Publik Dukung Keputusan DKI Perpanjang Pembelajaran Jarak Jauh
Guru-guru telah membangun sistem PJJ selama hampir satu tahun terakhir. Sistem itu sudah dinilai cukup stabil sehingga lebih baik pemerintah jangan mengambil risiko yang membahayakan keselamatan guru serta siswa dulu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pembelajaran luring atau tatap muka di sekolah disambut baik oleh organisasi guru. Meskipun demikian, harus ada evaluasi serta pembenahan metode pembelajaran jarak jauh atau PJJ guna memastikan bahwa guru serta siswa sama-sama memperoleh hasil yang optimal di tengah masa sulit akibat pandemi Covid-19.
Pengumuman itu disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana pada Sabtu (2/1/2021). Semester genap tahun ajaran 2020/2021 tetap dilakukan di tempat tinggal masing-masing dengan alasan untuk keselamatan siswa dan guru, mengingat penularan virus korona baru belum sepenuhnya bisa ditanggulangi.
”Kami juga mengkaji kesiapan semua sekolah di Jakarta pada fase PJJ sekarang. Acuannya adalah standar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Keputusan Kadisdik Jakarta 1130/2020,” kata Nahdiana.
Kami juga mengkaji kesiapan semua sekolah di Jakarta pada fase PJJ sekarang. Acuannya adalah standar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Keputusan Kadisdik Jakarta 1130/2020.
Terdapat pula masukan dari orangtua, sekolah, serta pedoman dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia (OECD), dan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco) yang menjadi perhatian. Bersama dengan kajian para pakar kesehatan masyarakat, Disdik Jakarta akan melihat sekolah-sekolah yang dianggap siap melaksanakan pembelajaran campuran, yaitu memadukan PJJ dengan tatap muka langsung secara bergantian.
”Sekolah akan diperiksa langsung oleh para pakar. Orangtua juga diberi kebebasan menentukan anaknya diizinkan untuk masuk sekolah secara tatap muka atau memilih tetap belajar di rumah,” kata Nahdiana.
Keputusan itu disambut baik oleh sejumlah organisasi guru. Adi Dasmin, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Jakarta, menuturkan, guru-guru telah membangun sistem PJJ selama hampir satu tahun terakhir. Sistem itu sudah dinilai cukup stabil dan lebih baik pemerintah jangan mengambil risiko yang membahayakan keselamatan guru serta siswa dulu.
Dampingi PJJ
Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, berlanjutnya PJJ berarti harus ada pembenahan metode belajar daring. Organisasi ini melakukan riset di 100 kabupaten/kota di 29 provinsi yang mengungkapkan hanya 25 persen materi pelajaran diserap siswa, termasuk untuk provinsi sekaliber Jakarta. Ibu Kota juga memiliki masalah siswa tidak bisa belajar maksimal karena keterbatasan gawai pintar, akses internet, dan faktor lain, seperti siswa terpaksa membantu orangtua bekerja seharian akibat kemiskinan.
Ini adalah tugas pengawas sekolah untuk mendampingi sekolah-sekolah untuk terus mengembangkan inovasi PJJ. Selama ini, pengawas sekolah cenderung sebatas melakukan evaluasi di akhir bulan atau semester, tetapi tidak langsung terlibat dalam membenahi metode PJJ di sekolah-sekolah yang berjibaku dengan berbagai hambatan.
”Dari survei guru, terungkap kebanyak mereka hanya memberi tugas melalui media sosial kepada siswa karena cara ini lebih ringan dibandingkan menyuruh siswa mengikuti pembelajaran tatap maya melalui Zoom atau Google Classroom. Akan tetapi, komunikasi cuma satu arah, yaitu guru memberi tugas dan menyuruh siswa mengumpulkannya sesuai tenggat. Padahal, diskusi tetap bisa dilakukan melalui obrolan,” tutur Satriwan.
Guru-guru juga masih memberi tugas setiap pekan. Sebagai gambaran, siswa SMA memiliki 15 mata pelajaran per pekan, artinya ada 15 tugas yang harus mereka selesaikan. Dalam skema belajar normal, siswa bisa pergi ke perpustakaan atau mengakses internet di sekolah untuk mencari referensi. Melalui PJJ ada kendala siswa kesulitan mencari referensi.
Satriwan mengungkapkan, ada sekolah membuat terobosan dengan mendata siswa yang benar-benar tidak punya gawai pintar dan memberi mereka akses memakai komputer sekolah untuk jumlah serta batas waktu yang ditentukan ketika mengerjakan tugas. Akan tetapi, harus ada peninjauan kembali mengenai formulasi tugas agar bisa tematik atau setidaknya memiliki jeda yang membuat siswa bisa fokus.
Kesiapan psikis
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo juga menyetujui keputusan Pemprov Jakarta. Demikian pula keputusan Pemprov Banten yang sejak pertengahan Desember 2020 melarang pembelajaran luring. Menurut dia, langkah ini harus diikuti juga oleh pemerintah daerah di Bogor, Depok, dan Bekasi.
Pada September-November 2020, FSGI meninjau sepuluh sekolah di Bodebek yang berdasarkan analisis di atas kertas menyatakan siap memulai pembelajaran luring. Akan tetapi, ketika diperiksa langsung, ternyata secara psikis hanya satu sekolah yang siap, sembilan sekolah sisanya tidak.
Heru menjelaskan, sembilan sekolah itu siap secara sarana dan prasarana, seperti memiliki cukup wastafel, air, sabun, masker, termometer tembak, dan ruang kelas. Permasalahannya, hal ini tidak didukung kesiapan standar operasional serta pemastian perilaku guru, siswa, dan orangtua memenuhi protokol kesehatan.
”Harus ada indikator di setiap sekolah bahwa setiap siswa pasti memenuhi protokol kesehatan dalam hal transportasi dari rumah menuju sekolah dan dari sekolah ke rumah. Ada komitmen orangtua dan siswa untuk tidak melepas masker dan mampir di tempat lain. Jika siswa harus membawa bekal, ada jaminan dibeli di warung yang juga menerapkan protokol kesehatan. Ini memerlukan perubahan perilaku yang luas dan mayoritas sekolah belum memikirkan sosialisasi ini,” tuturnya.
Dinas-dinas pendidikan di Jabodebek umumnya telah menyusun kategori sekolah sangat siap, siap, dan belum siap pembelajaran tatap muka. Aturan mengenai pembelajaran tatap muka berdasarkan Surat Keputusan Bersama Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Oleh sebab itu, para petugas dari disdik, dinas kesehatan, dan Kantor Wilayah Kementerian Agama harus melakukan tinjauan langsung memastikan kesiapan psikis ini. Bisa diprioritaskan dari sekolah yang secara administrasi masuk kategori sangat siap.
”Waktu enam bulan semester genap bisa dipakai pemda untuk menyosialisasikan pentingnya kesiapan fisik dan mengecek langsung ke lokasi,” kata Heru.