Warga Dipaksa Berubah Seiring Penutupan Pelintasan Sebidang di Palmerah
Penataan pelintasan sebidang untuk menekan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Di Palmerah, penutupan pelintasan sebidang diikuti pembangunan halte untuk bus Transjakarta, angkot, dan ojek daring di dua sisi stasiun.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Penutupan pelintasan kereta APIL JPL 43, Stasiun Palmerah, Jalan Gelora, Jakarta, berdampak bagi sebagian orang, terutama sejumlah pedagang, pejalan kaki, dan pengemudi ojek daring. Meski begitu, penutupan pelintasan sebidang itu bertujuan untuk kepentingan publik secara luas, yaitu mengurai kemacetan dan menghindari risiko kecelakaan lalu lintas.
Sejak penutupan pelintasan sebidang di sekitar Stasiun Palmerah, Minggu (29/11/2020), yang membelah Jalan Tentara Pelajar dan menghubungkan Jalan Gelora, dan Jalan Palmerah Selatan, Iwang (40), pedagang gorengan, tak lagi leluasa berjualan. Akibatnya, penghasilan hariannya pun berkurang.
”Sebelum ditutup, saya bolak-balik jualan di sekitar Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Palmerah Selatan atau sekitar Jalan Gelora. Penghasilan bisa sampai Rp 300.000-Rp 400.000 per hari. Namun, sekarang sudah ditutup, sejak Senin-Selasa kemarin cuma dapat Rp 100.000. Lha ini saja (Rabu siang) jam segini belum dapat Rp 50.000. Memang berdampak penutupan itu, jauh banget berkurangnya,” kata Iwang, Rabu (2/12/2020).
Iwang bisa saja berjualan di sekitar sisi timur Stasiun Palmerah dan sekitar kawasan Gedung DPR/MPR, tapi ia harus memutar jauh ke daerah Pejompongan membawa gerobak gorengannya. Namun, ia memilih untuk berjualan di sekitar Jalan Gelora atau sisi barat Stasiun Palmerah.
Mungkin positifnya, dari kabar yang saya dengar, ada halte untuk kami (ojek daring). Jadi, keluhan kemacetan selama ini bisa teratasi, kami tidak jadi kambing hitam penyebab macet.
”Repot dan jauh harus muter bawa gerobak begini. Ya sudah, jualan di sini saja. Padahal baru saja pendapatan naik lagi dua bulan ini. Penghasilan Rp 100.000 kayak awal PSBB ketat dulu. Kalau kayak gini, enggak bisa menabung lagi,” kata ayah dua anak itu.
Kondisi itu membuat Iwang khawatir dan bayang-bayang tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti saat PSBB ketat beberapa bulan yang lalu. Sebagai kepala keluarga, ia dibantu istrinya yang menjadi buruh cuci pakaian di kos-kosan Rawabelong, Jakarta Barat, untuk membayar uang sewa kontrak rumah sebesar Rp 900.000 per bulan. Selain itu, masih ada kebutuhan membayar token listrik dan air, makan, serta kebutuhan lainnya.
”Alhamdulillah, masih ada istri bantu keuangan keluarga. Dari hasil cuci, istri saya dapat Rp 150.000 per minggu. Untungnya selama pandemi penghasilan istri enggak berkurang, kecuali saya ini yang justru berkurang. Jadi waktu itu (masa PSBB ketat) hampir empat bulan lebih susah banget cari duit karena kantor banyak yang tutup, kan. Bingung banget bayar uang kontrakan dan kebutuhan lainnya, sampai ngutang loh saya. Semoga ini enggak kayak dulu lagi. Mikir anak istri kalau susah begini,” kata Iwang.
Keluhan serupa juga dialami Kadir (34), pedagang batagor keliling. Penutupan pelintasan sebidang berdampak pada penghasilan hariannya. ”Pagi dan sore sampai pukul 20.00, jualan di sekitar Stasiun Palmerah. Kalau siang, saya biasa keliling masuk gang-gang. Nah, itu sehari bisa dapat Rp 500.000-Rp 600.000. Sekarang dari Senin turun Rp 250.000. Dua hari sisa dagangan masih banyak, sepi banget nih,” kata Kadir.
Arul (34), pengemudi ojek daring, juga merasakan hal serupa. Meski mengaku tidak berdampak pada penghasilannya, penutupan pelintasan sebidang membuatnya harus memutar lebih jauh saat mengantar dan menjemput penumpangnya. Begitu pula saat mengantar pesanan makanan.
”Repot saja harus puter jalan. Tarif antar jemput penumpang dan makan sama saja, tidak berubah. Mungkin positifnya, dari kabar yang saya dengar, ada halte untuk kami (ojek daring). Jadi, keluhan kemacetan selama ini bisa teratasi. Kami tidak jadi kambing hitam penyebab macet,” kata Arul.
Sementara bagi Setyo (28), petugas keamanan di pusat perbelanjaan di Senayan, tidak bisa lagi memperpendek waktu perjalanan. Penutupan pelintasan sebidang membuatnya harus berjalan kaki dari jembatan penyeberangan orang (JPO) di Stasiun Palmerah.
”Olahraga nih, lebih panjang jalurnya. Tidak bisa potong jalan lagi,” tuturnya.
Tentunya, bagi pengusaha kecil yang terganggu mata pencariannya akibat perubahan penataan kawasan Palmerah diharapkan dapat segera menemukan pola kerja baru sehingga rezeki tetap akan mengalir.
Perubahan tidak hanya dialami pedagang kecil atau pengojek daring. Pengguna jalan secara umum harus beradaptasi dengan pembenahan area Palmerah. Para pengguna kendaraan bermotor harus membiasakan diri berputar di jalan layang Senayan atau di Pejompongan karena tidak bisa lagi melintasi rel menuju arah Pasar Palmerah atau Senayan.
Urai kemacetan dan tekan risiko kecelakaan
Direktur Utama PT Moda Integrasi dan Transportasi Jabodetabek (MITJ) Tuhiyat mengatakan, penutupan permanen pelintasan sebidang kereta APIL JPL 43 sebagai upaya untuk mengurai kemacetan saat pagi dan sore hari. Selain itu, untuk menekan risiko kecelakaan lalu lintas bagi penguna jalan dan kereta api.
Penutupan itu, kata Tuhiyat, juga sebagai upaya mengintegrasikan moda transportasi. Oleh karena itu, penataan pelintasan sebidang diikuti pembangunan halte untuk bus transjakarta, angkot, dan ojek daring di dua sisi Stasiun Palmerah.
”Pembangunan halte ke depan jika sudah selesai, bus, angkot, dan ojek daring tidak boleh mangkal. Jadi, aturannya turun angkut penumpang. Kami juga mengkaji kemungkinan untuk membangun penyebrangan lintas atas atau lintas bawah,” kata Tuhiyat.
Sepanjang tahun ini, jumlah korban kecelakaan di pelintasan sebidang tercatat mencapai 215 orang. Sementara pada 2019, jumlahnya mencapai 409 orang.
Vice President Public Relations PT KAI Joni Martinus mengatakan, penutupan pelintasan sebidang untuk melindungi keselamatan bagi pengguna jalan serta lalu lintas kendaraan dan kereta api.
Dari Januari sampai akhir Oktober 2020 terdapat 305 pelintasan sebidang yang ditutup. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan 158 pelintasan yang ditutup selama 2019. Sepanjang 2020, PT KAI mencatat, jumlah pelintasan sebidang liar mencapai 1.556. Sementara total pelintasan sebidang resmi sebanyak 3.124. Sepanjang tahun ini, jumlah korban kecelakaan di pelintasan sebidang tercatat mencapai 215 orang. Pada 2019, korban kecelakaan serupa mencapai 409 orang.
”Tahun ini, kami terus berupaya untuk lebih banyak menutup pintu pelintasan sebidang yang tidak resmi karena terkait dengan keselamatan perjalanan KA. Artinya, semakin banyak pintu pelintasan yang tidak resmi atau liar akan berpotensi membahayakan perjalanan KA dan masyarakat,” katanya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo sebelumnya menyampaikan, berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Kereta Api Indonesia serta PT Mass Rapid Transit Jakarta (Perseroda), pihaknya akan menata kawasan Stasiun Palmerah. Perjanjian tersebut tertuang dalam Nomor 1/-1.811.32 tentang Penataan Kawasan Stasiun PT Kereta Api Indonesia secara Terintegrasi di Wilayah Provinsi DKI Jakarta melalui Rencana Aksi Jangka Pendek (Quick Win).
”Untuk mendukung pelaksanaan penataan kawasan Stasiun Palmerah dan dalam rangka peningkatan keselamatan perjalanan bagi kereta api dan pengguna jalan, Dishub DKI Jakarta akan menutup pelintasan sebidang kereta APIL JPL 43, Jalan Gelora, Jakarta (Stasiun Palmerah),” kata Syafrin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/11/2020).
Syafrin mengatakan, penutupan pelintasan sebidang di Stasiun Palmerah mulai berlaku pada Minggu (29/11/2020). Untuk itu, dishub akan memberlakukan manajemen rekayasa lalu lintas di sekitar kawasan Stasiun Palmerah.