Langit Biru Tak Berarti Polusi Lenyap dari Jakarta
Langit yang berwarna biru tidak selalu berarti kualitas udara membaik. Polusi tetap membayangi kota besar seperti Jakarta saat langit terlihat biru seperti langit di Ibu Kota pada awal bulan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa waktu lalu, unggahan tentang langit biru di Ibu Kota membanjiri lini masa di media sosial. Kemunculan langit biru tidak serta merta menandakan udara di Jakarta membaik. Polusi tetap membayangi Jakarta meskipun mobilitas warga berkurang selama pandemi.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menjelaskan, 1 Januari-12 Desember 2020, rata-rata konsentrasi tahunan particular matter (PM) 2,5 di Jakarta Pusat mencapai 35 mikrogram per meter kubik. Sementara di Jakarta Selatan rata-rata konsentrasi tahunannya mencapai 43 mikrogram per m3.
Rata-rata konsentrasi tahunan PM 2,5 ini diambil dari data Air Now Stasiun PM 2,5 milik Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Dari data itu disimpulkan, PM 2,5 di Jakarta sepanjang 2020 nilainya jauh diatas baku mutu udara ambien nasional, yakni 15 mikrogram per m3 dan WHO air quality guidelines, yakni 10 mikrogram per m3.
”Bisa kita simpulkan, tahun 2020 ini udara Jakarta masih tercemar. Rata-rata konsentrasi PM 2,5 tahunannya hampir tiga kali lipat dari baku mutu udara ambien nasional,” ujarnya dalam pertemuan virtual dengan jurnalis dalam Catatan Akhir Tahun Koalisi Ibukota bertajuk ”2020: Sepanjang Tahun Pandemi, Udara Bersih Hanya Ilusi”, Senin (14/12/2020).
Baca juga :Perbaikan Kualitas Udara Berlangsung 6 Jam
Kendati demikian, dibandingkan dengan data serupa pada 2019, terjadi penurunan rata-rata konsentrasi tahunan PM 2,5. Data dari stasiun PM 2,5 milik Kedubes AS pada 2019 di Jakarta Pusat menunjukkan rata-rata konsentrasi tahunan PM 2,5 adalah 40 mikrogram per m3. Sementara di Kedubes AS Jakarta Selatan adalah 53 mikrogram per m3.
Rata-rata konsentrasi tahunan 2019 di dua lokasi ini selaras dengan data dari stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) lainnya yang dirilis Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Di Stasiun Bundaran Hotel Indonesia rata-rata konsentrasi tahunan tercatat 51,36 mikrogram/m3, Stasiun Kelapa Gading (43,32 mikrogram/m3), dan Stasiun Jagakarsa (50,14 mikrogram/m3).
"Untuk 2020, kami belum mendapatkan data resmi dari pemerintah. Tapi karena data dari Kedubes AS ini dipakai Pemprov sebagai referensi tahun lalu, maka kami bisa pakai ini," tambah Bondan.
Lebih rinci, Bondan menyebutkan bahwa hanya tujuh hari di Jakarta Pusat yang kualitas udaranya dikategorikan baik sepanjang 2020. Di Jakarta Selatan bahkan hanya ada tiga hari. Selebihnya, udara di dua wilayah Jakarta ini masuk kategori sedang hingga tidak sehat.
Sementara itu, unggahan tentang langit biru oleh warganet sempat meramaikan linimasaTwitter pada 1 Desember 2020. Tagar #langitbiru dan #langitjakarta pun mencuat.
Hal ini sempat dikonfirmasi oleh Bondan melalui data Indeks Kualitas Udara (IKU) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2 Desember 2020 pukul 11.21. Data pada 2 Desember ini sejatinya adalah data sehari sebelumnya atau 1 Desember 2020.
Data menunjukkan, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya tidak sepenuhnya baik. Di Sukabumi, Jawa Barat, kualitas udara masuk kategori berbahaya. Di Karawang, Jawa Barat, kategori udara sangat tidak sehat. Bahkan, di Jakarta Utara, ketegori udara tergolong tidak sehat. Artinya, langit biru tidak selalu menandakan kondisi udara yang bebas dari polutan.
”Jadi ketika langit biru, perlu dicek lagi tingkat polutannya. Contohnya di Jakarta Utara pada 1 Desember 2020, ternyata ozon (O3)-nya tidak sehat,” tambahnya.
PM 2,5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Partikel ini bisa dengan mudah menembus sistem pernapasan manusia sehingga dapat memicu terjadinya penyakit pernapasan.
Berdasarkan penelitian berjudul ”Dampak Polusi Udara terhadap Asma” yang pernah disusun oleh perhimpunan dokter paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Lampung, polusi udara memiliki kaitan dengan bertambahnya gejala asma atau peningkatan reaktivitas bronkus. Polusi udara disebabkan oleh PM, O3, nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2).
Jadi ketika langit biru, perlu dicek lagi tingkat polutannya. Contohnya di Jakarta Utara pada 1 Desember 2020, ternyata Ozon (O3)-nya tidak sehat.
Merujuk pada dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah DKI Jakarta 2020, Bondan menyebutkan, transportasi darat menjadi penyumbang terbesar polusi udara Jakarta pada 2019, yakni 75 persen. Selanjutnya pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran domestik (8 persen), dan pembakaran industri (8 persen).
Baca juga :Sektor Transportasi Berkontribusi Besar
Hal ini dibenarkan Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, dalam konferensi pers virtual tentang penundaan pemberlakuan standar emisi Euro IV untuk kendaraan diesel.
Menurutnya, polusi dari bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu penyumbang terbesar pencemaran udara di banyak kota. ”Sayangnya, pemberlakuan BBM berstandar Euro IV jenis diesel yang lebih ramah lingkungan ditunda oleh KLHK dari 2021 menjadi 2022,” katanya.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Dasrul Chaniago membenarkan bahwa pemberlakuan BBM berstandar Euro IV untuk diesel diundur selama satu tahun. Hal ini menyusul adanya surat yang dikirimkan oleh Gaikindo selaku produsen kepada KLHK pada 4 Mei 2020.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa saat ini banyak negara penyuplai komponen teknologi produksi yang masih memberlakukan karantina wilayah. ”Industri otomotif juga bergantung pada banyak industri komponen luar negeri yang terdampak dengan Covid-19 sehingga penyediaan BBM Euro IV untuk diesel ikut terkendala,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Dasrul, para ahli yang selama ini membantu menyiapkan proses produksi Euro IV Diesel juga tengah pulang ke negara masing-masing. Hingga saat ini belum bisa diprediksi kapan mereka dapat kembali ke Indonesia.
Gaikindo juga telah menyampaikan perkembangan produksi Euro IV di Indonesia. Untuk rancang bangun dan rekayasa saat ini sudah selesai 100 persen. Pengembangan fasilitas produksi juga sudah selesai 100 persen.
Industri otomotif juga bergantung pada banyak industri komponen luar negeri yang terdampak dengan Covid-19 sehingga penyediaan BBM Euro IV untuk diesel ikut terkendala.
Sementara itu, pengembangan komponen baru dan rantai suplai saat ini prosesnya baru mencapai 50 persen. Adapun persiapan proses produksi perkembangannya juga baru 50 persen.
”Untuk sertifikasi saat ini baru selesai 25 persen. Persiapan purna jual juga masih 0 persen,” kata Dasrul.
Beralih kendaraan
Selama pandemi Covid-19, Fauzi (26), karyawan swasta asal Bekasi, Jawa Barat, mengaku lebih sering berangkat ke kantornya menggunakan mobil atau sepeda motor ketimbang naik transportasi umum. Alasannya, ia berusaha menghindari risiko penularan Covid-19.
”Awal-awal masuk kantor setelah PSBB, saya selalu naik kendaraan sendiri. Namun, akhir-akhir ini terpaksa naik transportasi umum beberapa kali karena hujan,” katanya.
Selama menggunakan kendaraan pribadi, Fauzi menilai jalanan tidak seramai sebelum pandemi. Dia sempat optimistis jika hal tersebut dapat menekan polusi udara di Jakarta. Ia sama sekali tidak menduga jika udara di Jakarta masih dipenuhi polutan.
”Ternyata masih berpolusi juga. Padahal, menurut saya, kendaraan sudah cukup berkurang,” ujarnya.
Menurut Peneliti International Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan inventarisasi emisi. Hal ini penting untuk menyusun strategi dan rencana aksi supaya tepat guna.
”Dari inventarisasi polusi ini bisa diketahui dari mana saja sumber-sumber polutan yang paling banyak di Jakarta,” ungkapnya dalam webinar ”2020: Sepanjang Tahun Pandemi, Udara Bersih Hanya Ilusi”.
Inventarisasi emisi yang Bella maksud mencakup parameter-parameter yang memengaruhi kualitas udara, seperti PM 2,5, PM 10, hingga SO2. Hal ini penting untuk diketahui karena sangat berbahaya bagi kesehatan.
”Selama ini Pemprov DKI Jakarta hanya menginventarisasi emisi untuk gas rumah kaca saja yang berkaitan dengan karbon,” ujarnya.
Bella juga berharap Pemprov DKI Jakarta menambah jumlah SPKU yang mereka miliki. Idealnya, Ibu Kota setidaknya memerlukan 11 SPKU. Saat ini Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki lima SPKU yang mengukur PM 2,5.
Uji emisi
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Syaripudin, dalam keterangan tertulis, mengatakan, guna mengurangi polusi di Jakarta, pihaknya menggelar uji emisi gratis untuk kendaraan pribadi warga Jakarta sejak 3 November 2020. Uji emisi adalah pengukuran gas buang kendaraan bermotor untuk mendeteksi kinerja mesin kendaraan.
Uji emisi digelar dua kali sepekan pada Selasa dan Kamis di Kantor Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Cililitan, Kramatjati, Jakarta Timur. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
”Dengan menguji emisi nanti kita akan tahu kadar zat yang berbahaya atau tidak bagus untuk lingkungan, dan membantu terealisasinya Jakarta langit biru,” katanya.
Baca juga : DKI Masih Kekurangan Bengkel untuk Uji Emisi
Bagi pemilik kendaraan, ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari uji emisi. Mereka dapat mengetahui tingkat efektivitas proses pembakaran bahan bakar pada mesin setelah dilakukan analisa kandungan karbon dioksida dan hidrokarbon dalam gas buang. Di sisi lain, uji emisi juga membantu pemilik mobil menyetel campuran udara dan bahan bakar secara cepat.
”Dengan begitu dapat menghemat bahan bakar dan mengoptimalkan tenaga mesin mobil dan membuat lingkungan semakin sehat karena udara yang bersih,” kata Syaripudin.