Apakah Ada Keberpihakan kepada Korban Kekerasan Seksual?
Penundaan sidang vonis terhadap SPM, terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak misdinar Gereja Herkulanus, Depok, memicu pertanyaan. Apakah akan ada keberpihakan keadilan kepada korban dan keluarganya?
Oleh
AGUIDO ADRI
·7 menit baca
Keluarga anak-anak korban kejahatan seksual sejatinya menanti putusan vonis hakim Pengadilan Negeri IB Kota Depok, Jawa Barat, terhadap terdakwa SPM (42), Rabu (16/12/2020). Namun, penantian untuk mencari keadilan terbukti bakal masih panjang. Sidang vonis ditunda dan mereka harus menunggu hingga 6 Januari 2021. Kemarahan, kekecewaan, dan isak tangis terdengar atas penundaan itu. Mereka menilai, pengadilan tidak berpihak kepada korban.
SPM merupakan terdakwa kasus kekerasan seksual kepada anak-anak misdinar Gereja Santo Herkulanus, Depok. Dari investigasi internal gereja, SPM diyakini melakukan tindak kejahatan seksual kepada 23 anak-anak. Namun, dalam persidangan, jumlah anak yang melapor dan mengajukan tuntunan sebanyak dua pelapor.
Terdakwa SPM diyakini melakukan tindak kejahatan seksual kepada 23 anak.
Persidangan Rabu kemarin adalah yang ke-10 dan seharusnya menjadi sidang pamungkas dengan menjatuhkan hukuman kepada SPM. Sejak pukul 09.30, sejumlah keluarga korban sudah datang dan berkumpul di Pengadilan Negeri (PN) Depok untuk mengikuti sidang yang dijadwalkan pada pukul 10.00. Namun, saat jarum jam menunjukkan pukul 10.20, sidang putusan vonis tak jua dimulai. Ternyata sidang ditunda sementara hingga pukul 11.00. Kemudian kembali ditunda hingga pukul 13.00 dan ditunda lagi pukul 14.00.
Di sela-sela waktu menunggu, sejumlah ibu duduk berkumpul di depan pintu PN Depok. Suasana menjadi hening, kepala mereka menunduk, mata tertutup, dan jari-jari tangan menyatu. Terdengar satu orang bersuara mengucap rangkaian kata, lalu dikuti oleh ibu-ibu lain.
”Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang, dan waktu kami. Amin.”
Sejak sidang pertama hingga kemarin, ibu dari anak-anak korban dan perwakilan dari Gereja Santo Herkulanus selalu berdoa Novena Tiga Kali Salam Maria. Mereka berdoa untuk penghiburan hati, ketenangan, dan untuk semua proses dari peristiwa pahit hingga persidangan. Doa ditujukan bagi para korban anak-anak, hakim, hingga terdakwa.
Sekitar pukul 13.30, sejumlah perwakilan orangtua dan kuasa hukum keluarga dan gereja, Azas Tigor Nainggolan, memasuki ruang sidang. Aturan jaga jarak membuat keluarga lain tidak bisa masuk dan harus menunggu di luar ruang sidang. Lima belas menit di dalam ruang sidang, tiba-tiba terdengar dering telepon seluler Tigor.
”Apa, sidang sudah berlangsung dan sidang ditunda?” kata Tigor kaget mendengar pernyataan panitera PN Depok, Cut Dahlia. Suara kaget Tigor membuat orangtua saling memandang dan bertanya kapan sidang dimulai dan kenapa tiba-tiba sidang sudah diputuskan untuk ditunda.
Tigor yang bingung dan tidak puas dengan penjelasan itu meminta panitera datang ke ruang sidang 1, tempat dijadwalkan putusan vonis terhadap terdakwa SPM. Tak lama berselang, panitera datang dan berdiri di depan pintu sidang.
”Sidang sudah berlangsung dan hakim memutuskan sidang ditunda hingga 6 Januari 2021. Sidang juga dihadiri terdakwa melalui layar (streaming),” kata panitera yang langsung disambut pertanyaan oleh perwakilan orangtua dan Tigor.
Mereka menanyakan kapan sidang itu dimulai, kenapa sidang tiba-tiba ditunda tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, kenapa sidang tanpa dihadiri kedua kuasa hukum dan pihak keluarga, terutama dari pihak korban.
Dengan terbata-bata, panitera mengatakan, sidang berlangsung di ruang sidang 1 pada pukul 13.00 lewat (mendekati pukul 14.30). Keputusan penundaan sidang dikarenakan kuasa hukum terdakwa, Andrio Sinaga, tidak bisa hadir.
Penjelasan panitera tidak memuaskan keluarga dan kuasa hukum. Pertanyaan yang sama kembali dilontarkan kepada panitera. Kali ini, ia menjawab, masa pandemi dan keramaian di ruang sidang menjadi alasan lain sidang ditunda. Padahal, berdasarkan pengamatan Kompas, setiap bangku hanya diduduki dua orang . Adapun di ruang lain, sidang kasus lain tetap berlangsung.
Sementara Nanang Herjunanto dari Humas Pengadilan Negeri Kelas IB Kota Depok menuturkan, alasan penundaan sidang putusan vonis adalah musyawarah majelis hakim belum selesai. Penundaan sidang merupakan kewenangan majelis hakim.
Alasan panitera dan PN Depok yang menunda sidang membuat keluarga kecewa. Mereka keluar dari ruang sidang tanpa bersuara dengan disertai rasa tidak puas. Sejumlah keluarga dan perwakilan dari gereja yang menunggu di luar tampak heran ketika orangtua yang ikut persidangan keluar tak sampai setengah jam.
Di depan semua keluarga korban, Tigor menyampaikan apa yang dikatakan panitera. Di tengah penjelasan Tigor, tiba-tiba kuasa hukum terdakwa datang memasuki Gedung PN Depok sekitar pukul 14.00. Kedatangannya menarik perhatian keluarga dan Tigor karena mereka berpikir dan berharap sidang batal ditunda. Namun, tak lama kemudian, kuasa hukum SPM itu meninggalkan gedung dan berjalan cepat menuju gerbang keluar.
Saat Kompas mengejar penasihat hukum terdakwa itu, ia tak bersedia menjawab perihal penundaan sidang dan kelanjutan sidang karena sedang terburu-buru mengejar acara. Ia meminta agar pertanyaan diteruskan via telpon seluler. Namun, saat Kompas mengirim pesan, tidak ada balasan. Begitu pula saat dihubungi, ia mengatakan sedang dalam perjalanan dan langsung menutup panggilan. Hingga Rabu malam, penasihat hukum terdakwa belum juga memberikan respons.
Kepergian kuasa hukum terdakwa memupus harapan agar sidang bisa kembali dilanjutkan. Rasa kecewa dan marah bermunculan dari keluarga. Bahkan, salah seorang ibu berlinang air mata. Ia dipeluk oleh sang suami agar kuat dan tabah atas peristiwa yang menimpa anaknya hingga sidang yang harus ditunda.
”Oke, orangtua saat ini menerima penundaan sidang vonis. Tapi, saat sidang 6 Januari nanti, pelaku harus hadir. Kami berkorban bersama-sama untuk anak-anak. Tidak bisa seenaknya saja, tidak seharusnya pada sidang vonis kami diperlakukan seperti ini. Di mana keadilan untuk anak kami,” lantang salah satu orangtua berkata dengan suara gemetar.
Kami berkorban bersama-sama untuk anak-anak. Tidak bisa seenaknya saja, tidak seharusnya pada sudang vonis kami diperlakukan seperti ini. Di mana keadilan untuk anak kami.
Sebagai kuasa hukum,Tigor mengutarakan ketidakpuasannya. Ia mempertanyakan mekanisme persidangan di PN Depok yang dinilai tidak sesuai aturan dan tidak jelas. Padahal, sidang pada Rabu ini merupakan sidang terakhir dan penetapan vonis hukuman bagi terdakwa. Selain itu, Tigor menilai, pihak PN Depok tidak transparan kepada keluarga dan publik.
”Ada beberapa alasan yang jangal. Seharusnya kami pihak keluarga dan kuasa hukum diberi informasi sidang penundaan itu. Kami seharusnya dihadirkan dalam sidang. Jangan tiba-tiba diputuskan penundaan tanpa kehadiran kami dan pemberitahuan melalui telepon seluler saat kami sudah berada di ruang sidang. Kejanggalan lain, katanya kuasa hukum tidak hadir sehingga sidang tidak bisa digelar. Namun, ternyata kuasa hukum SPM hadir. Nah, seharusnya jalan sidangnya,” papar Tigor.
Dari kejanggalan penundaan sidang vonis, Tigor bersama keluarga dan pihak gereja akan membuat laporan dan mengirimkannya ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Selain itu, saat sidang pada 6 Januari mendatang, terdakwa harus hadir. Selama persidangan awal hingga kesepuluh, terdakwa tak pernah hadir langsung.
”Penundaan ini terlalu sering, dan peristiwa penundaan sekarang adalah yang paling mengecewakan karena ini merupakan kasus besar, kasus yang berdampak besar untuk anak-anak dan keluarga. Saya minta ini diawasi betul persidangan di PN Depok. Kami akan laporkan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat,” lanjutnya.
Sementara itu, Pastor Paroki Gereja Santo Herkulanus, Yosep Sirilus Natet, yang hadir di PN Depok juga menyatakan kecewa sidang vonis ditunda. Natet, yang sejak awal selalu mendampingi anak-anak dan keluarga, membuka kasus, hingga mengikuti proses persidangan itu, menilai bahwa penegakan hukum harus berjalan dan jangan terus ditunda.
Apa pun alasan penundaan sidang vonis, kata Natet, hakim harus melihat secara luas peristiwa yang terjadi. Kasus ini melukai para korban, keluarga, dan publik secara luas. Terdakwa sebelumnya diketahui aktif dalam kegiatan gereja dan selalu berada di dekat anak-anak. SPM diduga memanfaatkan kondisi untuk kepentingan bejatnya sendiri. Hukuman berat baginya dituntut agar direalisasikan dalam proses peradilan yang tengah berjalan kini.
”Kami harapkan hukum ditegakkan seadil-adilnya dengan melihat perbuatan terdakwa. Selain itu, ada proses panjang bagi anak-anak untuk terapi dan memulihkan psikologinya. Tidak cukup terapi dua-tiga hari. Bagi anak-anak dan orangtua, ada proses pengorbanan waktu, tenaga, dan uang. Itu yang menjadi pertimbangan kami kepada hakim. Jangan melihat ini kasus biasa, apalagi sampai menunda sidang seperti ini. Ini kasus besar. Hati nurani mereka untuk melihat bahwa korbannya adalah anak-anak. Itu bisa terjadi kepada anak lainnya. Ada pertimbangan etis dan moral sebagai manusia agar bisa menjadi kebaikan untuk semuanya,” tuturnya.
Meski kecewa, Natet tetap menghargai keputusan hakim PN Depok. Menurut dia, menghargai keputusan hakim menjadi sebuah proses dalam bagian kepercayaan kepada jaksa atau hakim yang akan memutuskan vonis nanti.
”Terkait putusan nanti, yang penting adalah warga negara Indonesia bisa melihat proses pembelajaran dari (tindak) kriminal atau kekerasan seksual kepada anak-anak. Negara juga akan melihat, bahkan mengevaluasi dan mengoreksi, jika persidangan dan putusan vonis hakim dinilai kurang tegas. Apakah akan ada keberpihakan kepada korban dan keluarga?” kata Natet.