Tidak adanya gegap gempita pada malam pergantian tahun membuat para pengais rezeki di sekitar kawasan wisata merana. Mau tak mau, mereka harus bersiap menghadapi malam pergantian tahun yang senyap.
Oleh
Fajar Ramadhan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak adanya gegap gempita pada malam pergantian tahun membuat para pengais rezeki di sekitar kawasan wisata merana. Mau tak mau, mereka harus bersiap menghadapi malam pergantian tahun yang senyap.
Kamis (31/12/2020) siang, Muhdi (47) sempat menjadi tontonan segelintir anak-anak yang mengunjungi kawasan wisata Kota Tua Jakarta. Manusia patung yang berperan sebagai Jenderal Sudirman ini rela bergonta-ganti pose untuk menghibur mereka. Sikap sempurna sambil memegangi tongkat, menunjuk ke arah langit, hingga hormat ala Sang Jenderal berkali-kali ia peragakan.
Sayangnya, anak-anak itu lebih tertarik mengejar kawanan burung merpati yang sedang berkeliaran di sana. Mereka begitu saja berlalu tanpa meninggalkan uang sepeser pun pada kotak sumbangan di depan Muhdi. Peragaan yang sama terus dilakukan Muhdi di hadapan para pengunjung lain, sayang hasilnya tetap nihil.
”Baru dapat Rp 20.000, yang Rp 10.000 saya pakai barusan buat makan mi ayam,” ujarnya saat ditemui.
Aksi Muhdi bahkan tak berlangsung lama. Saat jarum jam menunjukkan pukul 11.30, hujan mengguyur kawasan Kota Tua. Ia langsung berteduh di beranda Museum 3D Kota Tua supaya wajahnya yang sudah dicat hitam tidak luntur. Dia melepaskan jubah hitam dan blangkonnya. Dia langsung duduk di kursi beranda.
”Kayaknya bakal lama hujannya. Kalau udah kayak gini, mending pulang saja,” ujarnya sambil memandangi rintik hujan.
Malam Tahun Baru biasanya menjadi momentum bagi Muhdi dan manusia-manusia patung yang lainnya untuk panen rupiah. Mereka memanfaatkan ramainya pengunjung Kota Tua yang berdatangan dari pagi hingga tengah malam.
”Tahun lalu, saya bisa dapat Rp 300.000 meskipun hujan. Saya di sini dari pukul 09.00 sampai pukul 21.00,” kenang Muhdi.
Suasana tersebut amat kontras dengan yang terlihat pada Kamis siang. Hanya ada kurang dari sepuluh pengunjung yang mendatangi kawasan Kota Tua. Mereka juga hanya terpantau di area Kali Besar, sementara di Taman Fatahillah, yang biasanya padat, siang itu terlihat kosong.
Muhdi yang biasanya beraksi di Taman Fatahillah pun terpaksa berpindah di area Kali Besar. Meski spanduk-spanduk imbauan untuk tidak merayakan tahun baru terpampang di sana, Muhdi tak gentar. Ia tetap mengais rezeki demi membayar biaya kontrakan yang menunggak selama dua bulan.
”Biasanya ada sekitar 50 manusia patung di sini. Sekarang cuma dua. Saya sama nonik-nonik Belanda ini. Yang lain pada pulang kampung,” ujar Muhdi yang mengaku sebagai generasi pertama manusia patung di Kota Tua.
Mutmainah (61), penjual minuman di Kota Tua, juga sudah bersiap menghadapi malam pergantian tahun yang kemungkinan besar berlangsung senyap. Ibu dua anak yang biasanya berjualan hingga pukul 21.00 ini sudah berencana untuk berkemas pada pukul 18.00.
”Sudah seminggu ini lampu-lampu taman dimatikan. Jadi, saya harus pulang awal, termasuk hari ini,” ungkapnya.
Mutmainah sempat diingatkan oleh petugas yang berjaga di kawasan wisata Kota Tua agar berada di rumah saja pada malam pergantian tahun. Namun, imbauan tersebut malah dijawab dengan pertanyaan balik olehnya.
”Terus kalau dirumah saja saya makan apa, Pak? Kalau enggak jualan, ya, enggak dapat duit,” kata perempuan yang mengaku suaminya sedang sakit ini.
Meski berat, Mutmainah harus melupakan indahnya malam pergantian tahun lalu. Saat itu, ia membawa pulang uang Rp 300.000 setelah berjualan hingga tengah malam. Kali ini, ia tak ingin muluk-muluk.
”Yang penting dapat buat makan saja hari ini. Dapat Rp 50.000 saja sudah bersyukur,” katanya.
Sementara Bimo, pengunjung di kawasan Kota Tua Jakarta, juga tidak akan merayakan malam Tahun Baru. Pria asal Pekanbaru, Riau, yang sedang bertandang ke rumah saudaranya di Jakarta ini memilih berada di rumah tanpa pesta pergantian tahun.
Untuk mengobati kekecewaannya karena tidak dapat merayakan Tahun Baru di Jakarta, Bimo dan saudaranya memutuskan jalan-jalan sebelum malam tiba. Sayangnya, ia tidak mengetahui kalau banyak tempat wisata di Jakarta yang ditutup pada Kamis ini.
”Kami sudah ke Ancol, Monas, dan ke TMII ternyata ditutup semua. Kami kesini ternyata museum-museumnya ditutup juga. Untungnya ada Museum 3D yang masih dibuka,” ujarnya.
Banyak pengeluaran
Ditutupnya Taman Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, jelang Tahun Baru cukup memusingkan Agus (40) selaku petugas parkir di sana. Bukan berkurangnya pendapatan yang dia keluhkan, melainkan besarnya pengeluaran yang harus ia keluarkan.
Jika kendaraan yang parkir sepi, pria asal Palembang, Sumatera Selatan, ini harus lebih sering menganggur di warung. Hal ini membuatnya harus memesan kopi dan menghisap rokok lebih sering. Seperti terlihat pada Kamis siang, tidak lebih dari lima mobil yang terparkir di sana.
”Apalagi hujan-hujan begini, paling enak kalau ngerokok dan ngopi. Kalau ramai, kita banyak kegiatan. Enggak bakal sempatlah nganggur-nganggur begini,” ungkapnya.
Cerita akan berbeda jika Taman Lapangan Banteng dibuka untuk perayaan Tahun Baru seperti tahun lalu. Para petugas parkir akan sibuk mondar-mandir dari pagi hingga dini hari.
Sebagai petugas parkir yang menjadi mitra resmi dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pendapatan Agus relatif aman. Sepi ataupun ramai, dia tetap akan mendapatkan upah mingguan tergantung dari setoran yang diberikan.
”Paling sedikit masih dapatlah Rp 300.000 per minggu. Namun, kalau pengeluaran lebih banyak, ya, repot juga,” ujarnya.
Hujan yang mengguyur Ibu Kota pada Kamis siang juga tak mampu mengubah peruntungan Hadi (40), sopir taksi daring. Ia mengaku baru mendapatkan dua penumpang dengan nominal Rp 90.000.
Hadi pun sangsi untuk terus mencari penumpang hingga malam pergantian tahun seperti yang ia lakukan tahun lalu. Saat itu, Hadi setidaknya mampu membawa pulang uang Rp 1 juta hanya dalam sehari semalam.
Berangkat sejak pagi dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, Hadi saat itu memilih tidur di mobil pada pukul 20.00. Keseesokan harinya pada pukul 00.30, dia kembali mencari penumpang di sekitaran Taman Lapangan Banteng.
”Sangking ramainya tahun kemarin, tarif Lapangan Banteng-Kalibata yang biasanya hanya Rp 40.000 bisa jadi Rp 100.000. Sebab, orang banyak yang pesan, tetapi sopir taksinya pada sibuk,” ungkapnya.
Dari hasil pendapatannya selama Tahun Baru waktu itu, Hadi mengaku bisa mengajak istri dan anak-anaknya makan di restoran. Jangankan kembali mengulanginya pada Tahun Baru ini, untuk membayar kredit mobil saja Hadi masih kewalahan.
”Saya bingung kalau anak-anak pada nanyain. Masih siang aja udah apes begini,” katanya.