Oknum calo pembuatan SIM tak henti beraksi di tengah pandemi. Iming-iming proses yang mudah dan harga bersaing menjadi modal mereka menghasut pelanggan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis calo pembuatan surat izin mengemudi atau SIM tak pernah mati di tengah pandemi. Sindikat calo memanfaatkan celah birokrasi dan menghasut warga dengan iming-iming kemudahan pembuatan SIM.
Penelusuran Kompas, Kamis (10/12/2020), para oknum calo beraksi di sekitar kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) SIM Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka tersebar di pelataran kantor Satpas, mulai dari lahan parkir hingga sekitar tempat fotokopi.
Seorang yang mengaku bernama Samsul sangat giat menawarkan pembuatan SIM sejak dari lokasi parkir. Saat ditemui Kompas, Samsul menawarkan pembuatan SIM secara instan dalam durasi satu jam dan langsung ambil pas foto, tanpa tes kesehatan ataupun kompetensi.
Samsul spontan menyebut harga Rp 700.000-Rp 750.000 untuk setiap jenis SIM. ”SIM motor Rp 700.000, SIM mobil Rp 750.000. KTP-nya tinggal saja di fotokopi, nanti dipanggil foto buat SIM,” katanya.
Samsul kerap mendesak calon pelanggannya agar menitipkan KTP terlebih dulu. Proses kelengkapan berkas akan berlanjut di kedai fotokopi setempat. Adapun urusan uang diselesaikan kemudian, yang penting KTP warga sudah digandakan.
”KTP kasih saya dulu saja, deh, nanti uang bisa belakangan. Kita ngobrol pahitnya saja, kalau enggak selesai satu jam, ya, dua jamlah paling lama. Yang penting kita ke tempat fotokopi dulu,” ujar Samsul.
Selain Samsul, ada belasan oknum serupa yang menunggu di gerai fotokopi lain. Seorang yang mengaku bernama Andi juga menawarkan jasa serupa kepada Kompas. Dia lalu mengajak calon pelanggan untuk masuk ke ruangan mereka, yang tidak jauh dari gerai fotokopi.
Di dalam ruangan, Andi menyebut harga Rp 750.000 untuk biaya urus SIM motor. Harga itu kemudian berkurang menjadi Rp 700.000 setelah proses negosiasi, dengan janji bahwa pelanggan langsung foto untuk identitas, tanpa tes. ”Hasil tes kesehatan, praktik, udah nanti hasilnya komplet. Nanti tinggal foto saja,” jelasnya.
Andi menekankan, biaya seharga Rp 750.000 sudah menjadi patokan tarif pasaran bisnis calo. Dia juga mengaku sebagai agen yang aktif berkorespondensi dengan oknum orang dalam. ”Kami ada kenalan orang dalam, nanti tinggal ikut saja. Dana juga gampang, bisalah transfer. Pokoknya kalau sudah dapat berkas, kami langsung jelasin selanjutnya gimana,” ucap Andi.
Kepala Seksi SIM Regident Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Lalu Hedwin menegaskan, pihak kepolisian tidak pernah berkorespondensi dengan calo. Dia juga mengatakan bahwa tidak ada ”orang dalam” yang sebelumnya disebut-sebut oleh para oknum calo.
”Di Satpas tidak ada calo. Warga sebaiknya tidak mudah percaya karena kehadiran oknum seperti itu berisiko sebagai kasus penipuan,” ungkap Hedwin melalui pesan singkat.
Hedwin menyebut harga berkisar Rp 700.000-Rp 750.000 berbeda jauh dengan harga resmi untuk mengurus SIM. Adapun biaya pembuatan SIM tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Biaya yang dikenakan untuk SIM berkisar Rp 100.000-Rp 250.000 bergantung pada jenis SIM yang dibuat.
Pembuatan SIM A untuk mobil dikenai biaya Rp 120.000, sementara SIM C untuk sepeda motor berbiaya Rp 100.000. Selain itu, ada sejumlah biaya tambahan asuransi senilai Rp 30.000, pemeriksaan kesehatan Rp 25.000, dan biaya surat keterangan uji klinik pengemudi Rp 50.000.
Bukan hal baru
Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, menyebut modus oknum calo bukanlah hal baru. Para oknum ini memanfaatkan celah birokrasi pembuatan SIM yang panjang dan memakan waktu. Warga yang sekiranya tidak memiliki banyak waktu tetapi punya uang pasti akan tergiur dengan jasa tersebut.
Menurut Trubus, ada jaringan yang terus tumbuh di antara oknum calo dengan oknum kepolisian sehingga celah tersebut selalu ada. Mereka saling menghidupi dan saling membentuk kepercayaan karena punya kebutuhan tertentu.
”Dari yang sudah-sudah, oknum calo itu berasal dari informan yang kerap bekerja sama dengan polisi. Mereka akhirnya membentuk sistem yang menjadi bisnis nonformal dari para calo itu. Selalu ada pelanggan yang membutuhkan dan bersedia membayar sehingga bisnis calo itu pun tumbuh subur,” jelas Trubus.
Jika memang ingin memberantas jaringan calo itu, Trubus menyarankan harus ada inovasi birokrasi untuk urusan berkas-berkas di Satpas. Selama ini terdapat stigma bahwa birokrasi di Satpas berbelit-belit sehingga orang-orang kerap mencari jalan pintas lewat calo.
”Stigma birokrasi yang panjang dan memakan waktu harus dihilangkan. Kalau bisa melakukan itu, supply and demand calo mungkin bisa berkurang. Polisi juga mesti aktif menangkap para calo itu,” jelasnya.