Angka Kasus Tinggi, DKI Memilih Perpanjang PSBB Transisi Lagi
Meski angka kasus harian dan kasus yang dirawat di rumah sakit tinggi, Pemprov DKI Jakarta memilih memperpanjang PSBB transisi. Epidemiolog memiliki pendapat berbeda.
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki pekan keempat Desember, kasus harian Covid-19 di DKI Jakarta terus menanjak. Mengantisipasi lonjakan kasus akibat libur akhir tahun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memilih memperpanjang masa PSBB transisi dibandingkan dengan menerapkan PSBB ketat sebagaimana saran epidemiolog.
Melalui keterangan resmi Pemprov DKI Jakarta, Senin (21/12/2020), Pemprov DKI Jakarta kembali memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi menuju masyarakat sehat aman dan produktif hingga 3 Januari 2021.
Perpanjangan itu didasari pertimbangan atas pertambahan kasus positif Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, sekaligus merupakan langkah antisipasi lonjakan kasus akibat libur Natal dan Tahun Baru. Dari data yang dihimpun Dinas Kesehatan DKI Jakarta, persentase pertambahan total kasus terkonfirmasi positif menunjukkan tren kenaikan selama empat pekan terakhir.
Baca juga: DKI Siapkan Operasi Yustisi untuk Antisipasi Keramaian di Akhir Tahun
Per 20 Desember 2020, kasus konfirmasi positif di Jakarta mencapai 163.111 atau meningkat 13,3 persen dibandingkan dengan dua pekan sebelumnya, yakni 143.961 kasus pada 6 Desember. ”Kami mencatat bahwa kenaikan persentase kasus terkonfirmasi positif signifikan mulai terjadi sejak pertengahan November dan kini stabil di angka 13 persen,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti.
Persentase keterpakaian tempat tidur isolasi harian (ruang rawat inap) ataupun ruang ICU di 98 RS Rujukan Covid-19 di DKI Jakarta juga terjadi peningkatan selama sebulan terakhir. Per 20 Desember 2020, dari 6.663 tempat tidur isolasi, kini sudah ditempati 5.691 pasien atau kapasitasnya sudah mencapai 85 persen. Begitu juga kondisi ruang ICU di mana tempat tidur ICU sudah terisi 722 unit dari 907 unit sehingga persentasenya 80 persen.
Baca juga: Antisipasi Libur Panjang, Pemda Diminta Tegas
Melalui Instruksi Gubernur Nomor 55 Tahun 2020, jelas Widyastuti, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen meningkatkan kapasitas tempat tidur isolasi dan ICU. Dinkes DKI menargetkan peningkatan kapasitas tempat tidur isolasi menjadi 7.171 tempat tidur dan ICU menjadi 1.020 tempat tidur di RS Rujukan Covid-19 Jakarta, khususnya RSUD.
”Peningkatan kapasitas fasilitas ini diiringi pula dengan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan,” ucap Widyastuti.
Sementara itu, rata-rata positivity rate harian per bulan di DKI Jakarta tercatat stabil di angka 9 persen selama tiga bulan terakhir, yaitu 9,6 persen (Oktober); 9,1 persen (November); dan 9,6 persen (Desember). Adapun standar aman positivity rate dari WHO adalah di bawah 5 persen. Nilai reproduksi efektif (Rt) yang menjadi indikasi tingkat penularan di masyarakat menunjukkan skor 1,06 per 19 Desember 2020. Nilai Rt harus berada di bawah 1 agar wabah Covid-19 terkendali dengan baik.
”Jika kita melihat indikator dari BNPB, terjadi transisi risiko dari yang tadinya sedang menjadi tinggi, di mana skor kita pada minggu sebelumnya sebesar 1,8975 menjadi 1,8025 pada minggu ini, yang diakibatkan dari kenaikan kasus positif harian dan kasus positif yang dirawat di rumah sakit,” jelas Widyastuti.
Data terbaru per Senin ini, tambahan kasus positif harian di DKI Jakarta ada 1.466 kasus. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia memaparkan, pada Senin ini dilakukan tes PCR sebanyak 8.189 spesimen. Dari jumlah tersebut, 7.213 orang dites PCR hari ini untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 1.151 positif dan 6.062 negatif.
”Namun, total penambahan kasus positif sebanyak 1.466 kasus, lantaran terdapat akumulasi data 315 kasus dari 2 laboratorium swasta, 5 hari terakhir yang baru dilaporkan. Untuk rate tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 181.841. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 95.816,” terangnya.
Sejak awal Desember, jika dicermati data di corona.jakarta.go.id angka kasus positif harian stabil tinggi, di atas 1.000-an kasus per hari. Dengan situasi itu, Pemprov DKI pada perpanjangan PSBB masa transisi ini fokus untuk mengendalikan mobilitas penduduk yang memiliki potensi lonjakan kasus. Utamanya pada mobilitas penduduk kembali ke Jakarta seusai gelaran pilkada lalu dan periode ke depan, yakni libur akhir tahun.
Kasus di DKI Jakarta mulai 7 November 2020 memang ada kecenderungan meningkat, dengan beberapa kasus diidentifikasi memiliki riwayat berpergian ke luar DKI Jakarta selama cuti bersama. Bahkan, data dari Facebook Data for Good, pada 8 Desember 2020 (1 hari sebelum pilkada) ada pergerakan penduduk dari dalam Jadebotabek ke luar Jadebotabek.
Ini berimplikasi pada pergerakan kembali mereka ke Jabodetabek. Hal itu juga dapat berlaku jika pada periode libur akhir tahun ini masyarakat tetap melakukan liburan dan berpotensi terjadi penularan.
Rem darurat
Tri Yunis Miko Wahyono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, mengkritisi, dengan angka kasus harian yang tinggi dan keterisian tempat tidur yang sudah 80 persen atau melebihi batas ambang, seharusnya Jakarta menerapkan rem darurat, PSBB ketat.
”PSBB transisi tidak tepat lagi. Pada saat fasilitas pelayanan kesehatan terbatas dan ini hampir terjadi di semua provinsi dan kabupaten-kabupaten, semua fasilitas kesehatannya terancam penuh, termasuk DKI Jakarta, saya mengimbau pemerintah melakukan call Covid-19. Selain itu mendirikan RS darurat sampai Juni 2021. Kalau tidak, semua pelayanan kesehatan akan penuh,” jelas Tri Yunis.
Dengan indikator yang digunakan adalah indikator epidemiologis, menurut Tri Yunis, pengetatan melalui PSBB itu harus berlangsung sampai Juni 2021. Utamanya saat itu vaksin sudah tersedia.
Menanggapi tes antigen yang digalakkan pemerintah menghadapi libur akhir tahun, Tri Yunis menerangkan, tes cepat antigen itu untuk pengetesan dan untuk deteksi dini saja. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dari contact tracing. Kalau dari contact tracing ditemukan, penularan lewat transportasi, misalnya, berarti transportasinya dihentikan dulu dan dikurangi kapasitasnya hingga 20 persen.
Sementara itu, Teguh P Nugroho, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, menerangkan, untuk bisa melakukan PSBB ketat saat kasus tinggi juga keterisian tempat tidur di ruang isolasi ataupun ICU tinggi, maka DKI mau tidak mau mesti menyiapkan bansos. ”PSBB total mau tidak mau harus memberikan bansos sebagai kompensasi kepada warga,” jelasnya.
Selain itu, tentunya kesiapan politis. ”Karena pusat ini belum jelas maunya apa. Kadang mau penuntasan Covid-19, kadang mau akselerasi ekonomi. Kalau pembatasan total lagi, nanti ada penolakan dari pusat lagi juga akan menaikkan tensi yang tidak perlu,” jelas Teguh.
Hal ketiga, jelas Teguh, terkait koordinasi antargugus tugas. ”Gugus tugas DKI belum harmonis,” jelas Teguh.
Dalam pandangan Ombudsman RI, PSBB transisi juga belum teruji dengan benar. Selama ini, pengawasan, pencegahan, dan penindakan belum berjalan optimal seperti terlihat dari kantor-kantor yang masih di atas 50 persen, perjalanan dinas masih lancar, industri masih di atas 50 persen, hingga pengaturan jam kerja pekerja tidak jalan. ”Jadi PSBB total atau tidak total, kalau pencegahan, pengawasan, dan penindakan tidak berjalan, akan sama saja,” kata Teguh.
Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta, menjelaskan, perpanjangan PSBB transisi dilakukan karena situasi kasus masih belum ada perubahan. Meski begitu, pengetatan dari sisi kapasitas tempat usaha dan angkutan umum diterapkan. Juga menghadapi libur panjang, jam operasional angkutan umum dibatasi.
Dari sisi fasilitas kesehatan, ujar Riza, Pemprov DKI akan menambah jumlah tempat tidur, baik di ruang isolasi maupun ICU, juga melakukan penambahan sumber daya medis. Sementara pengawasan dan penindakan akan dikerjakan satpol PP.