Mengail Nafkah Saat Macet Merambat di Jalur Puncak
Banyak orang yang ketiban rezeki dari kemacetan lalu lintas di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Di sisi lain, kemacetan ini juga membuat sejumlah orang merana.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Macet adalah berkah bagi Taufiq (35). Lap pengering menjadi cara Taufiq mengail nafkah bagi keluarga di sela-sela kemacetan jalur Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Saban hari, Taufiq menempuh 18 kilometer dari Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, ke Jalan Raya Puncak-Gadog, Cisarua, Bogor. Berangkat pukul 10.00, ia sampai di ruas itu sekitar 30 menit kemudian. Tepat seperti perkiraannya, antrean kendaraan menuju Cianjur sudah menanti di depan mata.
Setelah memarkir sepeda motornya, ia langsung mengusung barang dagangannya dan merangsek masuk ke tengah-tengah antrean kendaraan. ”Sengaja berangkat siang karena macetnya jam-jam segini,” katanya saat ditemui, Kamis (10/12/2020) siang.
Dari situ, ia mampu mengantongi keuntungan hingga Rp 150.000 per hari. Saat akhir pekan, uang Rp 200.000 pun mampu ia genggam.
”Kalau di sini enggak macet, ya, cari tempat yang macet. Tapi, kalau memang jalanan lancar kayak awal-awal pandemi kemarin, ya, mau enggak mau, mentok cuma bawa pulang Rp 30.000-Rp 50.000,” ungkapnya.
Semangat Taufiq kini tengah memuncak. Sebab, musim hujan kembali datang. Artinya, banyak pengendara bakal tertarik membeli lap pengeringnya. Barang yang dijajakan Taufiq disesuaikannya dengan tren saat itu. Taufiq pernah menjual tongkat untuk kartu elektronik yang sempat dicari orang.
Tak hanya Taufiq. Setahun ini, Astian (20) juga memanfaatkan kemacetan di Puncak untuk menjajakan paket piza. Roti pipih bulat dengan aneka taburan ini ditawarkan di tepi Jalan Raya Puncak-Gadog, Cisarua, pukul 11.00-16.00.
Pada hari biasa, karyawan Pizza Hut di kawasan Puncak ini bisa menjual 15 paket piza kepada pengendara. Sementara pada akhir pekan, 25 paket piza terjual. Satu paket piza dihargai Rp 100.000.
”Untung, jualan (di pinggir jalan) kayak gini masih laris. Kalau enggak, mungkin bisa kena PHK (pemutusan hubungan kerja) pas pandemi gini,” katanya.
Menurut Astian, penjaja piza di Jalan Raya Puncak bukan hanya dari karyawan restoran Pizza Hut di kawasan puncak. Ada pula pegawai dari restoran Pizza Hut di Jakarta yang mengadu nasib di Puncak. ”Biasanya ada karyawan dari Pizza Hut TMII yang jualan ke sini. Karena memang di sini menjanjikan penghasilannya,” ujarnya.
Kalau di sini enggak macet, ya, cari tempat yang macet. Tapi, kalau memang jalanan lancar kayak awal-awal pandemi kemarin, ya, mau enggak mau, mentok cuma bawa pulang Rp 30.000-Rp 50.000.
Menurun
Bagi Arif (45), kemacetan di Puncak justru membuat penghasilannya berkurang. Ia yang setiap hari menawarkan persewaan vila di pinggir jalan justru sulit mendapatkan pelanggan. Sebab, pelanggannya kebanyakan dari kalangan pengendara sepeda motor.
”Kalau macet begini, sepeda motor pada lewat tengah jalan. Jarang yang lewat pinggir. Hampir 70 persen pelanggan saya biasanya naik sepeda motor,” katanya.
Seperti pada Kamis siang, saat lalu lintas macet, Arif belum mendapatkan satu pun pelanggan. Padahal, jika lalu lintas lengang, biasanya ada satu-dua orang yang menggunakan jasanya.
Meski begitu, Arif menganggap pendapatannya kini sudah kembali normal dibandingkan pada awal-awal pandemi. Saat ini, ia bisa meraup keuntungan sekitar Rp 100.000 pada hari normal dan lebih dari Rp 200.000 pada akhir pekan. Jumlah itu adalah pendapatan sehari dari pagi hingga malam.
”Pas awal pandemi, saya berkali-kali enggak dapat apa-apa. Paling banyak cuma Rp 30.000. Saya cuma bisa ngandelin dari jasa servis elektronik saat itu,” ujar lulusan sekolah teknik menengah (STM) ini.
Sepinya aktivitas pariwisata di Puncak juga membuat pengelola hotel dan vila banting harga. Menurut Arif, vila dengan fasilitas kolam renang yang biasanya disewakan Rp 3,5 juta per hari saat itu bisa disewa Rp 1 juta.
Pas awal pandemi, saya berkali-kali enggak dapat apa-apa. Paling banyak cuma Rp 30.000. Saya cuma bisa ngandelin dari jasa servis elektronik saat itu.
Seingat Arif, hal itu terjadi sejak bulan April hingga Agustus 2020. Aktivitas pariwisata kembali ramai antara September dan Oktober 2020.
Salah satu pengunjung Puncak asal Jakarta, Ibrahim (47), awalnya berniat menengok keponakannya yang sedang menjalani pendidikan pesantren di kawasan Cisarua. Sepulangnya dari sana, ia melanjutkan perjalanan untuk menikmati panorama Gunung Mas.
Ia mengatakan hanya sesekali datang ke Puncak. Alasannya, karena kawasan Puncak selalu macet. ”Males saya. Hari normal kayak gini saja tadi macet, apalagi kalau akhir pekan. Saya ke sini pas lagi nengokin keponakan saja,” ujarnya.