Meski pandemi belum usai, sebagian warga sudah bepergian ke luar kota. Aktivitas perjalanan ini harus tetap diwaspadai dengan protokol kesehatan ketat karena berpotensi untuk bertemu banyak orang dan memicu penularan.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Dalam kondisi normal, perjalanan jarak jauh ke luar kota merupakan hal lumrah yang dilakukan masyarakat. Namun, semua berbeda saat pandemi. Pemerintah menganjurkan agar setiap warga tetap tinggal di rumah dan sebisa mungkin mengurangi mobilitas.
Anjuran ini untuk mencegah transmisi Covid-19 lebih luas karena sudah banyak ditemukan kluster penularan dari perjalanan ke luar kota. Di antaranya kluster kondangan di Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Sebanyak satu warga Parakan meninggal dan 21 orang lainnya positif setelah kondangan ke Cirebon, Jawa Barat, pertengahan September lalu.
Belum lama ini juga muncul kluster piknik dari Madrasyah Aliyah Negeri (MAN) 22 Jakarta. Bermula dari piknik ke Yogyakarta pada 20-23 November 2020 yang diikuti oleh 47 guru dan karyawan. Acara itu menyebabkan 30 peserta piknik dinyatakan positif Covid-19.
Tidak dapat dimungkiri, meski masih masa pandemi, hasrat warga untuk menyegarkan pikiran di luar kota cukup tinggi. Hal inilah yang menyebabkan sejak pandemi Covid-19, sebanyak 28 persen responden jajak pendapat Kompas menyatakan pernah bermobilitas ke luar kota.
Mereka yang pernah pergi mayoritas berasal dari kelompok usia produktif. Terbanyak (33,3 persen) adalah usia 24-40 tahun yang mengatakan pernah ke luar kota. Kemudian disusul usia kurang dari 24 tahun sebesar 32,6 persen dan usia 41-60 tahun 24,4 persen. Sementara usia lebih dari 60 tahun yang termasuk kelompok rentan hanya 7 persen.
Acara ke luar kota
Potensi penularan Covid19 saat melakukan perjalanan ke luar kota tetap diwaspadai. Potensi penularan bisa terjadi saat berada dalam moda transportasi yang digunakan.
Kendaraan pribadi menjadi moda favorit tiga perempat responden untuk bepergian ke luar kota. Sebanyak 43,6 persen memilih menggunakan mobil dan 32 persen dengan sepeda motor. Sisanya menggunakan transportasi umum, di antaranya pesawat udara (10,7 persen), bus AKAP atau travel (4,7 persen), kereta api (4 persen), dan kapal (0,7 persen).
Maraknya pengguna kendaraan pribadi dianggap lebih aman karena tidak bertemu dengan banyak orang. Selain, itu naik kendaraan pribadi juga dinilai lebih praktis karena tidak membutuhkan surat bebas Covid-19 yang hanya berlaku pada sebagian moda umum saja. Namun, kemudahan ini justru memperbesar potensi penularan virus antarkota karena bisa saja membawa virus dari kota asal.
Potensi penyebaran lainnya saat tiba di kota tujuan. Bebeberapa lokasi yang didatangi dan acara yang diikuti berpotensi sebagai sumber penularan virus.
Dari hasil jajak pendapat Kompas pada November lalu, diketahui mayoritas responden (30,9 persen) pergi ke luar kota untuk acara keluarga. Acara keluarga, seperti kondangan atau melayat, identik dengan kerumunan banyak orang. Kondisi ini diperburuk dengan sikap percaya bahwa anggota keluarga yang lain dalam kondisi sehat. Selanjutnya, abai dengan protokol kesehatan. Padahal, acara itu dihadiri orang dari sejumlah daerah dengan kondisi kesehatan yang berbeda pula.
Selain itu, seperempat lebih melakukan perjalanan ke luar kota untuk berlibur. Kondisinya sama dengan acara keluarga. Berkumpul dengan orang dekat yang dikenal, selanjutnya mengindahkan protokol kesehatan.
Padahal, durasi bersama peserta adalah sepanjang acara piknik yang cukup lama. Maka, jika ada salah satu peserta terinfeksi, proses penularannya terjadi sangat cepat dan masif, seperti pada kluster piknik MAN 22 Jakarta.
Sisanya, 24,8 persen, ke luar kota karena urusan pekerjaan atau bisnis. Acara ini biasanya juga bertemu dengan banyak orang. Sejumlah pejabat daerah terjangkit Covid-19 setelah melakukan perjalanan ke luar kota.
Terakhir, Soufis Subri, Wakil Wali Kota Probolinggo yang meninggal pada 9 Desember lalu, terpapar Covid-19 setelah dirawat 19 hari di rumah sakit. Sebelumnya, Soufis melakukan perjalanan dinas ke Bandung dan sesudahnya mengeluh demam dan batuk.
Lonjakan pascaliburan
Jelang libur panjang akhir tahun 2020, lalu lintas perjalanan ke luar kota berpotensi meningkat. Pengalaman tahun sebelumnya, akhir tahun biasanya digunakan warga untuk bertamasya atau merayakan Natal bersama keluarga di kampung halaman. Pemerintah mengantisipasinya dengan mengubah waktu cuti bersama dengan menetapkan tanggal 28-30 Desember tidak libur dan tetap masuk kerja seperti biasa.
Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mencegah lonjakan kasus Covid-19 pascalibur panjang seperti yang terjadi sebelumnya. Contohnya, lonjakan kasus harian 13 November lalu yang mencapai 5.444 kasus. Disinyalir lonjakan ini terjadi akibat aktivitas warga selama libur panjang 28 Oktober hingga 1 November 2020.
Meski demikian, kebijakan pengurangan hari libur pada akhir tahun menjadi tantangan tersendiri. Sebelumnya, sejumlah maskapai penerbangan telah menawarkan tiket promo untuk penerbangan hingga pertengahan tahun 2021. Ditambah lagi Kementerian Perhubungan juga membebaskan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) di 13 bandara hingga akhir tahun yang berdampak pada penurunan harga tiket.
Promo dan pembebasan tarif ini otomatis menjadi salah satu peluang warga untuk bepergian ke luar kota saat akhir tahun dan berpotensi meningkatkan jumlah perjalanan ke luar kota. Meski demikian, jika harus tetap melakukan perjalanan ke luar kota, anjuran pemerintah untuk melakukan 3M (memakai masker, menjaga jarak, rutin mencuci tangan) harus tetap dilakukan serempak oleh masyarakat, di mana saja dan saat bersama orang lain.