Wahai Kota, Tangkaplah Peluang Tren Kebangkitan Beragama
Siapa bilang dunia makin menjauh dari kehidupan beragama? Di masa modern ini, agama mengalami masa kebangkitannya kembali. Tak usah menilainya sebagai ancaman, justru ini peluang mewujudkan kota iklusif dan tangguh.
Oleh
Neli Triana
·6 menit baca
Amina J Mohammed mengingatkan bahwa pertumbuhan kota-kota di seluruh dunia semakin terakselerasi. Deputi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dalam pesan daringnya 2 Desember pada UN-Habitat’s Partner and Pledge for Sustainable Urbanization mengatakan, kota-kota butuh dikelola baik agar berkembang dan melindungi kepentingan semua lapisan penghuninya.
”Dengan memanfaatkan kota sebagai pusat inovasi dan solusi kreatif, kita dapat membangun kembali dengan lebih adil serta ramah lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang. Ini adalah solusi untuk tantangan dunia yang paling mendesak, yaitu dari pandemi, adaptasi iklim, hingga kesetaraan dan isu inklusi. Ini untuk memastikan tidak ada seorang pun dan tidak ada tempat yang tertinggal,” kata Mohammed.
Kota berperan sentral dalam meningkatkan kualitas hidup warga dunia karena 55 persen dari sekitar 7 miliar populasi manusia kini hidup di kawasan urban. Pada tahun 2050, diperkirakan 70 persen populasi manusia hidup di perkotaan. Untuk itu, Mohammed menegaskan, dunia membutuhkan kolaborasi, komitmen, dan bantuan finansial semua pihak agar dapat menjadi kawasan-kawasan urban yang inklusif dan berkelanjutan.
Memenuhi ketiga kebutuhan, yaitu komitmen, kolaborasi, dan sumber keuangan tersebut, selama ini telah dicoba dilakukan berbagai hal. Selain merangkul masyarakat urban sendiri, pengelola kota juga dibantu pemerintah pusat atau bekerja sama dengan pemerintah negara maupun kota lain di dunia. Banyak pula organisasi ataupun perusahaan dari dalam dan luar negeri yang bekerja sama dengan pengelola kota sebagai pemberi pinjaman, konsultan, sampai memasok tenaga kerja ahli yang dibutuhkan dalam pembangunan kota.
Di luar itu, sebuah strategi baru di masa modern ini adalah merespons semangat warga dunia yang giat beragama, menjalankan kegiatan-kegiatan bernapaskan agama, serta menjamurnya organisasi keagamaan. Merespons dalam arti baik, yaitu dengan memberi ruang warga beragama secara memadai sekaligus menjadikannya mitra membangun kawasan urban. Isu tentang agama, organisasi agama, dan pembangunan kota berkelanjutan ini secara khusus diangkat dalam diskusi para ahli di Berkley Forum yang dimotori Berkley Center for Religion, Peace, and World Affairs, Universitas Georgetown di Washington, Amerika Serikat.
Sebagaimana tujuan Agenda Baru Perkotaan menciptakan kota-kota aman, layak huni, berkelanjutan, tangguh, dan tempat yang adil bagi para penghuninya, komunitas beragama termasuk yang memiliki posisi terbaik untuk direkrut demi mewujudkan visi ini.
Di tengah gemerlap pembangunan fisik kota, Berkley Forum melihat agama selalu lekat dengan kehidupan perkotaan. Situs-situs kota kuno menampilkan penanda agama dari zaman lampau yang masih lestari hingga kini.
Pada masa modern, tempat ibadah tetap memainkan peran sentral dalam kehidupan kota. Bangunan-bangunan suci seperti kuil, katedral, gereja, sinagog, dan masjid turut membentuk pemandangan langit kota yang khas nan menarik, menyediakan ruang bagi umatnya untuk beribadah sekaligus pusat komunitas. Secara tidak langsung dari masa ke masa, tempat ibadah dan sekitarnya menjadi tempat publik yang akrab digunakan oleh warga urban.
Di berbagai belahan dunia, keterlibatan aktif organisasi keagamaan dan komunitas keagamaan dalam pembangunan perkotaan dan tata kota telah memberikan hasil menjanjikan. Beberapa gereja di ”Negeri Paman Sam” memelopori upaya menciptakan perumahan terjangkau dengan mengubah bangunan milik organisasi yang tidak digunakan menjadi apartemen sewa.
Di favela atau kawasan permukiman padat di Brasil, gereja-gereja menyediakan layanan sosial memiliki akses ke program yang dikelola negara. Gereja-gereja besar di Afrika, sesuai catatan Berkley Forum, telah mengembangkan kota-kota lengkap dengan sekolah, pembangkit listrik, dan sistem transportasi publik.
Sejak lama, organisasi keagamaan, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, di Indonesia tak pernah alpa ikut membangun sarana-prasarana pendidikan bagi warga miskin, penyediaan air bersih, panti asuhan, rumah sakit, dan lainnya. Di Jakarta, contoh lainnya, ada organisasi keagamaan yang membantu membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi kaum tak berpunya. Di sisi lain, ada badan amal yang turut bergerak membantu melunasi sebagian tunggakan sewa penghuni rusunawa milik pemerintah yang rata-rata adalah warga miskin.
Terlepas dari berbagai manfaat yang telah dirasakan selama bertahun-tahun tersebut, dirasakan peran gerakan keagamaan masih bersifat komplementer dan parsial. Padahal, sesuai perhitungan PBB, Berkley menyatakan proporsi populasi dunia yang tinggal di kota sekaligus yang berafiliasi dengan tradisi agama diproyeksikan meningkat pada 2050. Untuk itu, agama pasti akan terus memiliki andil besar dalam membentuk kehidupan perkotaan.
Dengan peran besarnya dalam perkembangan peradaban manusia selama ini, beberapa ahli, seperti diungkap di Berkley Forum, menyatakan agama tetap cenderung diabaikan dalam teori perencanaan kota modern. Untuk itu, upaya untuk mengintegrasikan agama dan perencanaan kota dengan lebih baik sebagian besar terus didorong agar bisa diwujudkan.
Masa kebangkitan
Mengenai kebangkitan beragama ini, sebelumnya telah disuarakan Peter Ludwig Berger, yang disebut salah satu sosiolog dan teolog abad ini. Ia terkenal dengan pendapatnya tentang kebangkitan agama di zaman modern. ”Jauh dari meredup di dunia modern sekarang, agama sebenarnya mengalami kebangkitan. Dunia saat ini sangat religius seperti sebelumnya,” demikian lebih kurang kutipan kata Berger seperti ditulis oleh Chris Ives dan Chris Elisara.
Berangkat dari pendapat Berger, Ives dan Elisara dalam tulisannya di Berkley Forum itu menyatakan, organisasi berbasis agama memiliki banyak kesamaan sifat dengan organisasi masyarakat sipil lainnya. Namun, ada perbedaan signifikan di antara keduanya yang selama ini kurang dilihat oleh publik ataupun pemerintah.
Menurut duo Chris ini, umumnya organisasi masyarakat sipil cenderung fokus di sekitar tempat, isu, atau kebutuhan tertentu. Sebaliknya, agama didefinisikan secara luas, mencakup keyakinan, nilai, pandangan dunia, praktik, dan institusi. Organisasi berbasis agama—terutama lembaga yang diformalkan seperti masjid, gereja, dan kuil—fokus di sekitar seperangkat keyakinan, nilai, dan praktik yang dipegang teguh dengan sejarah panjang masa lalu, program jangka pendek masa kini, dan proyeksi untuk masa depan.
Dapat pula dikatakan tradisi agama-agama yang kini dianut warga dunia memiliki persamaan, yaitu mempromosikan agar manusia lebih mampu menahan diri, mengasihi sesama tanpa melihat latar belakang masing-masing, memiliki kerendahan hati, kebijaksanaan, dan keadilan. Agama tidak mendorong konsumsi material, pertumbuhan ekonomi, dan individualisme.
Agama dan komunitas religius turut dikenal memiliki komitmen yang keras terhadap komunitas dan tempat. Mereka bersiap dan sengaja memproyeksikan diri untuk bertahan dan tumbuh berkembang dalam jangka panjang, dari generasi ke generasi berikutnya.
Para pemikir perkotaan berbasis keyakinan religinya diharapkan memunculkan pemahaman keagamaan yang humanis, jauh dari hal-hal yang memicu saling benci dan tindakan merusak lainnya.
Ajaran agama itu adalah sebuah persepsi dan tindakan yang bisa diselaraskan dalam pengelolaan kota dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, misalnya, tidak akan mungkin mewujudkan keadilan bagi semua serta menjamin hidup layak generasi berikutnya jika tidak mengadopsi kebijakan pembangunan ramah lingkungan. Demi alasan tersebut, Ives dan Elisara melihat kebangkitan agama diiringi banyaknya situs religius di ruang urban dapat dan harus digabungkan, serta dikelola bersama lebih serius oleh perencana ataupun pengelola kota.
Pengakuan pada pentingnya perspektif berbasis agama dalam perencanaan kota akhir-akhir ini mulai tumbuh. UN-Habitat, misalnya, melahirkan kegiatan ”Kampus Pemikir Perkotaan Berbasis Keyakinan” di Singapura pada 2017. Setelah itu, serangkaian pertemuan serupa diadakan di seluruh dunia pada 2019 untuk mengumpulkan para pemangku kepentingan agama untuk terlibat dengan Agenda Baru Perkotaan.
Sebagaimana tujuan Agenda Baru Perkotaan menciptakan kota-kota aman, layak huni, berkelanjutan, tangguh, dan tempat yang adil bagi penghuninya, komunitas beragama termasuk yang memiliki posisi terbaik untuk direkrut demi mewujudkan visi ini. Para pemikir perkotaan berbasis keyakinan religinya diharapkan memunculkan pemahaman keagamaan yang humanis, jauh dari hal-hal yang memicu saling benci dan tindakan merusak.
Menyelaraskan agenda pembangunan tempat ibadah, fasilitas pendidikan berbasis agama, dan layanan publik yang tidak terkait langsung dengan kegiatan agama oleh organisasi agama dalam kebijakan besar pembangunan kawasan tentu akan lebih menjamin program organisasi ataupun pemerintah lebih tepat sasaran. Dengan pola pembiayaan perkotaan di era kekinian yang terbuka menggamit swasta dan warga (Public Private Partnership dan Public Private People Partnership), menggaet institusi keagamaan dalam pembiayaan pembangunan pun bukan perkara susah.
Hanya saja, peran tegas pemerintah diperlukan agar tidak ada lagi konflik antarumat atau kejadian seperti menjamurnya pembangunan tempat ibadah di area-area tertentu, sedangkan di lokasi lain izin membangun satu tempat ibadah saja sangat sulit. Pemerintah memegang tongkat dirigen pengendali terjalinnya kolaborasi dan komitmen lintas organisasi keagamaan dengan aturan zonasi dan sederet regulasi lain. Hal ini demi menjaga kepentingan publik selalu lebih utama dibandingkan kepentingan golongan, salah satu syarat kota berkelanjutan.