Kisah Keluarga FIC yang Sulit Mengakses Rumah Sakit Rujukan Covid-19
Pelacakan lemah dan rumah sakit rujukan Covid-19 yang penuh membuat penanganan pandemi Covid-19 tidak optimal. Warga yang ingin mendapat perawatan di rumah sakit hanya bisa pasrah.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
FIC (36) cemas dengan penanganan pandemi Covid-19 di kotanya, Depok, Jawa Barat. Hingga saat ini, ia masih mencemaskan kondisi salah satu keluarganya yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan gejala sesak napas dan kehilangan indra perasa.
”Pada 26 Desember kemarin, keponakan saya ada indikasi Covid-19 karena indra perasanya hilang, sesak napas, dan malamnya suhu tubuh panas. Esok harinya kondisinya masih sama. Kondisi itu masih terjadi hingga 29 Desember malam. Akhirnya, 30 Desember inisiatif tes mandiri, tes antigen di rumah sakit. Hasilnya positif,” kata warga Kelapa Dua, Depok, itu, Kamis (7/1/2021), sembari berpesan agar namanya disamarkan.
FIC yang terus kontak dengan keponakannya yang positif Covid-19 itu pun khawatir ia dan keluarga lainnya terpapar. Sejak dinyatakan positif hingga saat ini, keponakan FIC hanya melakukan isolasi di rumah bersama keluarga lainnya. FIC berusaha untuk membawa keponakannya ke rumah sakit rujukan agar mendapat perawatan intensif. Namun, sejumlah rumah sakit yang mereka tuju tidak bisa menerima karena ruang perawatan isolasi penuh.
FIC mengaku, sejak keponakannya positif, ia sudah melapor ke pengurus RT setempat agar dilaporkan ke puskesmas terdekat. Oleh pengurus RT, keluarga FIC dihubungkan dengan pihak puskesmas dan diminta untuk datang pada 2 Desember menjalani tes usap. Hasil tes usap menunjukkan positif.
”Saya pikir setelah tes usap, ada upaya penanganan lebih, ternyata tidak ada. Pelacakan kontak keluarga dan warga sekitar tidak ada. Akhirnya keponakan saya yang positif bersama ibu dan adik-adiknya isolasi mandiri. Begitu pula saya. Sementara anggota keluarga lain yang terpapar tetap bekerja. Pihak puskesmas hanya datang sekali untuk memberikan obat, itu pun mereka nitip ke pengurus RT,” kata FIC.
Saya pikir setelah tes usap, ada upaya penanganan lebih, ternyata tidak ada. Pelacakan kontak keluarga dan warga sekitar tidak ada. Akhirnya keponakan saya yang positif bersama ibu dan adik-adiknya isolasi mandiri. Begitu pula saya. Sementara anggota keluarga lain yang terpapar tetap bekerja.
FIC berharap pemerintah lebih tegas serta segera menangani kondisi dan situasi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Lemahnya penanganan pandemi dan penuhnya rumah sakit rujukan, menurut dia, membuat penanganan pandemi Covid-19 tidak akan pernah selesai dan semakin berbahaya.
”Anggota keluarga saya masih harus bekerja. Seharusnya, kan, tidak boleh bekerja karena anggota lainnya positif dan isolasi mandiri di rumah. Kalau kita keluar, artinya kita menyebarkan virus. Tapi, tidak mungkin tidak bekerja, kan, harus memenuhi kebutuhan. Kecuali pemerintah mau menjamin kita yang isolasi dapat bantuan, kebutuhan harian bisa terpenuhi,” kata FIC.
Sebelumnya, seperti diberitakan di kanal berita ini, Lapor Covid-19 juga memaparkan data laporan sejumlah warga terkait sulitnya mendapatkan ruang perawatan di rumah sakit bagi pasien Covid-19. Bahkan, seorang pasien ada yang sampai antre tiga hari sebelum mendapatkan ruang perawatan.
Keterisian ruang isolasi pasien Covid-19 dan ICU di Kota Depok memang terus meningkat sehingga membuat sejumlah warga kesulitan untuk mendapat penanganan intensif. Di tengah situasi tersebut, Pemerintah Kota Depok meminta bantuan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar ketersediaan ruang perawatan segera ditambah.
Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, saat ini bed ocupancy ratio atau tingkat keterisian tempat tidur untuk isolasi pasien Covid-19 mencapai 85 persen. Sedangkan untuk tempat tidur di ICU sudah mencapai 90,32 persen.
Terkait tingginya okupansi ruang perawatan pasien Covid-19, Pemkot Depok berikhtiar akan menambah tempat tidur isolasi dan ICU di rumah sakit-rumah sakit. Pemkot Depok mengaku akan mengumpulkan para direktur rumah sakit yang sudah diberi amanah menangani Covid-19 untuk membahas bersama masalah ruang perawatan pasien Covid-19.
”Kami mohon bantuan Pemprov Jawa Barat dan pemerintah pusat untuk juga memberikan bantuan peralatan sesuai dengan yang dibutuhkan,” kata Idris, Kamis.
Status Siaga 1 yang belum jelas
Penanganan di Kota Depok pasca-penetapan Siaga 1 oleh Gubernur Ridwan Kamil juga masih belum jelas. Idris mengatakan, pihaknya belum menerima parameter dan indikator-indakator mengenai informasi Kota Depok berstatus Siaga 1. ”Insya Allah kami akan tanyakan ke provinsi terkait ini. Kepada seluruh warga Depok untuk tidak resah dengan informasi ini,” kata Idris.
Pernyataan Idris itu merupakan respons terhadap Ridwan Kamil yang mengatakan, Kota Depok bersama Karawang berstatus Siaga 1 karena sudah satu bulan terakhir masuk zona merah. Sejak 2 Desember, Kamil menyatakan, okupansi ruang isolasi Covid-19 di Kota Depok sudah sekitar 80 persen. Dalam empat pekan ini, Depok juga belum lepas dari status zona merah atau paparan tinggi Covid-19. Tingginya angka kasus positif mengakibatkan ketersedian ruang perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit semakin penuh.
Idris mengatakan, pihaknya belum menerima parameter dan indikator-indikator mengenai informasi Kota Depok berstatus Siaga 1.
Idris melanjutkan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan satgas Provinsi Jawa Barat mengenai informasi selisih data Covid-19 antara Kota Depok dan pusat sejak Oktober 2020 karena pengendali data ada di Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat (Pikobar) provinsi.
Idris meminta agar Pikobar juga dapat memberikan akses serta ikut bersama-sama menyelesaikan masalah perbedaan dan selisih data Covid-19.
”Hal ini sangat penting dalam pandangan kami karena fungsi data salah satunya adalah untuk menghitung zona risiko daerah. Kami sudah komunikasi dengan Pusdatin Kementerian Kesehatan. Pusdatin Kemenkes sudah siap melakukan bridging data antara pusat dan Depok,” kata Idris.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana, mengatakan, pada Oktober 2020, selisih data real time Depok dengan pemerintah pusat mencapai sekitar 600 kasus. Terbaru dari data Selasa (5/1/2021), melebar mencapai 5.068 kasus. Data pada Selasa itu, Kota Depok tercatat ada 18.514 kasus Covid-19. Sebanyak 14.450 orang di antaranya sembuh dan 441 pasien Covid-19 meninggal. Sementara data dari pemerintah pusat hanya mencatat total 13.446 kasus Covid-19 di Depok, 10.679 orang sembuh, dan 204 orang meninggal.
”Kota Depok tetap menggunakan data real time. Yang Kota Depok publish adalah data real time karena ini menyangkut keselamatan manusia. Data yang digunakan salah satunya untuk menghitung zona risiko daerah oleh Satgas Pusat, mengambil data dari Pusdatin Kementerian Kesehatan. Untuk kabupaten dan kota di Jawa Barat, fasilitas untuk data itu memang dikendalikan oleh Pikobar Jawa Barat,” kata Dadang.
Dualisme data, kata Dadang, dikhawatirkan bakal bermuara pada koordinasi penanganan pandemi yang pelik antara pusat dan daerah. Dadang meminta agar Pikobar Jawa Barat segera memberi akses rekonsiliasi data sesuai dengan kasus Covid-19 terkini yang dicatat Depok.
”Kami mohon kepada provinsi, dalam hal ini Pikobar, untuk memberikan akses, terutama kepada pusat. Kalau ini didiamkan secara terus-menerus, gap (selisih) data akan makin tinggi. Mari kita gunakan data real time sesuai dengan kasus yang terjadi di daerah,” ujar Dadang.