Liburan singkat di masa Natal dan Tahun Baru ini membuat penumpang kereta api hanya membawa ransel. Pupus sudah harapan para pramuantar meraup rezeki sebanyak akhir tahun lalu.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ramainya penumpang di Stasiun Pasar Senen dan Stasiun Gambir pada masa libur Natal ini rupanya tidak berdampak signifikan terhadap pendapatan para pramuantar. Meskipun pendapatan mereka meningkat dibandingkan hari sebelumnya selama pandemi, tetap tidak sebanding dengan pendapatan pada libur Natal tahun lalu.
Kamis (24/12/2020) sekitar pukul 12.00, Teguh (45), salah satu pramuantar, terlihat duduk-duduk di samping taman Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Siang itu, area keberangkatan di Stasiun Gambir memang relatif lengang. Hampir tak ada mobil atau taksi yang menurunkan penumpang di depan pintu masuk.
”Jam segini tidak ada kereta datang atau berangkat. Kereta terakhir yang datang sekitar pukul 09.30 tadi,” katanya saat ditemui.
Teguh mulai menawarkan jasanya kepada penumpang Stasiun Gambir mulai pukul 08.00. Namun hingga siang, baru satu penumpang yang berhasil kepincut dengan tawarannya. Dari situ, ia mendapatkan upah Rp 25.000.
”Saya masih beruntung, ada beberapa teman yang enggak kebagian penumpang sampai sekarang,” ujarnya.
Sistem kerja para pramuantar di Stasiun Gambir menggunakan skema 1-1 atau satu hari masuk dan satu hari libur. Jam kerja mereka diawali pada pukul 08.00 dan berakhir pada waktu yang sama keesokan harinya.
Teguh mengakui, penumpang di Stasiun Gambir selama periode Natal ini memang lebih padat dibandingkan hari-hari biasa di masa pandemi. Meski begitu, dibandingkan dengan Natal tahun lalu, perbedaannya masih sangat jauh.
Pendapatan Teguh juga masih terbilang seret meskipun banyak penumpang berdatangan. Dua hari yang lalu atau Selasa (22/12/2020) misalnya, Teguh mengaku hanya mendapatkan enam penumpang. Jika satu penumpang memberikan upah Rp 25.000, penghasilannya mencapai Rp 150.000.
Jumlah tersebut memang meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya di masa pandemi, di mana dia hanya mendapatkan 2-3 penumpang atau Rp 50.000-Rp 75.000. Namun, jumlah ini tetap tidak sebanding dengan Natal tahun lalu. Dia bisa membawa pulang minimal Rp 300.000 dalam sehari.
”Dulu hampir setiap jam ada kereta berangkat/datang. Banyak kereta tambahan. Kalau sekarang ramai, tapi yang mau pakai jasa kami terbatas,” tambah pria yang sudah tujuh tahun menjadi pramuantar ini.
Yang paling kentara, Teguh belum pernah mendapatkan upah-upah tak terduga dari para penumpang hingga saat ini. Biasanya saat Lebaran atau Natal, ada saja penumpang yang memberikan upah hingga Rp 50.000 atau dua kali dari upah yang biasa dia dapatkan.
Setidaknya, ada sekitar 125 orang yang selama ini terdaftar sebagai pramuantar di Stasiun Gambir. Selama pandemi Covid-19, sebagian besar memutuskan untuk pulang kampung. Saat ini, ada sekitar 80 pramuantar yang kembali aktif pada periode Natal.
Salah satunya adalah Teguh yang baru kembali ke Jakarta sebulan yang lalu. Selama delapan bulan berada di kampung halaman, dia mengaku sempat beralih profesi sebagai petani dan buruh bangunan demi bertahan hidup.
”Apa saja saya kerjakan yang penting bisa makan. Sekarang nyoba balik lagi ke stasiun. Berapa pun penghasilannya saya syukuri,” ungkapnya.
Eko (48), pramuantar di Stasiun Pasar Senen, juga mengaku hanya mendapatkan lima penumpang saat puncak libur Natal atau Rabu (23/12/2020). Padahal, volume penumpang saat itu terbilang paling tinggi selama libur Natal. Total ada 11.300 penumpang di Stasiun Pasar Senen saat itu.
”Selama 12 jam, cuma dapat lima pinggulan kemarin. Setiap penumpang rata-rata ngasih Rp 20.000-Rp 30.000,” ungkapnya.
Penghasilan Eko saat itu yang tidak lebih dari Rp 150.000 jauh menurun dibandingkan periode Lebaran atau Natal tahun lalu. Pada momen tersebut, Eko minimal bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 300.000 dalam sehari.
Selama 12 jam cuma dapat lima pinggulan kemarin. Setiap penumpang rata-rata ngasih Rp 20.000-Rp 30.000.
Meskipun begitu, penghasilan Eko pada periode Natal ini masih jauh lebih baik dibandingkan hari-hari biasa di masa pandemi. Eko bahkan pernah tidak mendapatkan penumpang selama tiga hari berturut-turut. Ia akhirnya memutuskan untuk beralih profesi sementara.
”Kayak orang bingung pas pandemi. Jarang ada kereta, jarang ada orang. Pernah tiga hari berturut-turut gak dapet duit,” ungkapnya.
Eko sempat menjadi buruh pabrik di Bogor, Jawa Barat. Namun, hal itu hanya bertahan selama kurang dari sebulan karena proyek perumahan yang dikerjakan mangkrak. Dia pun sempat menumpang di rumah temannya di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, karena tak sanggup membayar biaya kontrakan.
”Beruntung masih ada temen saya itu. Saya sempat dikasih makan sama dia beberapa hari. Saya numpang di rumah kontrakannya,” ungkapnya.
Pembagian kerja pramuantar di Stasiun Pasar Senen berbeda dengan Stasiun Gambir. Di Stasiun Pasar Senen, pramuantar dibagi menjadi dua sif dalam sehari. Sif pagi pada pukul 07.00-19.00, sedangkan sif malam pukul 19.00-09.00.
Beruntung masih ada temen saya itu. Saya sempat dikasih makan sama dia beberapa hari. Saya numpang di rumah kontrakannya.
Jika pada pekan pertama pramuantar mendapatkan sif pagi, pekan selanjutnya dia harus masuk malam. Perputaran sif ini terus berlaku pada pekan-pekan selanjutnya.
Dimas (25), pramuantar di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, hingga Kamis siang mengaku baru mendapatkan dua penumpang sejak pagi. Dari dua penumpang itu, dia hanya mendapatkan upah Rp 50.000.
Dimas mengamati, penumpang yang datang ke Stasiun Pasar Senen selama libur Natal ini cukup membeludak. Hanya saja, yang mendominasi adalah penumpang perseorangan yang hanya membawa sedikit barang.
”Penumpang ramai, tapi susah nyari yang bawa barang banyak. Kebanyakan yang pada bawa tas ransel doang,” ungkapnya.
Dari barang-barang yang dibawa, Dimas menduga penumpang-penumpang tersebut hanya akan pergi dalam rentang waktu yang singkat. Menurut dia, situasi ini akan berbeda apabila pemerintah tidak memotong jatah cuti bersama pada akhir tahun ini.
”Paling cuma penumpang keluarga aja yang bawa barang banyak. Itu pun jumlahnya hanya beberapa. Harusnya libur akhir tahun enggak usah dikurangi,” katanya.
Selama pandemi, Dimas mengaku pulang ke kampung halamannya di Kebumen selama lima bulan. Hal ini ia lakukan karena jumlah keberangkatan dan kedatangan kereta jarak jauh menurun drastis. Hal ini membuatnya kesulitan bertahan di stasiun.
”Bulan September saya sempat balik ke stasiun lagi. Tapi sama saja sepi. Akhirnya enggak berapa lama balik lagi ke kampung,” katanya.
Selama di kampung, Dimas bertahan hidup dengan menjadi reseller diamond gim daring. Diamond untuk gim daring ”Free Fire” itu dijual kepada anak-anak SD dan SMP di sekitar rumahnya.
”Ya lumayan. Pendapatannya hampir sama kayak jualan pulsa. Sekali transaksi, keuntungannya ya sekitar Rp 1.500,” katanya.