Libur Akhir Tahun di Ambang Pintu, Aturan Masih Simpang Siur
Surat edaran tidak punya kekuatan hukum apa-apa, penerapannya bisa terserah masyarakat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan berbagai surat edaran, termasuk pembatasan perjalanan libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, menurut sejumlah pakar, tidak bergigi karena hanya sebatas imbauan. Kebutuhan penanganan pandemi ialah aturan tegas yang tidak membingungkan di lapangan, baik untuk masyarakat maupun petugas yang akan menjalankan aturan.
”Semua aturan mengenai penanganan pandemi Covid-19 lebih baik mengacu pada satu undang-undang saja agar jelas turunannya di semua sektor. Surat edaran tidak punya kekuatan hukum apa-apa, penerapannya bisa terserah masyarakat,” kata pakar kebijakan publik Agus Pambagio dalam diskusi virtual ”Mudik Natal dan Tahun Baru 2021 di Masa Pandemi Covid-19”, Senin (21/12/2020). Kegiatan ini sekaligus merayakan Hari Ulang Tahun Ke-25 Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Ia mengutarakan ketidakjelasan aturan terkait libur Natal dan Tahun Baru. Belajar dari pengalaman saat Idul Fitri, pemerintah pusat mengeluarkan imbauan agar masyarakat tidak mudik. Hanya DKI Jakarta yang tegas menahan agar masyarakat tidak mudik atau masuk ke wilayah Ibu Kota.
Komando penanganan pandemi di siapa?
DKI Jakarta memberlakukan surat izin keluar-masuk yang kemudian diikuti oleh Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Bekasi. Jumlah kasus positif di Jakarta pada 24 Mei ialah 4.462 kasus. Dua pekan setelah Idul Fitri, tanggal 9 Juni, jumlahnya 4.360 kasus. Tidak ada lonjakan. Hal itu tidak terjadi pada angka kasus positif nasional yang melonjak, yaitu 22.271 kasus pada tanggal 24 Mei dan dua pekan berikutnya pada tanggal 9 Juni ada 33.076 kasus.
”Akan tetapi, kedisiplinan serupa di Jakarta tidak terjadi ketika Idul Adha. Apabila Ibu Kota melonggar, daerah lain akhirnya lebih parah,” kata Agus.
Idul Adha jatuh pada 31 Juli dengan jumlah kasus positif di Jakarta mencapai 7.157 kasus. Dua pekan sesudah itu, tanggal 7 Agustus, jumlah kasusnya sebanyak 8.398 kasus. Pada skala nasional, tanggal 31 Juli ada 108.376 kasus dan 7 Agustus ada 121.226 kasus.
Komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie, turut mengkritisi tarik ulur kebijakan tersebut. Tidak hanya masyarakat yang bingung, tetapi juga para penegak aturan di lapangan, seperti polisi dan petugas di bandara, terminal, dan pelabuhan. Mereka tidak tahu acuan aturan yang pasti.
Sebagai contoh, pemerintah melarang masyarakat bepergian, tetapi kemudian mengiklankan agar orang-orang pergi berwisata. Di satu sisi mengumumkan kasus harian bertambah dan rumah sakit kian kewalahan, tetapi pada saat yang sama memberi perpanjangan libur.
”Komando penanganan pandemi di siapa? Apakah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Menko Perekonomian, atau Menteri Badan Usaha Milik Negara? Tiap kementerian/lembaga mengeluarkan aturan yang saling bertubrukan,” ujarnya.
Salah satu hal yang diperdebatkan ialah mengenai tes Covid-19 berbasis antigen bagi para calon pemudik. Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 dinilai sumir dalam menuangkan imbauan. Masyarakat diminta tidak mudik, tetapi orang yang hendak naik pesawat diminta menyertakan hasil tes antigen.
Staf Ahli Menhub Chris Kuntadi mengungkapkan, pengguna angkutan publik darat dinilai berasal dari kelompok ekonomi lemah sehingga meminta mereka melakukan tes Covid-19 akan memberatkan secara biaya. Oleh sebab itu, Kemenhub lebih mengutamakan para penyedia moda transportasi ataupun penumpang sama-sama menerapkan protokol kesehatan, terutama memakai masker dan menjaga jarak.
Ketua Bidang Advokasi MTI Djoko Setijowarno mengatakan, justru ketidaktegasan itu yang mengakibatkan berbagai kebocoran. Ia menerangkan, bagi sejumlah pemilik perusahaan otobus (PO), mengadakan tes untuk karyawannya memakan biaya banyak. Akibatnya, mereka diam-diam beralih ke angkutan berpelat hitam yang berfungsi sebagai travel gelap. Cara ini yang membuat pengawasan penegakan protokol kesehatan tidak terpantau.
”Kita belum memikirkan skema jaminan kesehatan karyawan di bidang transportasi. Harus ada kolaborasi pemerintah dan swasta. Kalau PO bisa menjamin kesehatan karyawan, mereka juga bisa mendisiplinkan penumpang. Terminal, stasiun, dan bandara harus bisa mengadakan tes cepat dengan protokol kesehatan ketat,” ujarnya.
Ketua Yayasan Layanan Konsumen Indonesia Tulus Abadi menjelaskan, sanksi bagi perusahaan moda transportasi yang melanggar protokol kesehatan harus tegas. Ada beberapa maskapai penerbangan yang tetap mengisi pesawat sampai penuh meskipun aturan maksimal adalah 50 persen dari kapasitas. Di samping itu, moda transportasi darat di titik-titik peristirahatan juga harus disiplin.
Restoran dan kafe waralaba umumnya sudah disiplin memastikan pengunjungnya antre dan menjaga jarak. Akan tetapi, restoran dan kafe lokal di sepanjang area peristirahatan masih tidak disiplin. Pengawasan dari petugas area ataupun aparat penegak hukum harus jelas.
”Sejauh ini, umpan balik positif dari konsumen baru kepada kereta api yang kondekturnya selalu memastikan setiap penumpang tidak melepas masker dan menjaga jarak,” ucapnya.
Meskipun demikian, fakta sebelum libur 17 Agustus, penumpang kereta api ternyata banyak yang memberi surat sehat abal-abal dari para calo. Surat itu dibanderol dengan harga Rp 150.000 per lembar. Para petugas di stasiun tidak memastikan keaslian surat karena tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya (Kompas, 15 Agustus 2020).