Tewasnya Pelaku Curanmor dan Kekerasan yang Tak Berujung Pangkal
Kematian pelaku curanmor di Tangsel usai diamuk massa menimbulkan tanda tanya. Benarkah main hakim sendiri menyelesaikan masalah atau cermin melemahnya kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·6 menit baca
Menyisakan busana minim, F, warga Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terkapar tak berdaya di atas tumpukan sampah di tepi Jalan Haji Jamat, Buaran, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, Selasa (5/1/2021) pagi. Kedua tangannya terikat di belakang pinggang. Di sekelilingnya, puluhan warga mengerumuni tubuh F yang setengah pingsan. Beberapa di antaranya mengambil video dan foto.
Pagi itu, F baru saja dihajar beramai-ramai oleh warga. Ia tepergok saat hendak mencuri satu unit sepeda motor di sebuah rumah kontrakan. Ia beraksi bersama seorang rekannya. Di tengah kepungan massa, mereka berpencar. Namun, hanya F yang kemudian tertangkap warga setelah sempat bersembunyi di semak-semak, sekitar 1 kilometer dari lokasi percobaan pencurian.
Rere Novianti (33), salah seorang warga yang tinggal di lokasi percobaan pencurian, menuturkan, kejadian berlangsung pukul 06.15 pagi. Kala itu suaminya mencurigai gelagat mencurigakan dari orang asing mengenakan helm yang mencoba membongkar kunci sepeda motor yang diparkir di halaman rumah kontrakan.
F mendapat perawatan dokter. Namun, kondisinya semakin kritis dan satu jam setelahnya ia dinyatakan meninggal.
Suami Rere kemudian meneriaki pelaku yang langsung lari terbirit-birit menuju pintu gerbang. Di sana, F yang berada di atas sepeda motor juga ikut panik melihat temannya dikejar warga. F pun terjatuh dari sepeda motor. Ia dan temannya itu langsung mengambil langkah seribu, menyelamatkan diri dari kejaran warga. Di tengah upaya pelarian, mereka berpencar.
Beberapa menit setelah merasa situasi cukup aman, F keluar dari persembunyiannya. Perhitungannya ternyata meleset, warga masih berkeliling di sekitar sana mencari keberadaannya. Sontak seorang ibu berteriak. Tanpa pikir panjang, warga mengejar dan menangkap F.
Kendati telah memohon ampun dan mengakui perbuatannya, F tetap menjadi sasaran amuk warga. Wajahnya menjadi sasaran pukulan. ”Elu enggak pernah ngerasain kehilangan motor, ya!” teriak salah seorang warga sambil memukuli wajah F.
Udin (49), warga yang rumahnya berada di samping lokasi penangkapan F, menceritakan, F dipukuli bertubi-tubi hingga tak sadarkan diri. Warga lalu menelanjangi dan meletakkan tubuhnya di atas tumpukan sampah di tepi jalan. Beberapa saat kemudian, polisi tiba. Mereka membawa F ke Rumah Sakit Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk mendapatkan perawatan.
Kepala Kepolisian Sektor Serpong Komisaris Supriyanto menyampaikan, F menderita luka yang cukup serius saat dibawa polisi. Tidak banyak keterangan yang bisa digali polisi dari F pada saat itu karena ia sudah tak bisa berbicara.
Setelah tiba di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, F mendapat perawatan oleh dokter. Namun, kondisinya semakin kritis dan satu jam setelahnya ia dinyatakan meninggal.
Rawan curanmor
Pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di Tangsel dari tahun ke tahun kian marak. Data Kepolisian Resor Tangsel, sejak 2015 hingga 2018 jumlah kasus curanmor cenderung naik. Pada 2015 tercatat 252 kasus curanmor. Jumlahnya meningkat tajam menjadi 354 kasus pada 2016. Tahun 2017, jumlah kasus curanmor di Tangsel sempat turun menjadi 211 kasus, tapi kemudian naik lagi menjadi 374 kasus pada 2018.
Berbagai cerita pilu turut mengiringi sejumlah kasus curanmor di Tangsel. Kasus pelaku curanmor meninggal sebagaimana dialami F bukan pertama kali terjadi. Peristiwa sadis terjadi pada 24 Februari 2015 ketika begal sepeda motor tanpa identitas dibakar massa hidup-hidup di Pondok Aren, Tangsel. Adapun tiga pelaku lainnya melarikan diri (Kompas, 25/2/2015).
Kekerasan terhadap pelaku curanmor terus berlanjut. Pada 1 September 2020, dua pelaku curanmor berinisial FI dan NN babak belur dihajar warga di kawasan Gading Serpong, Tangsel. Aksi mereka digagalkan warga yang kemudian melampiaskan kekesalannya hingga polisi akhirnya datang menyelamatkan.
Sikap permisif pada main hakim sendiri atau vigilantisme merupakan penanda rendahnya kepercayaan pada polisi. (Reza Indragiri)
Kasus lainnya pada 31 Agustus 2020, ketika pelaku curanmor tewas tenggelam di sebuah sungai di Jalan Raya Kelapa Dua, Gading Serpong, Tangsel. Pelaku saat itu ketahuan warga sekitar saat beraksi. Oleh karena ketakutan hendak diamuk massa, pelaku memilih menceburkan diri di sungai. Rupanya ia tak bisa berenang, yang kemudian tewas tenggelam.
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, mengemukakan, aksi main hakim sendiri (vigilantisme) sangat sering terjadi. Dihakimi massa boleh jadi jauh lebih mengerikan bagi pelaku curanmor dibandingkan ditangkap polisi. Ia mengutip pernyataan Albert Bandura, psikolog dan penggagas teori kognitif sosial, yang mengatakan, ketika hukum formal dirasa tidak ampuh memunculkan efek gentar, sanksi sosial lebih bisa diharapkan.
Lebih lanjut ia mengatakan, sesuai penelitian, dukungan masyarakat pada aksi-aksi vigilantisme dipengaruhi derajat kepercayaan umum pada polisi. Sikap permisif pada vigilantisme merupakan penanda rendahnya kepercayaan pada polisi.
”Begitu pula rendahnya respons polisi akan mempertinggi dan mengarah pada tingginya dukungan pada vigilantisme,” kata Reza.
Pendapat serupa juga dikemukakan Les Johnston dalam British Journal of Criminology (1996). Ia menjelaskan, fenomena vigilantisme muncul sebagai reaksi masyarakat atas ketidakberdayaan atau keengganan negara menegakkan hukum.
Johnston menyebut, seiring adanya prasangka terhadap disfungsinya penegak hukum, hal itu berkonsekuensi terhadap tindakan masyarakat yang merasa harus bergerak sendiri untuk mengadili pelaku kejahatan.
Tidak dibenarkan
Kendati demikian, Reza tidak membenarkan perilaku vigilantisme oleh masyarakat. Jika mengacu pada hukum, aksi main hakim sendiri jelas-jelas merupakan tindak pidana.
Menyikapi kondisi tersebut, Reza menyarankan kepolisian menangkap para pelaku aksi main hakim sendiri dan memprosesnya secara pidana. Polisi mestinya meningkatkan daya respons mereka. Kepercayaan masyarakat pada polisi harus terus diperkuat. ”Tapi, itu juga kalau polisi sanggup. Sebab, jumlah polisi belum sebanding dengan jumlah masyarakat,” katanya.
Penjelasan dan teori yang dikemukakan Reza sejalan dengan fakta di lapangan. Dari keterangan Udin dan Rere, aksi main hakim sendiri tersebut terjadi karena kekesalan warga yang memuncak terhadap kian seringnya kejadian curanmor belakangan ini.
Kondisi itu sekaligus mencerminkan hilangnya hak warga merasa aman. Pada saat ada pelaku curanmor tertangkap basah, alih-alih menahannya untuk diserahkan kepada pihak berwajib, warga justru menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kekesalan.
”Dulu tergolong jarang. Sekarang ini semenjak pandemi sudah mulai sering ada warga yang kemalingan motor. Mungkin karena banyak yang kehilangan pekerjaan terus akhirnya ambil jalan pintas,” ujar Udin.
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Serpong Inspektur Satu Lutfi Hayata mengatakan, pihaknya masih mengejar seorang pelaku rekan F yang melarikan diri. Petunjuk tentangnya tergolong minim mengingat F telah tewas. Namun, sejauh ini polisi telah memeriksa tiga saksi yang merupakan warga Kelurahan Buaran.
Lutfi melanjutkan, polisi juga tengah melakukan penyelidikan terkait adanya unsur pidana dalam peristiwa pengeroyokan terhadap F. Namun, ia masih enggan membeberkan sejauh mana perkembangan penyelidikan tersebut.
”(Penyelidikan) masih di tahap awal. Tentu polisi bekerja termasuk mencari tahu apakah ada unsur pidana di sana (penganiayaan terhadap F),” katanya.
Sejalan dimulainya penyelidikan dugaan penganiayaan, tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus curanmor di Buaran. Dari sana, bisa dipetik pelajaran bahwa tindakan kekerasan tak akan pernah menyelesaikan persoalan. Justru menambah satu permasalahan baru yang sejatinya tidak perlu muncul.