Perubahan paradigma dibutuhkan dalam regenerasi perkotaan yang memungkinkan Jakarta tumbuh sebagai kota yang nyaman ditinggali semua orang.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
Kompas
Anak-anak bermain di tambak di depan rumahnya yang berbatasan dengan rumah susun Marunda, Jakarta Utara, yang sebagian besar belum terisi, Selasa (4/9/2012). Kebijakan pembangunan hunian vertikal atau rumah susun adalah solusi mengatasi masalah keterbatasan lahan di perkotaan. Masalahnya, sebagian warga Jakarta belum siap dengan perubahan sosial budaya dari permukiman horizontal menjadi permukiman vertikal.
JAKARTA, KOMPAS — Penataan kota dan transportasi di DKI Jakarta dianggap telah mengalami dehumanisasi. Perlu perubahan paradigma dalam melakukan regenerasi perkotaan atau urban regeneration yang memungkinkan Jakarta tumbuh sebagai kota yang livable atau nyaman dihuni semua orang.
Ketua Majelis Kode Etik Perencana Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, dehumanisasi bermula pada bergesernya paradigma penataan Jakarta pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030 yang disahkan pada 2012.
Bernie, biasa ia disapa, menjelaskan, perubahan paradigma penataan kota tecermin dari berubahnya prinsip perencanaan ruang dari yang awalnya stakeholders (pemangku kepentingan) menjadi shareholders (pemegang ”saham”).
Perlu dipahami, shareholders di sini bukan berarti pemegang saham secara harfiah. Namun, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta saat itu, Sarwo Handayani, menyebut bahwa semua pihak juga harus berkontribusi, tidak hanya menuntut hak.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Ketua Majelis Kode Etik Perencana Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro berbicara dalam diskusi yang digelar Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta dengan Institut Studi Transportasi (Instran) secara virtual, Sabtu (19/12/2020).
Bernie menambahkan, pembagian peran ini memunculkan persoalan terkait pihak yang memiliki ”kontribusi” paling besar yang akan memiliki kemampuan untuk menentukan arah perencanaan kota.
Kondisi ini yang membuat isu perencanaan kota di Jakarta cenderung mengalami dehumanisasi. Oleh karena itu, ia mengusulkan, dalam momentum regenerasi perkotaan saat ini, prinsip-prinsip kota yang livable harus menjadi bagian yang inheren.
”Cara pandang seperti ini memberikan ruang yang begitu besar secara prinsip kepada kekuatan modal dan kapital,” kata Bernie dalam diskusi yang digelar oleh Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta dengan Institut Studi Transportasi (Instran) secara virtual, Sabtu (19/12/2020).
Selain persoalan filosofis tersebut, menurut Bernie, upaya regenerasi perkotaan yang dicanangkan Pemprov DKI Jakarta saat ini juga terperangkap oleh kurang visionernya RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mulai disusun pada 2010.
Bernie mengatakan, pada saat RTRW dirancang pada 10 tahun lalu, tidak ada trase penting seperti jalur-jalur transportasi massal kereta MRT dan LRT.
”Ini menjadi pelajaran yang sangat penting. Sebab, kesulitan kita untuk menyusun dan melakukan urban regeneration saat ini karena RTRW dan RDTR saat itu tidak visioner,” kata Bernie.
Masyarakat termarjinalkan
Persoalan penataan kota dan transportasi yang nyaman bagi seluruh penghuninya juga disoroti oleh dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Evawani Ellisa.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Pergerakan pedagang gerobak keliling dan relasinya seperti ditunjukkan dalam presentasi dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Evawani Ellisa, dalam diskusi yang digelar Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta dengan Institut Studi Transportasi (Instran) secara virtual, Sabtu (19/12/2020).
Ellisa mengatakan, perencanaan dan pembangunan kota di Indonesia cenderung berorientasi pada mobilitas kendaraan bermotor.
Hal ini kerap membuat pengguna jalan lain, khususnya pedagang keliling, menjadi tidak ”tertampung” dan bisa jadi menghambat kelancaran bertransportasi.
”Fakta di lapangan, perencanaan walkability di jalan-jalan kita sebetulnya yang merasakan adalah kelompok masyarakat yang termarjinalkan ini. Mereka sebetulnya berada di bawah radar penataan transportasi. Nah, bisa tidak, ke depan, mereka dimasukkan ke dalam agenda planning?” kata Ellisa.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Evawani Ellisa, berbicara dalam diskusi yang digelar Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta dengan Institut Studi Transportasi (Instran) secara virtual, Sabtu (19/12/2020).
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Koko Dillon memberikan pendapat senada. Menurut dia, selama ini yang hilang dari pemahaman perencanaan transportasi dari pemerintah adalah perancangan berorientasi pada pejalan kaki atau pedestrian oriented design.
”Desain yang berorientasi pada pedestrian itu yang selama ini kita kehilangan,” kata Koko.
Konsolidasi lahan masyarakat
Direktur Program dari Jakarta Property Institute Mulya Amri mengatakan, selama ini pihaknya melihat dari kacamata pelaku industri bahwa pemerintah cenderung enggan melakukan redevelopment atau pengembangan ulang dari suatu kawasan.
Hal ini yang menjadi halangan dalam menciptakan kawasan permukiman vertikal yang menjadi kunci dalam pembangunan kota yang lebih compact atau ringkas.
Saat ini, menurut Mulya, Jakarta telanjur berbentuk kota yang permukimannya menghampar luas (sprawl) akibat pembangunan yang semakin ke arah pinggiran dan menimbulkan kemacetan.
TANGKAPAN LAYAR ZOOM
Direktur Program dari Jakarta Property Institute Mulya Amri menunjukkan perkembangan kawasan perkotaan DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya saat berbicara dalam diskusi yang digelar Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta dengan Institut Studi Transportasi (Instran) secara virtual, Sabtu (19/12/2020).
Jika pembangunan hunian vertikal dapat dikembangkan, Jakarta akan menjadi lebih ringkas. Segala kebutuhan warganya dapat dilakukan dengan berjalan kaki sehingga pada akhirnya menanggulangi kemacetan.
Menurut Mulya, persoalan kecilnya persil-persil tanah di Jakarta yang selama ini menjadi halangan dalam membangun hunian berdensitas tinggi seperti rumah susun dan apartemen perlu diselesaikan.
Mulya mengatakan, langkah konsolidasi lahan yang bisa dilakukan dan selama ini masih jarang dan atau belum pernah dilakukan adalah konsolidasi oleh masyarakat sendiri.
Pembebasan lahan oleh swasta membutuhkan waktu lama dan hasilnya tidak ada kewajiban terhadap publik. Di sisi lain, jika pembebasan dilakukan oleh pemerintah, bisa berujung pada penggusuran, misalnya.
”Masyarakat dapat diorganisasikan, menjadikan lahan mereka menjadi satu untuk menjadi pembangunan yang kompak dan memberikan nilai tambah. Pemerintah dapat memfasilitasi ini,” kata Mulya.
