Piknik di Trotoar
Mencari hiburan dengan menghabiskan waktu di trotoar? Sepintas ini terdengar buruk. Namun, trotoar perkotaan memang didesain dan dibangun agar atraktif sehingga orang senang menapaki dan meluangkan waktunya di sana.
Akhir-akhir ini terbit kangen pada Jakarta, kota yang tak lagi sering-sering dijelajahi seperti sebelum pandemi datang. Ada kerinduan, khususnya berjalan-jalan menikmati trotoar Ibu Kota. Daya tarik Jakarta memang kini tidak lagi melulu Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, atau Ragunan. Sudah lebih dari satu dasawarsa terakhir berkembang tren keliling kota dengan bus Transjakarta, lalu dengan bus wisata gratis, bisa juga dengan menapaki trotoar yang kini sebagian telah ditata dan dipercantik.
Yang istiwewa, rata-rata kawasan di Jakarta yang telah ditata dan dilengkapi trotoar nyaman bisa diakses dengan angkutan umum, baik jaringan bus Transjakarta maupun transportasi massal berbasis rel, seperti KRL, MRT, dan LRT. Maka, yang berduyun-duyun mencoba trotoar baru pun bukan hanya warga setempat, melainkan juga dari kota-kota lain di sekitarnya.
Suatu hari menjelang akhir 2019 lalu, misalnya, tepat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta pusat, banyak orang sibuk menyiapkan panggung untuk perayaan pergantian tahun. Yang terasa menyenangkan, keadaan di sekitar Bundaran HI. Di trotoar yang lebar dengan permukaan rata, orang-orang nyaman dan santai berlalu lalang. Siapa saja diterima berada di sana.
Asyiknya, menjelajah ruas pejalan kaki mulai dapat dirasakan di kawasan protokol di empat kota lain di Jakarta.
Di depan Kedutaan Besar Jepang, ada antrean naik bus wisata bertingkat. Serombongan ibu-ibu muncul dari pintu stasiun MRT bawah tanah yang lantas bergabung dengan banyak warga lain menikmati pusat Ibu Kota. Bangku-bangku di tepi trotoar menjadi tempat rehat yang pas sekaligus strategis untuk melepas pandangan sebebas-bebasnya. Suasana serupa mudah ditemukan di Bundaran Senayan hingga ke kompleks Gelora Bung Karno.
Asyiknya, menjelajah ruas pejalan kaki mulai dapat dirasakan di kawasan protokol di empat kota lain di Jakarta. Sudah pernah dengar, kan, kawasan seputar Blok M di Jakarta Selatan yang menyenangkan juga untuk jalan-jalan? Di sana, kini ada M Bloc, tempat nongkrong relatif anyar yang mudah dicapai dengan berjalan kaki dari Stasiun MRT Blok M atau Terminal Blok M.
Baca juga : Pilkada, Langkah Awal Demokratisasi Mengelola Kota Milik Bersama
Semangat memiliki trotoar keren turut menular ke tetangga Jakarta. Selain jalur pejalan kaki di pusat-pusat kota yang dibangun pemerintah daerah, jalur pedestrian yang lega dan bersih menjadi jurus jualan baru di area urban besutan pengembang swasta.
Trotoar yang kini ramai-ramai dibangun di Bodetabek tersebut terbukti sukses menyedot perhatian publik, sama seperti di Ibu Kota. Sempat viral beberapa pekan lalu di media sosial, foto-foto warga yang piknik di trotoar di Bintaro dan Serpong di Tangerang Selatan.
Budaya baru vakansi di trotoar ini—ramai selama pandemi—terlihat dari banyak orang duduk di atas rumput di sisi kanan-kiri trotoar atau di badan beton jalur pejalan kaki. Tak lupa makan dan minum di sana. Sepeda motor berderet parkir di sisi trotoar di atas badan jalan reguler. Di ruas trotoar yang sama, ada anak balita menaiki sepeda roda tiga, remaja tanggung bermain skateboard, orang-orang memacu skuter listrik.
Turut terpotret pedagang ”starling” alias kopi keliling dengan sepeda motor dan sepeda menjaring pelanggan di sana. Komentar bernada nyinyir sambung-menyambung dengan yang menganggap fenomena ini kebiasaan udik warga yang tidak paham fungsi trotoar.
Bisa jadi semangat warga urban menyambut kehadiran trotoar di kotanya karena mereka selama ini mendambakan ruang terbuka yang mudah diakses kapan saja. Tanpa banyak berpikir, sejumlah warga memanfaatkan fasilitas publik baru itu dengan sukacita.
Baca juga : Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Terlebih di masa pandemi ini, orang diterpa jenuh akibat bekerja dan sekolah di rumah selama hampir 10 bulan. Ditambah pula ekonomi tergencet akibat pagebluk, orang susah mengakses fasilitas umum untuk melepaskan tekanan karena taman publik dan tempat hiburan masih tutup atau dibatasi ketat jam operasionalnya. Sejenak bisa berada di ruang terbuka, meskipun itu berupa trotoar, terbukti membantu menyegarkan pikiran.
Jalan panjang membangun trotoar
Trotoar telah sejak lama masuk dalam bagian penting pembangunan perkotaan modern. Hal ini, antara lain, digaungkan perempuan urbanis dan jurnalis Amerika Serikat, Jane Jacobs. Jacobs sempat menghebohkan publik karena menuntut pengembang yang menurut dia membangun kota dengan menafikan kebutuhan riil warga kota.
Kebutuhan warga kota yang disorot Jacobs dalam salah satu bukunya, The Death and Life of Great American Cities (1961) antara lain setiap bagian kota hendaknya dihuni oleh banyak lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kota yang baik juga menempatkan keamanan penghuninya sebagai urusan bersama. Dengan demikian, anak-anak terjamin aman bermain di depan rumah atau taman dekat rumah, juga bisa pula berjalan kaki menuju sekolahnya. Seluruh warga kota yang setiap hari harus bergerak demi memenuhi kebutuhan rutin pun dimudahkan.
Komunitas sekitar lingkungan tempat tinggal, menurut Jacobs, lebih baik semarak dengan adanya toko-toko penyedia kebutuhan warga, perkantoran tempat warga bekerja, bengkel, dan beragam hunian sesuai kebutuhan serta kemampuan warga. Bangunan-bangunan untuk beragam fungsi itu dibuat menghadap trotoar dan jalan. Ruang yang cair berarti peluang berinteraksi antarwarga tercipta. Lingkungan menjadi lebih aman karena para penghuni bangunan yang menghadap ke arah jalan dan trotoar itu sekaligus sebagai ratusan pasang mata yang mengawasi kawasan bersama tersebut.
Dalam imaji Jacobs, di sekitar tempat tinggalnya, setiap warga harus mudah mengakses semua kebutuhan hidupnya dengan hanya berjalan kaki. Untuk itu, peran jalur khusus bagi pejalan kaki yang menyatukan kawasan urban amat penting.
Baca juga : Hiperlokal dan Urgensi Pembangunan Kota Digital
Agar trotoar akrab digunakan warga, dari laman The City Fix yang dikelola World Resources Institute dipaparkan, jalur pedestrian memang perlu didesain, dibangun, dan dipercantik. Tujuannya, selain sebagai bagian dari fasilitas transportasi dan mobilitas warga, terbit rasa senang saat melewati trotoar, bahkan mau berlama-lama menikmatinya. Di masa modern ini, jalur pejalan kaki turut menjadi sarana menjaga kesehatan fisik dan mental warga.
Untuk itu, desain dasar trotoar setidaknya harus menyediakan jalur utama bagi pejalan kaki yang aman dilalui warga berbagai usia dan keterbatasan fisik. Jalur utama ini tidak boleh diganggu untuk fungsi-fungsi lain. Selanjutnya, ada area untuk utilitas atau fasilitas pelengkap, seperti untuk bangku duduk, hidran, saluran drainase memadai, tempat sampah, patung atau instalasi atraktif, dan lokasi tegakan pohon atau jalur hijau. Di bentang badan trotoar juga disedikan tempat transisi yang bisa menjadi area jeda menuju pintu masuk bangunan, tempat usaha, hunian, area parkir, dan lainnya.
Trotoar wajib dilengkapi berbagai rambu yang diperlukan dan ada simpul yang memastikan keterhubungan dengan area lain, seperti ke tempat penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan, halte, terminal, serta stasiun.
Bagian dari trotoar sebagai fasilitas mobilitas publik, kota perlu meningkatkan ketersediaan jaringan angkutan umum massal yang baik, aman, serta nyaman yang terintegrasi dengan trotoar. Jika terwujud, keinginan memiliki kendaraan pribadi sepertinya bakal pupus dengan sendirinya.
Apa yang diidamkan Jacobs 60 tahun lalu dan penataan kota seperti diungkap The City Fix tersebut kini menjadi bagian dari konsep besar pembangunan kota berkelanjutan. Pembangunan kota berkelanjutan masih satu napas dengan kampanye pembangunan berkelanjutan yang tonggak awalnya, antara lain, disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brasil, pada 1992. Kota berkelanjutan sekarang jadi salah satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang disepakati negara-negara anggota PBB pada 2015 dan ditargetkan tercapai pada 2030.
Baca juga : Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?
Terlihat ada proses panjang untuk bisa menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan bersama. Penyebabnya antara lain ada pemimpin daerah ataupun negara yang belum memiliki pemahaman urgensi yang sama atas mendesaknya kebutuhan itu.
Di Indonesia saja, khususnya untuk tujuan kota berkelanjutan, baru di Jakarta ada upaya gencar membangun jaringan angkutan umum massal perkotaan kurang dari dua dekade ini. Pembangunan trotoar yang masif terpacu kurang dari 10 tahun terakhir. Di Ibu Kota, sampai akhir 2020, baru 11 persen dari total 2.600 kilometer trotoar yang telah direvitalisasi.
Awal yang baik
Meskipun kasatmata sudah ada revitalisasi trotoar di Jakarta dan kawasan sekitar, bukan berarti yang terbangun telah sempurna. Ketidaksempurnaan itu normal jika dilihat dari proses pembangunan trotoar di Indonesia yang masih ”hijau”. Beberapa cela atau kegagapan itu di antaranya ada trotoar hasil revitalisasi yang sulit diakses difabel, jalur pejalan kaki justru diokupasi pedagang kaki lima atau dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor, hingga ada bagian yang langsung rusak seusai terbangun dan membahayakan pelintas.
Masih bagian dari kegagapan tersebut, euforia warga menyambut trotoar. Sebelumnya santer diberitakan, orang Indonesia disebut paling malas berjalan kaki, seperti hasil penelitian Universitas Standford pada 2017 yang diikuti ulasan di The New York Times pada tahun yang sama. Namun, kemalasan itu bisa jadi bukan karena tidak suka berjalan kaki, tetapi karena selama puluhan tahun kita terbiasa dihadapkan pada trotoar bobrok.
Ketika warga negeri ini mendapat trotoar yang bagus, reaksinya pun beragam karena memang tidak pernah dibiasakan memiliki serta menggunakannya dengan baik. Tidak heran jika sejumlah warga menganggapnya sekadar sebagai lahan terbuka baru yang asyik buat piknik sore hari, jalur baru bersepeda motor atau sepeda, atau semacam lokasi gratis spot swafoto demi konten baru di akun media sosial. Praktik okupasi dengan berdagang dan parkir kendaraan pribadi seenaknya hingga menutup semua badan trotoar pun masih terjadi.
Baca juga : Revitalisasi Trotoar di Jalan Otista Habiskan Rp 23 Miliar
Ketika warga negeri ini mendapat trotoar yang bagus, reaksinya pun beragam karena memang tidak pernah dibiasakan memiliki serta menggunakannya dengan baik.
Lagi-lagi perlu mengingat bahwa semesta negara +62 ini tergolong baru mengenal dan memiliki fasilitas publik bernama trotoar yang nyaman. Anggap saja kegagapan itu bagian dari proses pengenalan dan adaptasi. Lambat laun, kita akan secara nyata merasakan kenyamanan berjalan di trotoar lebar tanpa takut diserempet mobil atau sepeda motor. Berjalan kaki lalu naik angkutan umum sedikit demi sedikit tidak lagi dipandang sebelah mata.
Di sisi lain, selama pandemi dan setelahnya nanti, dorongan untuk menyediakan fasilitas publik yang makin dekat dengan lingkungan tempat warga tinggal dan beraktivitas sehari-hari kian mendesak. Hal ini agar mobilitas tinggi penghuni kota dapat ditekan, penyebaran serta penularan Covid-19 ataupun penyakit lain pun kelak dapat dicegah.
Untuk itu, semangat membangun trotoar yang kini bersemi menjadi awal baik. Selanjutnya, trotoar nyaman penghubung ke berbagai ruang dan layanan publik menjadi salah satu hal penting yang harus dijamin bisa terus dibangun demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan mencapai kota sehat dan tangguh.
Baca juga : Menggapai Kota Inklusif demi Pulih dari Pandemi
Selain bertanggung jawab melanjutkan proyek fisik trotoar, pemerintah melalui instansi-instansi terkait dan publik serta pegiat kota berkelanjutan dapat bersama-sama memanfaatkan euforia warga. Euforia ini dapat dijadikan momen untuk saling belajar dan mengedukasi agar fasilitas publik ini digunakan semestinya.
Jadi, yuk, di libur akhir tahun ini tak usah memaksa diri pergi ke luar kota atau ikut bersesak-sesakan di berbagai obyek wisata. Sesekali, eksplorasilah ruang-ruang publik kota tempat tinggal kita.
Bisa jadi nanti menemukan sudut-sudut yang aman untuk melepas penat di tengah wabah. Meluangkan waktu menikmati trotoar baru pun jadi pilihan menarik obat kangen untuk bisa kembali bersosialisasi dengan kaum urban lain. Yang penting, berusaha membiasakan diri tidak mengganggu kepentingan bersama. Jangan lupa, tetap pakai masker dan jaga jarak, ya.