Bogor, Puncak, dan Tahun Kebangkitan di 2021
Bupati Bogor Ade Yasin menyatakan, tahun 2020 adalah tahun bencana dan di warsa baru ini optimisme dibangun dengan menyatakan 2021 sebagai masa kebangkitan.
Pandemi tidak lantas membuat agenda pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terhenti. Kendati pertumbuhan ekonomi melambat dan anggaran daerah lebih banyak untuk memerangi Covid-19, sejumlah proyek pembangunan tetap bisa berjalan. Capaian itu membersitkan optimisme menjadikan 2021 sebagai tahun kebangkitan.
Kepemimpinan Ade Yasin dan wakilnya, Iwan Setiawan, genap berusia dua tahun pada Rabu (30/12/2020). Pemerintah Kabupaten Bogor menjadikan momentum tersebut sekaligus sebagai ajang refleksi akhir tahun 2020. Perjalanan kinerja pemerintahan dan peristiwa selama setahun terakhir dipaparkan.
Sepanjang 2020, Kabupaten Bogor ditampilkan sebagai daerah yang lekat dengan bencana. Mulai dari awal tahun di saat sejumlah bencana longsor dan banjir menerjang kawasan ini pada 8 Januari 2020. Berselang beberapa bulan kemudian, bencana non-alam Covid-19 ganti menghantam Kabupaten Bogor.
”Tahun 2020 adalah tahun bencana,” ucap Ade Yasin dalam sambutannya.
Tahun 2020 adalah tahun bencana.
Pandemi Covid-19 membuat pergerakan orang amat dibatasi. Kondisi itu berdampak pada Kabupaten Bogor yang masih mengandalkan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian warga. Ade menyebut sepanjang 2020 laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor tumbuh negatif 1,19 persen. Persentase penduduk miskin juga meningkat 7,88 persen pada 2020. Adapun angka pengangguran naik 14,29 persen.
Selain dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang melambat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor juga harus difokuskan ulang untuk menangani pandemi. Pemerintah Kabupaten Bogor hingga saat ini telah menggelontorkan anggaran hingga Rp 866 miliar lebih untuk penanganan Covid-19. Dana sebesar itu dipergunakan untuk memberikan bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak, membagikan alat pelindung diri, dan juga membentuk pusat isolasi Covid-19 di Kemang, Bogor.
Menitikberatkan anggaran ke sektor kesehatan sempat membuat Ade bimbang. Sebab, ia berpikir kebijakan itu di satu sisi bisa menghambat agenda atau proyek pembangunan.
”Setelah (anggaran) dipotong, kami kira tak bisa membangun karena banyak persoalan yang kita hadapi saat pandemi. Namun, ternyata, kami masih bisa membangun,” kata Ade.
Proyek rehabilitasi ruang SD dan SMP terus berjalan. Sedikitnya ada 1.563 ruang kelas SD dan SMP dengan kondisi rusak sedang dan rusak berat telah dibangun kembali. Sisanya, yakni 786 ruang kelas SD rusak, akan dituntaskan pembangunannya pada 2021, termasuk pula ruang kelas SMP rusak yang tersisa 230 ruangan.
Ade tidak menjelaskan secara rinci upaya yang ia tempuh untuk tetap bisa membiayai program pembangunan meskipun anggaran daerah sebagian besar dialihkan untuk penanganan pandemi. Namun, dalam sambutannya, ia sempat menyinggung soal kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah.
Baca juga : Bupati Bogor: Jadikan 2021 sebagai Tahun Kebangkitan
Ia menyampaikan upaya kerja sama yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor dan TNI dalam membangun enam jembatan. Sepanjang 2020, Ade memang beberapa kali meresmikan proyek jembatan yang menghubungkan antardesa di Bogor. Tahun depan, ia berencana kembali menggandeng TNI untuk membangun 50 jembatan.
Ade meyakini kerja sama apik antar-pimpinan daerah mampu mengatasi persoalan-persoalan pada tahun mendatang. Keyakinan itu pula yang membuat Ade diselimuti optimisme bahwa tahun 2021 bisa menjadi momentum kebangkitan Bogor seusai luluh lantak diterjang Covid-19.
”Tahun 2021, dalam rangka pelayanan sosial dan pemulihan ekonomi, kami jadikan situasi yang berat ini justru menjadi pemicu untuk kebangkitan Kabupaten Bogor demi Indonesia maju,” ujarnya.
Pekerjaan rumah ”Puncak”
Pekerjaan rumah yang menanti di Kabupaten Bogor untuk diatasi ialah problematika Puncak.
Kawasan Puncak yang terbelah dan terbagi dua, sebagian masuk area Kabupaten Bogor dan sisanya Kabupaten Cianjur, ini tak henti dirambah digerus tutupan hutan alaminya sejak dibuka menjadi perkebunan teh di masa penjajahan Belanda. Selanjutnya selama hampir tiga abad, kawasan Puncak juga menjadi katarsis. Di sana, warga megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melepas penat.
Setiap masa liburan, seperti akhir pekan atau musim Natal 2020-Tahun Baru 2021, warga Jabodetabek berbondong-bondong ke Puncak. Imbauan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar pelancong menunda kunjungan ke ”Bumi Pasundan”, termasuk ke Puncak, tidak bisa sepenuhnya mencegah wisatawan ke sana selama libur Natal 2020.
Sementara Pemerintah Kabupaten Bogor mewajibkan pelancong menunjukkan hasil pemeriksaan Covid-19 dengan metode antigen sebelum masuk kawasan Puncak. Tetap saja, meskipun jumlah pengunjung dirasa berkurang, masih ada warga Jabodetabek ke kawasan Puncak.
Baca juga : Mengelak dari Beban Puncak
Status sebagai lokasi tujuan wisata utama bagi warga Jabodetabek membuat beban kawasan Puncak terus bertambah. Kemacetan dan kerusakan lingkungan menjadi isu utama di antara banyaknya isu terkait kawasan Puncak.
Antropolog Aris Arif Mundayat berpendapat, di Jabodetabek terdapat satu persoalan serius yang merupakan karakter masyarakat majemuk, yaitu adanya antagonisme sosial. Antagonisme merujuk pada situasi di Jabodetabek yang selalu penuh dengan ketegangan dan pertentangan. Dalam kondisi itu, kawasan Puncak menjadi semacam katarsis yang menjadi tujuan masyarakat urban Jabodetabek untuk ”menyelesaikan” persoalannya.
Aris memandang persoalan kemacetan selama ini hanya dilihat dari pendekatan transportasi tanpa berusaha menyelesaikannya dengan pendekatan persoalan politik pembangunan di Jabodetabek.
Hampir klimaks
Menurut Aris, daya dukung sosial kawasan Puncak sudah hampir mencapai klimaks. Puncak tidak bisa berdiri sendiri sebagai lokasi ”pelarian” masyarakat Jabodetabek dari persoalan keseharian. Perlu untuk menciptakan ruang rekreasi dan ruang sosial budaya yang non-diskriminatif. Ruang rekreasi, misalnya, bisa dibangun di tepi daerah aliran sungai karena masyarakat cenderung mencari tempat-tempat yang relatif sejuk.
”Ini belum pernah tersentuh dalam setiap pembahasan desain ruang publik, termasuk fasilitas rekreasi,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Puncak, Mengapa Diminati Meski Macet Menanti-Menggali Solusi Persoalan Kawasan Puncak dari Berbagai Sisi” yang diselenggarakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Selasa (29/12/2020).
Perlu upaya menciptakan ruang-ruang rekreasi di sekitar Jabodetabek untuk mengurangi beban Kawasan Puncak. Pengurangan beban pada akhirnya menurunkan kemacetan yang terus terjadi di sana selama bertahun-tahun.
Sayangnya, anjuran Aris soal tempat rekreasi alternatif sulit diwujudkan, khususnya di masa libur Natal 2020.
Demi menekan laju infeksi Covid-19, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup hampir seluruh tempat rekreasi dan olahraga di provinsi itu selama libur Natal-Tahun Baru. Kawasan Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan, dan Kota Tua ditutup. Fasilitas taman umum dan olahraga, seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) dan Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta Pusat yang biasa dikunjungi masyarakat untuk berolahraga, juga ditutup.
Pengajar Program Studi Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, Khrisnamurti, menyebut bahwa kebijakan menutup berbagai destinasi wisata, fasilitas publik, dan pembatasan jam operasionalisasi tempat hiburan merupakan langkah tepat.
”Ini adalah akhir tahun yang harus direfleksikan, apa yang kita inginkan tidak tercapai, tetapi bersyukur apa yang kita punya. Dalam pariwisata, ada health tourism, religius tourism, dan heritage tourism. Jadi, berpikirnya benar-benar untuk refleksi,” tutur Khrisna.
Di tahun baru ini, diharapkan momen kebangkitan yang digadang-gadang Bupati Ade Yasin juga mencakup fokus pembenahan dan pengendalian eksploitasi Puncak untuk menyelamatkan keseimbangan alam Jabodetabek. Kabupaten Bogor didorong agar mampu dan mengambil peluang menjadi pelopor kolaborasi pembenahan Puncak bersama pemda se-Jabodetabek.
Tantangan kepala daerah
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng mengingatkan, tantangan yang akan dihadapi pemda pada 2021 cenderung lebih berat. Itu karena kepala daerah masih dihadapkan pada penanganan pandemi dan dampaknya.
Bahkan, kata Robert, situasi ekonomi diperkirakan tidak lebih baik dibandingkan dengan 2020 karena pendapatan daerah masih belum maksimal. ”Saya kira 2021 menjadi tahun yang sulit untuk pemda karena tekanan fiskal luar biasa, mungkin lebih berat dibandingkan dengan 2020,” kata Robert (Kompas.id, 23/12).
Dengan kondisi demikian, kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan APBD. Kepala daerah perlu membuat terobosan untuk mencari sumber-sumber pendanaan lain, seperti tanggung jawab sosial perusahaan, kerja sama pemerintah dengan badan usaha, dan pinjaman daerah.
Presiden Institut Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat, kepala daerah perlu berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Tanpa ada kolaborasi, pemda bisa kesulitan menyelesaikan masalah-masalah pada tahun 2021.
Baca juga : Sebagian Warga Menunda Balik ke Jakarta hingga Akhir Tahun