Mampetnya Keran Rezeki Tahun Baru di Tempat Tamasya
Penutup 2020 yang pahit bagi pelaku bisnis wisata Ibu Kota mesti diterjemahkan sebagai pembakar gairah berkreasi dan berinovasi, agar mampu bertahan terhadap hantaman pandemi di 2021.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·7 menit baca
Pergantian tahun layaknya pembuka keran rezeki di tempat-tempat tamasya Ibu Kota. Tidak hanya pengelolanya yang mendulang lebih banyak rupiah, tetapi juga pedagang kecil yang menumpang mencari nafkah di sana. Mereka tetap menantikannya setiap Desember meski aliran rezeki hanya ibarat tetesan jika dibandingkan yang dinikmati pengelola.
Sayangnya, keran rezeki Tahun Baru pada peralihan 2020 ke 2021 mampet secara disengaja gara-gara virus korona, terutama bagi tempat-tempat wisata yang biasa meraup untung dari timbulnya kerumunan pengunjung. Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta Selatan, dan Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta Utara mesti rela meniadakan kunjungan tanggal 25 Desember 2020, 31 Desember 2020, dan 1 Januari 2021, padahal tanggal-tanggal itu tiga hari ”emas” dalam masa libur Natal dan Tahun Baru.
Kesulitan para pengelola tempat wisata tecermin dari kesusahan pedagang yang ada di dalam ataupun di sekitarnya meski mereka tidak terhubung secara organisasi. Di TMII, penjual es cendol bernama Waluyo (35), Sabtu (2/1/2021), kembali bekerja setelah hampir sepekan menganggur, mematuhi anjuran di rumah saja selama libur Natal dan Tahun Baru. Merek Rejeki Mili (rezeki mengalir, dalam bahasa Jawa) tertulis di pikulan cendolnya menjadi doa bagi kelancaran usahanya yang entah kapan terwujud di zaman susah seperti sekarang.
”Sudah dua tahun ini tidak merasakan tahun baruan,” keluh Waluyo saat ditemui pada siang yang berawan. Pesta Tahun Baru bagi dia bukan perayaan dengan kembang api dan trompet, melainkan perayaan ludesnya cendol dagangannya.
Sudah dua tahun ini tidak merasakan tahun baruan.
Di Tahun Baru 2019, Waluyo mampu menjual 120 gelas es cendol yang dipatok seharga Rp 10.000 per porsi. ”Sebelum-sebelumnya lagi bisa lebih, 150, 160, 170 gelas pernah. Hanya Tahun Baru 2020 dan 2021 yang tidak ada penghasilan,” ujarnya.
Setahun lalu, 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, Waluyo memilih untuk tidak berdagang karena hujan deras menyerbu Jakarta dan mengakibatkan banjir di mana-mana. Ia yakin jumlah pengunjung TMII turun drastis.
Peralihan tahun sekarang, pria yang sudah menyajikan cendol di TMII sejak tujuh tahun lalu itu sebenarnya menaruh harap bisa mengulang kesuksesan Tahun Baru yang dinikmati hingga Tahun Baru 2019. Apalagi, cuaca lebih bersahabat dibandingkan tahun lalu. Apa daya, operasional TMII diputuskan untuk ditutup pada 31 Desember dan 1 Januari.
Plus, selama sepuluh bulan pandemi tahun lalu, omzet Waluyo sudah merosot 75 persen. Istrinya di Kudus, Jawa Tengah, sampai menjual gelang emas agar kebutuhan susu buah hati mereka yang baru berusia 3,5 tahun tidak terputus.
Kepala Bagian Humas dan Promosi TMII Suseno mengatakan, pengunjung TMII setiap 31 Desember rata-rata mencapai 70.000 orang, karena banyak di antara mereka yang juga hendak menyambut Tahun Baru di sana. Pada 31 Desember 2020, TMII berarti melepas peluang mendapatkan pemasukan hingga Rp 1,4 miliar mengingat tarif tiket masuk per individu Rp 20.000. Belum lagi jika ditambah biaya masuk bagi sepeda motor yang Rp 15.000 per unit, mobil Rp 20.000 per unit, dan bus Rp 40.000 per unit.
”Harapan kami untuk tahun 2021, semoga Covid-19 cepat sirna dari Indonesia karena itu sangat memengaruhi perkembangan perekonomian,” ujar Suseno. Meski berat, TMII, menurut dia, masih mampu memenuhi kebutuhan operasional rutin sejauh ini.
Harapan kami untuk tahun 2021, semoga Covid-19 cepat sirna dari Indonesia karena itu sangat memengaruhi perkembangan perekonomian.
Di sekitar Ragunan, pedagang kaki lima (PKL) tidak ambil pusing jika kebun binatang itu ditutup pada 25 Desember dan 31 Desember serta 1 Januari. Sebab, mereka sudah terbiasa dilarang berjualan di tanggal tersebut agar lalu lintas kendaraan wisatawan tidak tersendat.
Yang menjadi masalah, Ragunan tidak kunjung buka hingga batas waktu yang belum ditentukan, sejak 30 Desember. Padahal, biasanya para PKL masih bisa berharap di tanggal 2-5 Januari ketika mereka diizinkan berdagang lagi, mengingat jumlah kunjungan masih lumayan hingga periode itu.
Seorang penjual es campur, Paiman (60), mencoba peruntungan dengan buka di hari Jumat (1/1/2021), mumpung tidak ada larangan. Namun, tutupnya Ragunan menutup juga pintu pendapatan bagi pria yang sudah berjualan di seberang Ragunan sejak 1986 itu. ”Kemarin tanggal satu tidak ada yang beli. Sama sekali!” ujarnya.
Mampetnya keran rezeki Tahun Baru saat ini melengkapi penderitaan keluarga Paiman setelah sepuluh bulan dijajah wabah Covid-19. Jika biasanya Paiman bisa menjual 15-20 porsi es campur per hari setiap akhir pekan dengan harga Rp 10.000 per mangkok, sejak pandemi ia pada akhir pekan hanya mampu menjual 7-10 porsi per hari. Selain itu, istrinya sudah tidak mampu membantu menambah pundi-pundi keluarga sejak terserang stroke dua tahun silam.
Kepala Unit Pengelola Ragunan Ketut Widarsana mengatakan, kebijakan menutup operasional Ragunan mulai 30 Desember hingga batas waktu yang belum diketahui merupakan arahan dari pimpinannya. Namun, ia pun mengaku belum mendapat informasi jelas tentang alasan yang mendasarinya. ”Maka, yang saya sampaikan ke teman-teman media juga baru sebatas itu,” ujarnya.
Walakin, menurut Ketut, terus melonjaknya kasus positif Covid-19 bisa jadi merupakan salah satu pertimbangan pimpinan Ragunan untuk menutup sementara tempat tersebut. ”Nanti kalau buka kembali akan kami informasikan,” ujarnya.
Ketut menuturkan, sebelumnya Ragunan berencana untuk tutup sesuai arahan terhadap tempat-tempat wisata ruang terbuka di Jakarta, yakni hanya pada 25 dan 31 Desember serta 1 Januari. Dasarnya, Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengendalian Kegiatan Masyarakat dalam Pencegahan Covid-19 di Masa Libur Hari Raya Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, Seruan Gubernur DKI 17/2020 tentang Pengendalian Kegiatan Masyarakat dalam Pencegahan Covid-19 Pada Masa Libur Hari Raya Natal 2020 Dan Tahun Baru 2021, serta Surat Edaran Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI 38/2020.
Ketut mengakui, penutupan Ragunan pada libur Natal dilanjutkan dengan mulai 30 Desember hingga batas waktu yang belum ditentukan merupakan sebuah pengorbanan besar bagi tempat wisata yang salah satu sumber pemasukan andalannya dari penjualan tiket masuk.
Sebagai gambaran, setiap hari libur nasional, termasuk libur Tahun Baru tanggal 1 Januari, pengunjung Ragunan rata-rata 160.000 orang dalam satu hari. Sebelum pandemi, pengunjung pada Sabtu umumnya 15.000-20.000 orang sehari dan di hari Minggu 40.000-50.000 orang sehari.
Meski demikian, penutup 2020 yang pahit bagi pelaku bisnis wisata Ibu Kota mesti diterjemahkan sebagai pembakar gairah berkreasi dan berinovasi agar mampu bertahan terhadap hantaman pandemi di 2021.
Vaksin memang digadang-gadang sudah tersedia tahun ini dan bakal disuntikkan secara bertahap supaya kekebalan tubuh masyarakat tercipta. Setelah itu, orang-orang diharapkan bebas jalan-jalan lagi, menghidupkan kembali usaha turisme. Namun, kebangkitan tidak bisa menunggu vaksinasi. Kebutuhan hidup terus datang setiap hari.
Tren vakansi yang tertangkap sepanjang wabah Covid-19 bisa jadi panduan berinovasi. Khrisnamurti, pengajar Program Studi D-III Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, menilai wisata yang populer di masa pandemi sepanjang 2020 yakni berupa aktivitas luar ruang dan minim kerumunan.
Contohnya, wisata jalan kaki atau mendaki di curug-curug di daerah Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, makin dikenal oleh pelancong asal Jakarta. Turisme penjelajahan semacam itu cocok dikembangkan di Indonesia. ”Kita secara geografi punya banyak gunung dan laut ada di mana-mana,” ujar Khrisnamurti.
TMII, Ragunan, dan Ancol memang mengandalkan salah satunya area terbuka untuk memikat wisatawan. Sayangnya, menurut Khrisnamurti, potensi kontak antarmanusia di tempat-tempat itu masih tinggi, sedangkan wisata minim kerumunan demi mencegah tertular Covid-19 adalah yang sedang banyak dicari.
Namun, pandemi tidak hanya menyodorkan tantangan. Khrisnamurti berpendapat, wabah Covid-19 membuat pariwisata lokal lebih naik daun. Warga cenderung lebih memilih untuk pergi ke obyek yang dekat dengan rumahnya atau jika jauh masih dalam wilayah Indonesia. Ini merupakan peluang.
Kondisi tersebut sejalan dengan laporan yang disusun World Travel and Tourism Council (WTTC) bekerja sama dengan Oliver Wyman (September 2020). Laporan itu menyebutkan, 58 persen pelancong akan memprioritaskan kunjungan ke destinasi-destinasi domestik hingga 2020 berakhir. Salah satu pendorongnya, 80 persen pelancong khawatir potensi terjebak di tempat jauh jika ternyata kasus Covid-19 melonjak dan mengakibatkan karantina wilayah.
”Domestic tourism, secara global juga ada tren itu, sama seperti pasca-Bom Bali 1 dan 2 (tahun 2002 dan 2005). Sebelumnya, fokus ke turis asing, kemudian karena yang menolong wisatawan domestik, dari dulunya dollar AS sekarang rupiah,” ujar Khrisnamurti.
Namun, yang perlu diingat, orang-orang kecil yang bergantung pada denyut wisata di obyek-obyek besar hampir pasti tidak memiliki kapasitas memadai untuk berinovasi menyesuaikan diri dengan permintaan pasar. Di sinilah, menurut Khrisnamurti, peran pemerintah dalam pemberdayaan perlu dioptimalkan untuk menunjukkan adanya pilihan jalan lain. Misalnya, program pelatihan prakerja seperti yang berjalan selama pandemi di 2020 perlu dirancang agar sebisa mungkin membukakan keran rezeki baru bagi pekerja informal macam Waluyo dan Paiman.