Tetap Berjualan Saat Jakarta Sepi demi Senyum Manis Sang Istri
Hari libur tak menyurutkan niat sebagian pedagang keliling untuk mencari penghidupan. Mereka tetap mengadu peruntungan meskipun hasilnya tak selalu sesuai dengan harapan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
Jarum jam baru menunjukkan pukul 10.00. Namun, Kartono (40) berkali-kali menyandarkan kepala di gerobak mi. Surut sudah semangat pedagang mi ayam di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini.
Subuh pada Jumat (25/12/2020), Kartono menyalakan semangat mencari rezeki. Hari libur yang biasanya sepi dari aktivitas warga Jakarta tidak menyurutkan niatnya menjemput pembeli. Ia memendam asa mi ayamnya akan laku keras karena banyak pedagang di sekitarnya yang memilih pulang kampung.
Sayang, prediksinya meleset. ”Baru jualin tiga mangkok (mi ayam) ini. Sepi banget jalanan. Orang-orang lewat enggak ada yang nyantol,” ungkapnya saat ditemui.
Siang itu, kantor-kantor di sekitar lokasi Kartono berjualan terlihat lengang. Nyaris tak ada karyawan yang beraktivitas saat tanggal merah. Hanya beberapa petugas sekuriti berjaga di pos keamanan. Jalanan juga tak kalah lengang. Pengemudi ojek daring yang biasanya mangkal di sana pun ikut-ikutan raib.
Namun, mau tak mau Kartono harus tetap berjualan hingga malam. Bukan karena takut tak bisa makan, melainkan ia malas kalau lagi-lagi mendengar omelan sang istri. Kata-kata sang istri kerap menghantui Kartono jika ia absen mengirimkan uang mingguan kepada istri yang tinggal di Tegal, Jawa Tengah.
”Hari Minggu nanti harus kirim ke istri. Padahal, uangnya belum ada. Dari kemarin sudah diomeli mulu karena enggak bisa ngirim uang. Dia enggak mau tahu karena dua anak saya harus tetap makan,” ucap Kartono lesu.
Selama pandemi Covid-19, rata-rata setiap pekan Kartono hanya bisa mengirimkan uang Rp 400.000 kepada keluarga yang bermukim di Tegal. Meskipun biaya hidup di Tegal jauh di bawah Jakarta, tetap saja kiriman itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua anaknya. Apalagi, pendapatan yang dikirim Kartono saat pandemi itu jumlahnya tiga kali lebih kecil dibandingkan dengan uang yang biasa ia kirimkan sebelum Covid-19 mewabah. Ia sangat bisa memaklumi jika istrinya sering kali geram.
Hari Minggu nanti harus kirim ke istri. Padahal, uangnya belum ada. Dari kemarin sudah diomeli mulu karena enggak bisa ngirim uang. Dia enggak mau tahu karena dua anak saya harus tetap makan. (Kartono)
Pendapatan Kartono memang anjlok selama pandemi ini. Dalam sehari, rata-rata ia hanya mampu menjual 7-10 mangkuk mi ayam. Uang yang dihasilkan antara Rp 120.000-Rp 150.000. Padahal, sebelum pandemi dia biasa menghasilkan hingga Rp 500.000 sehari dari penjualan 20-25 mangkuk mi ayam. Harga seporsi mi ayam plus bakso dibanderol Rp 15.000.
”Sekarang cuma ngandelin orang-orang lewat. Karyawan kantor yang masuk juga masih sedikit. Belum lagi banyak yang bawa bekal sama pesan makan daring,” ungkapnya.
Minimnya pendapatan yang diperoleh Kartono memaksanya untuk tidak mudik pada libur Natal dan Tahun Baru ini. Hal ini menjadi yang pertama bagi Kartono. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia tak pernah absen menengok istri dan anak-anaknya pada libur Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru.
”Sekarang juga harus ada syarat tes-tes segala. Saya enggak punya uang buat bayar (biaya tes). Lebaran kemarin juga enggak pulang,” ujar pria yang sudah 15 tahun berjualan mi ayam ini.
Selain menyisihkan uang untuk keluarga di kampung dan biaya modal, di Jakarta Kartono juga harus membayar biaya kontrakan Rp 600.000 per bulan. ”Bulan ini saja saya sudah telat 15 hari. Makanya sempat diomeli istri karena uangnya dipakai bayar kontrakan dulu,” ungkapnya.
Tak melulu soal uang
Berjualan di saat libur Natal tak melulu soal uang. Didi (64), pedagang warung mi instan di trotoar Jalan Petamburan, Jakarta Pusat, misalnya. Pria asal Sumedang, Jawa Barat, ini bisa saja pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga pada libur Natal ini. Namun, hal itu urung ia lakukan karena dia tetap ingin beraktivitas.
”Kalau buat makan alhamdulillah saya enggak kekurangan selama pandemi ini. Tapi, kalau saya diam (enggak jualan), badan sakit semua,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 memang menggerus penghasilannya dari berjualan di warung. Dari yang sebelumnya bisa mendapatkan Rp 300.000 per hari, kini Didi rata-rata hanya mengantongi Rp 150.000-Rp 200.000 sehari.
Beruntungnya, Didi memiliki lahan sawah di kampung halaman yang masih rutin dia garap. Dalam setahun, keluarganya bisa dua kali memanen padi. Sekali panen, 1,5 ton padi dituai. Jika diuangkan, setara dengan Rp 9,5 juta.
Dari situ, Didi tak terlalu ambil pusing jika dagangannya sepi. Yang terpenting baginya, ia masih bisa beraktivitas mencari nafkah. ”Saya enggak terlalu mementingkan penghasilan. Yang penting saya kerja saja, terus tinggal nunggu dikasih sama yang di atas,” ungkapnya.
Didi juga patuh saat diminta menutup warung lebih awal oleh petugas satuan polisi pamong praja pada Kamis (24/12/2020) malam. Seperti diketahui, pada libur Natal dan Tahun Baru ini, tempat makan, mal, hingga tempat hiburan di Jakarta diminta tutup lebih awal.
”Tadi malam disuruh tutup pukul 19.00 juga saya tutup. Biasanya, sih, saya 24 jam kalau ada yang bantuin. Kalau enggak ada yang bantuin, sampai pukul 23.00,” katanya.
Menanti dermawan
Sementara itu, Atun (47), penjual kopi keliling di Jalan Tentara Pelajar, Jakarta Pusat, juga memilih tetap berjualan di hari libur Natal meskipun jalanan sepi. Dari pukul 07.00-11.00, ia mengaku baru mendapatkan tiga pembeli.
Namun, bukan itu yang sebenarnya dia cari. Dia mengaku tetap berjualan karena hari Natal ini jatuh pada Jumat. Bagi Atun, hari Jumat ini haram untuk dilewatkan karena biasanya banyak orang dermawan yang membagi-bagikan makanan gratis.
”Tadi pagi sudah dapat satu nasi gratis. Nanti sore biasanya ada lagi yang ngasih. Saya biasanya enggak jualan kalau hari Minggu,” ujar perempuan asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini.
Nasi gratis ini selama pandemi Covid-19 sangat berarti bagi Atun. Dia mengaku pendapatannya sebagai penjual kopi menurun dari Rp 300.000 per hari menjadi Rp 150.000. Dengan mendapatkan nasi bungkus, Atun menghemat pengeluaran untuk dua kali makan. Sekali makan, kira-kira Rp 15.000. Bagi Atun, sekecil apa pun pengeluaran amat berharga di tengah sulitnya mendapatkan pemasukan di masa pandemi ini.