Selama hampir tiga abad, kawasan Puncak di Bogor dan Cianjur, Jawa Barat menjadi katarsis. Di sana, warga megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melepas penat.
Oleh
DAN/ERK/FAI/IGA
·3 menit baca
Selama hampir tiga abad, kawasan Puncak di Bogor dan Cianjur, Jawa Barat, menjadi katarsis. Di sana, warga megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melepas penat.
Setiap masa liburan, seperti akhir pekan atau musim Natal 2020-Tahun Baru 2021, warga Jabodetabek berbondong ke Puncak. Imbauan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar pelancong menunda kunjungan ke ”Bumi Pasundan”, termasuk ke Puncak, tidak bisa sepenuhnya mencegah wisatawan ke sana selama libur Natal 2020.
Sementara Pemerintah Kabupaten Bogor mewajibkan pelancong menunjukkan hasil pemeriksaan Covid-19 dengan metode antigen sebelum masuk kawasan Puncak. Tetap saja, meski jumlah pengunjung dirasa berkurang, masih ada warga Jabodetabek ke kawasan Puncak.
Status sebagai lokasi tujuan wisata utama bagi warga Jabodetabek membuat beban kawasan Puncak terus bertambah. Kemacetan dan kerusakan lingkungan menjadi isu utama di antara banyaknya isu terkait kawasan Puncak.
Antropolog Aris Arif Mundayat berpendapat, di Jabodetabek terdapat satu persoalan serius yang merupakan karakter masyarakat majemuk, yaitu adanya antagonisme sosial. Antagonisme, menurut penjelasan Aris, merujuk pada situasi di Jabodetabek yang selalu penuh dengan ketegangan dan pertentangan. Dalam kondisi itu, kawasan Puncak menjadi semacam katarsis yang menjadi tujuan masyarakat urban Jabodetabek untuk ”menyelesaikan” persoalannya.
Aris memandang persoalan kemacetan selama ini hanya dilihat dari pendekatan transportasi tanpa berusaha menyelesaikannya dengan pendekatan persoalan politik pembangunan di Jabodetabek.
Hampir klimaks
Menurut Aris, daya dukung sosial kawasan Puncak sudah hampir mencapai klimaks. Puncak tidak bisa berdiri sendiri sebagai lokasi ”pelarian” masyarakat Jabodetabek dari persoalan keseharian. Perlu untuk menciptakan ruang rekreasi dan ruang sosial budaya yang non-diskriminatif. Ruang rekreasi, misalnya, bisa dibangun di tepi daerah aliran sungai karena masyarakat cenderung mencari tempat-tempat yang relatif sejuk.
”Ini belum pernah tersentuh dalam setiap pembahasan desain ruang publik, termasuk fasilitas rekreasi,” ujarnya dalam dalam diskusi daring bertajuk ”Puncak, Mengapa Diminati Meski Macet Menanti-Menggali Solusi Persoalan Kawasan Puncak dari Berbagai Sisi” yang diselenggarakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Selasa (29/12/2020), di Jakarta.
Perlu upaya menciptakan ruang-ruang rekreasi di sekitar Jabodetabek untuk mengurangi beban Kawasan Puncak. Pengurangan beban pada akhirnya menurunkan kemacetan yang terus terjadi di sana selama bertahun-tahun.
Persoalan transportasi hanya puncak gunung es, banyak sekali permasalahan yang harus kita bahas. Kemacetan Puncak tidak bisa diselesaikan dari sudut pandang transportasi semata.
Penutupan
Sayangnya, anjuran Aris soal tempat rekreasi alternatif sulit diwujudkan, khususnya di masa libur Natal 2020. Demi menekan laju infeksi Covid-19, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup hampir seluruh tempat rekreasi dan olahraga di provinsi itu selama libur Natal-Tahun Baru. Kawasan Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan, dan Kota Tua ditutup. Fasilitas taman umum dan olahraga, seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) dan Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta Pusat yang biasa dikunjungi masyarakat untuk berolahraga, juga ditutup.
Pengajar Program Studi Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, Khrisnamurti, menyebut bahwa kebijakan menutup berbagai destinasi wisata, fasilitas publik, hingga pembatasan jam operasional tempat hiburan merupakan langkah tepat. Sebab, pada akhir tahun, pada 25 dan 31 Desember 2020 serta 1 Januari 2021 merupakan puncak kunjungan warga ke tempat-tempat wisata di Ibu Kota.
”Ini adalah akhir tahun yang harus direfleksikan, apa yang kita inginkan tidak tercapai, tetapi bersyukur apa yang kita punya. Dalam pariwisata, ada health tourism, religius tourism, dan heritage tourism. Jadi, berpikirnya benar-benar untuk refleksi,” tutur Khrisna.