan toleransi nol. Industri penerbangan, sebagaimana perbankan, diatur sangat ketat oleh pemerintah (the most regulated industry). Industri penerbangan diatur ketat karena menyangkut keselamatan penumpang yang harganya tidak ternilai.
Menurut pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia, Chappy Hakim, operasi penerbangan adalah kegiatan yang paling ketat. Setiap langkahnya harus mengacu pada rujukan yang standar (Kompas, 10/1/2021). Pengoperasian pesawat dan perawatannya diatur dengan operation manual dan maintenance manual selain sistem pengawasan yang harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku.
Pilot yang mengawaki terikat dengan regulasi yang baku secara internasional, antara lain harus melaksanakan cek kesehatan setiap enam bulan sekali dan profisiensi cek keterampilan, di antaranya simulator sebagai syarat utama memperpanjang masa berlaku lisensinya. Untuk keselamatan penerbangan, ketentuan, regulasi, aturan, prosedur standar, dan penggunaan check list diberlakukan dengan ketat disertai mekanisme pengawasan ketat.
Terkait kecelakaan pesawat, dia menjelaskan, tak ada korelasi antara usia pesawat dan kecelakaan. Sebab, kondisi pesawat yang diperkenankan untuk terbang sudah melalui banyak prosedur pemeriksaan dalam persiapannya. Bukan pesawat tua atau tidak tua, melainkan pesawat yang laik terbang atau tidak.
Chappy pun menyebut tak ada penyebab tunggal kecelakaan. Selalu ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab yang menyatu sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Secara garis besar, kecelakaan pesawat dapat terjadi karena kesalahan pilot, kerusakan teknis pesawat, dan cuaca buruk.