Hampir Sepuluh Bulan Pandemi, Pendekatan Berbasis Kultural Masih Minim
Jika pusat perbelanjaan dan pasar bisa dibuka dengan syarat protokol 3M, semestinya kegiatan budaya bisa diaktifkan kembali dengan pengawasan ketat untuk mempromosikan protokol ketat pencegahan penularan wabah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Pendidikan masyarakat mengenai risiko penularan Covid-19 serta penegakan protokol kesehatan melalui pendekatan budaya lokal yang semestinya menjadi landasan kedisiplinan masyarakat masih berjalan tertatih-tatih. Padahal, secara tradisi Betawi ada konsep Sedekah Alam yang berarti menjaga keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan lingkungan sekitar yang bisa digali lebih banyak untuk mendidik masyarakat Ibu Kota.
”Permasalahan kurangnya pendekatan budaya dalam pendidikan masyarakat mengenai protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan dengan sabun serta air mengalir (3M) memang kompleks karena ada soal struktur dan soal sejarah,” kata Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, saat dihubungi pada hari Kamis (10/12/2020).
Dari sisi struktur, ia mengatakan, pelibatan para budayawan ataupun seniman dalam penanganan Covid-19 baru dilakukan belakangan. Pendekatannya masih sangat formal, dari atas ke bawah atau dari pemerintah ke warga. Jika pada tingkat kelurahan hingga provinsi tokoh masyarakat dan seniman dikumpulkan, biasanya hanya disuruh mendengar arahan pemerintah. Tidak ada umpan balik mengenai pendekatan yang sebaiknya digunakan pada komunitas akar rumput secara spesifik di wilayah masing-masing. Padahal, kekuatan tokoh budaya adalah bisa mengena ke emosi dan spiritual warga di komunitas tersebut.
Sanggar memiliki tempat di hati warga sehingga apabila setiap sanggar diakui sebagai mitra dalam pencegahan Covid-19, mereka memiliki strategi yang spesifik menyasar lingkungan tempat mereka berada. Camat, lurah, dan ketua rukun warga atau rukun tetangga mungkin memiliki otoritas formal, tetapi tokoh-tokoh adat yang ada di sanggar yang sesungguhnya memiliki pengaruh intrinsik di akar rumput.
Sanggar memiliki tempat di hati warga sehingga apabila setiap sanggar diakui sebagai mitra dalam pencegahan Covid-19, mereka memiliki strategi yang spesifik menyasar lingkungan tempat mereka berada.
”Pendekatan yang formal ini tidak mengeksplorasi sejauh mana para seniman dan budayawan memahami pandemi. Faktanya adalah ada tokoh-tokoh yang secara terang-terangan masih tidak memercayai pandemi itu nyata. Akibat kepada masyarakat di lingkungannya sangat besar dalam tingkat kepatuhan protokol 3M,” tutur Roni.
Selain itu, juga ada persoalan perilaku turun-temurun di masyarakat Batavia hingga Jakarta saat ini. Dalam diskusi Lembaga Kebudayaan Betawi di awal pandemi mengenai sejarah wabah di Batavia, terungkap tidak ada perubahan perilaku yang drastis di masyarakat Ibu Kota. Kebiasaan membuang sampah sembarang merupakan perilaku buruk yang ada sejak berabad lalu.
Roni menjelaskan, konsep Sedekah Bumi yang berarti memastikan keselarasan manusia dengan Sang Pencipta dengan alam semesta patut digali kembali karena sangat relevan dengan pembentukan karakter menjaga sesama dan lingkungan. Salah satu tradisi yang dilupakan masyarakat Betawi dan akar rumput Jakarta ialah meletakkan gentong air di depan rumah.
”Dulu fungsi gentong ialah menyediakan minuman gratis bagi orang lewat. Sekarang bisa diadaptasi untuk mencuci tangan. Konsep membuat wastafel portabel di lingkungan tempat tinggal kini seolah asing dan baru muncul ketika pandemi, padahal ini benar-benar tradisi, hanya tidak digali kembali,” ujarnya.
Komunitas Betawi Kita dalam dialog bersama seniman menemukan bahwa selain tidak dilibatkan dalam program penanganan pandemi, mereka lebih mencemaskan keadaan ekonomi. Mayoritas sanggar sebelum pandemi mendapat penghasilan dari melakukan pertunjukan seni di acara pernikahan, peresmian gedung, dan pembukaan seminar.
Adanya pembatasan sosial berskala besar membuat kegiatan ini dilarang dan akibatnya para pelaku seni ada yang apatis terhadap langkah yang diambil pemerintah dan sikap mereka diikuti oleh orang-orang di sekitar. Oleh sebab itu, dialog intensif dan setara antara pemerintah dan budayawan serta seniman sangat penting agar berbagai aspirasi serta ekspresi seni bisa tersalurkan melalui berbagi metode yang aman dan bervariasi, tidak sekadar melalui kegiatan virtual.
”Beberapa pertanyaan yang diutarakan oleh seniman dan budayawan adalah pusat-pusat perbelanjaan dan pasar bisa dibuka dengan syarat protokol 3M, demikian juga dengan resepsi pernikahan. Semestinya untuk kegiatan budaya juga bisa diaktifkan kembali dengan pengawasan ketat untuk mempromosikan protokol kesehatan,” kata Roni.
Jika pusat perbelanjaan dan pasar bisa dibuka dengan syarat protokol 3M, demikian juga dengan resepsi pernikahan. Semestinya kegiatan budaya bisa diaktifkan kembali dengan pengawasan ketat untuk mempromosikan protokol kesehatan.
Ia menjelaskan, sanggar-sanggar seni merupakan moda sosialisasi dan penerapan protokol 3M yang sangat potensial. Keberadaan sanggar tidak hanya mengajar masyarakat mengenai musik, tari, lenong, dan silat, tetapi juga memastikan falsafah kebudayaan, tidak hanya budaya Betawi bisa terus dijalankan.
Pedagang pasar
Salah satu bentuk kasus Covid-19 yang kerap ditemui ada di pasar. Ikatan Pedagang Pasar indonesia (Ikappi) mencatat, dari April hingga 2 Desember 2020 ada 1.762 pedagang pasar yang terkena Covid-19 dan 68 di antaranya meninggal dunia. Provinsi Jawa tengah memiliki jumlah pedagang positif tertinggi, yaitu 475 orang. Jakarta menduduki peringkat kedua dengan jumlah 152 pedagang.
Ketua Bidang Infromasi dan Komunikasi IKAPPI Reynaldi Sarijowan mengatakan, di satu sisi uji reaksi berantai polimerasi (PCR) di masyarakat meningkat sehingga bisa menemukan berbagai kasus positif Covid-19. Akan tetapi, ia tidak menafikan bahwa kewaspadaan serta kedisiplinan telah berkurang di pedagang pasar ataupun di pengunjung. Ini masalah di akar rumput karena jika hanya mengandalkan pemantauan petugas di pasar yang terjadi adalah bermain kucing-kucingan. Masker serta menjaga jarak hanya ketika ada petugas berpatroli.
Salah satu contohnya ialah Pasar Bunga Rawa Belong di Jakarta Barat pada akhir November. Mayoritas pedagang tidak memakai masker. Bahkan, mengalungkan masker saja tidak. Para pembeli yang harus mengambil langkah ekstra melindungi diri sendiri. Salah seorang pedagang mawar potong ketika ditanya alasan tidak bermasker hanya menjawab ia lupa membawa. Para pedagang juga sudah kembali duduk bergerombol.
Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Jakarta Baequni Boerman mengakui minimnya pendekatan kultural dalam penanganan Covid-19. Pakar kesehatan memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan bahasa, gaya, serta tata krama yang bisa menyentuh masyarakat di akar rumput.
”Pelibatan tokoh-tokoh budaya lokal, tokoh agama, seniman yang memiliki pengikut walaupun di komunitas tertentu akan memiliki kesempatan lebih baik menyentuh tidak hanya pikiran, tetapi juga perasaan masyarakat,” ujarnya.