Pandemi menyurutkan pendapatan para pelukis wajah. Hidup yang kusam berbanding terbalik dari indahnya wajah tokoh hasil goresan tangan mereka. Namun, mereka enggan menyerah.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pendapatan sempat anjlok, para pelukis jalanan tak pernah gentar menghadapi situasi sulit saat pandemi Covid-19. Sebagian besar dari mereka masih bertahan karena telanjur kepincut dengan dunia seni lukis yang sudah menghidupi mereka selama ini.
Di emperan trotoar Jalan Pintu Besar Selatan, Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat, Jumat (8/1/2021) siang, Yono (58) terlihat santai melukis sosok pria paruh baya pada sebuah media kertas. Saking santainya, pelukis jalanan asal Pasuruan, Jawa Timur, itu masih sempat melempar senyum kepada beberapa pejalan kaki yang melintas.
Dibalik ketenangannya itu, hidup Yono sebenarnya kempas-kempis. Ia harus berjuang agar bisa mencukupi kebutuhan perut dari hari ke hari. ”Besar banget dampaknya, tetapi alhamdulillah sekarang masih dapat pesanan meskipun enggak banyak,” ujarnya saat ditemui.
Dari 30 pelukis jalanan yang biasanya mengemper di sepanjang Jalan Pintu Mangga Besar Selatan, kini hanya ada sekitar 10 pelukis yang masih bertahan, termasuk Yono. Sisanya memilih mencoba peruntungan lain di kampung halaman.
Bagi Yono, niat gulung tikar itu tidak pernah tebersit sedikit pun. Dia memilih bertahan walaupun terseok-seok. Meski pesanan datang tak tentu, dia tetap menjajakan jasa melukis wajah dari pagi hingga malam. Ritual ini kadung menggoreskan kecintaan akan profesi yang ditekuni sejak tahun 2002 itu.
”Mau buka usaha yang lain juga sama saja. Sekarang serba sulit,” katanya.
Di awal masa pandemi Covid-19, Yono mengaku kesulitan mencari pembeli. Pendapatannya saat itu tidak sampai menyentuh angka Rp 1 juta sebulan. Padahal, sebelum pandemi, pendapatannya bisa Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan.
”Saking drastisnya pendapatan, saya belum bisa pulang kampung. Padahal, biasanya setahun pulang tiga kali,” katanya. Nyaris setahun ini pula, Yono tak bisa berjumpa langsung dengan anak-istri yang bermukim di kampung.
Yono menyadari, di masa normal saja, lukisan bukan kebutuhan prioritas untuk dipenuhi. Apalagi, kala pandemi datang, orang-orang lebih mementingkan kebutuhan esensialnya. Lukisan pun kian tercoret dari daftar kebutuhan orang.
Jiwa yang sudah tertambat pada lukisan saja yang meneguhkan Yono melakoni hari demi hari yang sukar. Setelah bulan-bulan awal yang amat berat, kini Yono bersyukur lantaran pendapatan berangsur membaik. Tentu saja jumlahnya belum sepadan dengan masa sebelum pandemi. Pada bulan lalu, misalnya, Rp 3 juta mengisi kantong ayah satu anak ini.
Selama ini penghasilan terbesar Yono didapatkan para pelanggan. Pelanggan biasanya memesan lukisan Yono untuk kado perpisahan bagi atasannya, kado untuk pasangan, atau untuk koleksi pribadi.
Awalnya, pelanggan sekadar melintas di Jalan Pintu Besar Selatan sebelum akhirnya kepincut dengan karya-karya Yono dan memesan gambar. Kini, karena aktivitas pariwisata di Kota Tua Jakarta masih terbatas, pejalan kaki di Jalan Pintu Besar Selatan juga ikut sepi. Satu-dua orang saja yang berjalan di lokasi Yono menawarkan jasa. Pelukis jalanan pun kesulitan mendapatkan pelanggan baru.
”Saat ini cuma mengandalkan langganan. Kemarin ada beberapa langganan yang lewat sini. Mereka minta maaf enggak bisa pesan dulu,” ujar pelukis otodidak ini.
Untuk sebuah lukisan dengan media kertas berukuran 30 sentimeter × 40 sentimeter persegi, Yono mematok harga sekitar Rp 650.000 per tokoh. Jika ada dua tokoh yang harus dilukis dalam satu bingkai, tarifnya ditambah separuh harga menjadi Rp 925.000. Ada kalanya Yono memakai kanvas apabila pelanggan memesannya. Gambar wajah dihasilkan Yono dari goresan pensil dan krayon khusus.
Jasa mural
Minimnya pemesan lukisan juga dialami Erik (38), pelukis jalanan lain di Jalan Pintu Besar Selatan. Dia bahkan harus mencari sumber penghasilan tambahan agar tetap bisa bertahan hidup di masa pandemi Covid-19 ini.
Selain melukis di trotoar, dia kini juga melayani pembuatan mural untuk kafe-kafe. Mural yang dia buat juga bukan sembarang mural, melainkan mural tiga dimensi.
”Sebenarnya sudah lama saya belajar membuat mural tiga dimensi. Namun, karena pandemi ini sekarang saya jadi rajin cari pelanggan lewat media sosial,” ujarnya.
Terakhir, Erik baru saja membuat mural untuk sebuah kafe di kampung halamannya, Sukabumi, Jawa Barat. Kamar mandi kafe tersebut bahkan dia sulap menjadi seperti akuarium yang berisi ikan hiu. Mural tersebut sempat dia pamerkan di akun instagramnya, @mural.art.3d.
Erik mengungkapkan, tarif untuk sekali membuat mural setara dengan penghasilannya setengah bulan melukis di pinggir jalan. Sebelum pandemi, pendapatannya dari melukis bisa mencapai Rp 6 juta dalam satu bulan.
”Sekarang sudah mulai meningkat dibanding awal-awal pandemi. Sekarang bisa dapat Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan khusus melukis. Kalau awal pandemi benar-benar parah,” ungkapnya.
Keahlian Erik melukis mural tiga dimensi bukan didapatkan secara otodidak. Dua tahun lalu, dia pernah terpilih dalam ajang audisi pembuatan Museum 3D di kawasan Kota Tua Jakarta. Dia diminta membantu tim pembuat mural asal Korea Selatan untuk proyek museum tersebut.
”Saya dapat ilmu dari tim Korea Selatan itu. Pas pandemi gini, saya kepikiran untuk menyediakan jasa ini. Kebetulan sekarang lagi banyak kafe yang bikin konsep mural,” katanya.
Tak ada pesanan perusahaan
Ali (55), pelukis di kawasan Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat ,juga tak kalah menderita dengan kemunculan Covid-19. Selama ini, pelanggan terbesarnya datang dari kalangan perusahaan. Mereka biasanya memakai jasa Ali untuk membuatkan lukisan setiap ada acara perpisahan atasan atau ulang tahun karyawan.
Di masa pandemi Covid-19 ini, permintaannya jauh berkurang lantaran banyak perusahaan yang menjalani work from home (WFH). ”Cuma ada beberapa yang masih pesan. Itu juga lukisannya langsung dikirim ke rumah yang bersangkutan, bukan di kantor,” kata anggota dari Komunitas Pelukis Pasar Baru (Komppas) ini.
Jika di masa normal Ali biasa mendapatkan Rp 5 juta per bulan, saat ini Ali hanya bisa mendapatkan separuhnya. Malahan, di awal masa pandemi dirinya kesulitan mendapatkan uang Rp 1 juta sebulan. Dia juga sempat menutup kiosnya selama sebulan karena PSBB. ”Saya dan istri jual emas demi bertahan hidup. Waktu itu buat makan saja susah,” katanya.
Kendati demikian, hal tersebut bukan sesuatu yang mengagetkan bagi Ali. Baginya, pelukis mesti tahan banting. Jika tidak, pelukis tidak akan mampu bertahan.
”Pelukis pasti pernah dikritik atau karyanya tidak dihargai. Pandemi ini kondisinya hampir sama. Kita sabar saja kalau karya kita tidak laku,” kata pria yang sudah 22 tahun menjadi pelukis ini.
Pandemi yang entah kapan berlalu ini mengombang-ambingkan nasib para seniman jalanan seperti Yono, Erik, dan Ali. Pendapatan yang tak menentu membuat kusam hidup mereka. Ini berbanding terbalik dari indahnya wajah tokoh hasil goresan tangan mereka. Namun, ketelatenan menorehkan goresan demi goresan ikut membentuk kekokohan semangat untuk bertahan di tengah kehidupan yang muram.