Berburu pakaian bekas mewabah di kalangan kawula muda. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berburu pakaian murah yang bukan murahan di antara tumpukan baju-baju bekas lainnya.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·6 menit baca
Derisa (19) rela berangkat jauh-jauh dari Bogor, Jawa Barat, untuk berburu pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (3/12/2020). Ia bersama dua temannya naik KRL sekitar pukul 08.00. Dua jam berselang, mereka tiba di Blok V Pasar Senen. Di situlah perburuan mereka dimulai.
Menyisir lembar demi lembar di tumpukan pakaian bekas dilakoni Derisa dan teman-temannya. Ketelatenan menjadi kunci mendapatkan pakaian terbaik yang pas dengan selera. Tak kalah penting, pakaian bekas yang masih layak dipakai hangout itu pun harus sesuai dengan kantong. Demi menghemat bujet pakaian, anak muda mengistilahkan berburu pakaian bekas sebagai thrifting. Secara harfiah, thrifting berarti hemat.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.00, Derisa masih bersemangat memilah tumpukan baju wanita di kios milik Slamek (40). Meski sesekali mengusap keringat di dahi dengan lengan bajunya, tenaganya tak habis untuk membentangkan setiap lembar pakaian yang menarik perhatiannya.
Ribuan pakaian preloved, sebutan lain untuk baju bekas, tergantung di kios-kios lantai I Blok V. Para penjual tahu persis trik menarik pengunjung mampir ke kios mereka, dengan memajang pakaian yang tengah naik daun saat itu.
Baju aneka warna dan aneka jenis—yang sebagian sudah disetrika rapi—berjajar rapat. Seakan tak ada orang yang peduli kalau pakaian-pakaian itu ikut membuat lantai khusus pedagang pakaian bekas ini menjadi pengap. Apalagi, Blok V tidak dilengkapi dengan pendingin ruangan seperti halnya di Blok III yang juga diisi pedagang pakaian bekas.
Bagi Derisa, tidak adanya pendingin ruangan justru menjadi peluang karena pengunjung lebih memilih berburu pakaian bekas di Blok III dibandingkan Blok V. Itu artinya, saingannya berkurang. Terbukti, siang itu ia bisa mendapatkan dua pakaian yang pas dengan seleranya. Setelah tawar-menawar dengan penjual, Derisa mengantongi celana pendek seharga Rp 20.000 dan sweater yang dibanderol Rp 50.000.
Celana pendek serupa, jika beli baru, harganya bisa mencapai Rp 70.000. Dengan ketekunan mencari di tumpukan pakaian bekas ini, Derisa bisa memangkas pengeluarannya demi mendapatkan pakaian idaman.
Bagi Derisa, mendapatkan dua pakaian bekas dalam waktu dua jam adalah pencapaian luar biasa. ”Dapat dua, nih. Ya, walaupun harus penuh perjuangan. Harus lihat satu per satu sampai di bagian paling dalam kios,” katanya kegirangan.
Derisa mengaku baru menggandrungi thrifting ini sejak tiga bulan terakhir. Semuanya bermula saat seorang temannya memamerkan baju hasil thrifting-nya ke Derisa dan teman-teman lain. Meski bekas dan murah, baju tersebut tak kalah menarik dibandingkan baju-baju baru yang dijual di mal. Saat itulah ia kepincut.
Dapat dua nih. Ya walaupun harus penuh perjuangan. Harus lihat satu per satu sampai di bagian paling dalam kios.
Toko daring
Sebenarnya ada cara yang lebih mudah mendapatkan pakaian bekas, yakni melalui thrift shop online alias toko barang bekas daring. Toko-toko ini mulai menjamur di Instagram, seiring dengan tingginya minat pembeli.
Di thrift shop online, penjual sudah menyortir pakaian bekas sehingga hanya pakaian berkualitas yang akan dipajang. Konsekuensinya, harga yang ditawarkan juga lebih mahal.
”Celana Rp 20.000 yang saya dapat ini mungkin di Instagram harganya sudah Rp 50.000-Rp 80.000,” kata Derisa.
Munculnya toko-toko pakaian bekas daring di Instagram juga menginspirasi Gian (24). Warga Sawah Besar ini kepincut untuk ikut membuka usaha pakaian bekas daring. Setiap hari, ia rela mendatangi satu per satu pasar untuk mencari barang. Rencananya, ia ingin khusus menjual baju-baju bekas bertema band.
”Kemarin sudah ke Plaza Glodok. Dua hari ini ke Pasar Senen. Kemarin di Blok III, hari ini (Kamis) di Blok V. Susah banget nyarinya. Kayaknya sudah dihabisin sama penjual daring yang lain,” ungkapnya.
Rabu (2/12/2020) siang, misalnya, Gian berkeliling di Blok III Pasar Senen dari sekitar pukul 12.00 sampai pukul 15.00. Hasilnya, ia hanya membawa pulang dua pakaian. Salah satunya kaus bergambar logo band legendaris asal Inggris, The Rolling Stones. Kaus ini didapatnya seharga Rp 35.000. Di laman e-dagang, kaus dengan desain gambar yang sama buatan Bandung dibanderol Rp 59.000.
”Begitu dapat langsung dicuci dan disetrika. Habis itu difoto. Tapi sekarang belum berani iklanin karena barangnya baru sedikit. Sekitar tujuh,” ujarnya.
Kegemaran kawula muda terhadap baju-baju preloved, salah satunya dipicu munculnya sejumlah thrift vlog di media sosial Youtube. Misalnya vlog yang diunggah oleh pemilik channel Andi Pram pada 9 November 2020.
Dalam vlog tersebut, Andi Pram mengunjungi bursa baju impor di Plaza Glodok. Bermodalkan Rp 260.000, ia berhasil mendapatkan dua sweater dan dua hoodie merek ternama. Dua di antaranya berlabel Champion dan Supreme. Hingga saat ini, vlog tersebut telah disaksikan oleh 29.800 penonton.
Hal yang sama juga dilakukan oleh pemilik channel Risa Mahaqi pada 31 Agustus 2020. Saat itu ia mengunggah thrift vlog di Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam vlognya tersebut, ia mengulas harga dan kualitas pakaian dari satu kios satu ke kios lainnya. Ulasannya itu disaksikan oleh 260.158 penonton.
Makin ramai
Menurut Dasuki (35), penjual pakaian bekas di Pasar Senen, akhir-akhir ini kiosnya ramai dikunjungi anak-anak muda. Mereka bisa menghabiskan waktu puluhan menit hanya untuk mencari pakaian murah bermerek untuk dijual kembali.
”Saya punya dua kios, di Blok III dan Blok V. Kalau di Blok III masih sepi, kalau di Blok V sudah normal sekarang. Di Blok III omzetnya masih sekitar Rp 1 juta per hari. Di Blok V bisa sampai Rp 2,5 juta sehari. Sebelum pandemi, omzet saya di Blok V ini sekitar Rp 2 juta,” ungkapnya.
Pakaian-pakaian bekas di kios Dasuki disuplai oleh beberapa importir langganan. Importir mendatangkan pakaian tersebut dari Jepang dan Korea Selatan. Para pemilik kios seperti Dasuki biasanya mengambil satu bal (sebutan untuk satu karung besar berisi pakaian) setiap pekan.
Satu bal memiliki berat 100 kilogram. Tiap bal berisi ratusan pakaian yang sudah disatukan sesuai dengan jenisnya. Harganya pun berbeda-beda. Satu bal yang berisi pakaian wanita, misalnya, dihargai Rp 6,5 juta. Di dalamnya bisa berisi hingga 500 potong pakaian.
”Kalau saya biasanya ambil baju pria. Satu bal harganya Rp 10 juta. Dari situ saya pilih-pilih lagi karena ada yang bagus, ada juga yang rusak,” ungkapnya.
Ketenaran thrifting juga memberi berkah bagi Hafiz (21), pemilik kios baju bekas Scndhunter88. Awalnya, Hafiz hanya memiliki ruko di Blok III Pasar Senen. Sejak dua bulan lalu, ia mulai membuka cabang baru di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta.
Di masa pandemi Covid-19, hal ini cukup mengherankan. Saat usaha lain harus mati-matian untuk bertahan, kios Hafiz justru melebarkan sayap. Sebulan lalu, ia juga mulai merambah pasar digital dengan memasarkan produknya melalui akun Instagram scndhunter88.
”Memang sedang ramai sekarang. Dulu omzetnya lebih kurang Rp 1 juta per hari. Sekarang, omzetnya minimal Rp 2 juta sehari,” katanya.
Hasil berjualan pakaian bekas ini membiayai Hafiz kuliah di Bina Sarana Informatika (BSI). Saat ini ia terdaftar sebagai mahasiswa semester I Jurusan Sistem Informasi. Impian pria asal Padang, Sumatera Barat, ini akhirnya tercapai, dua tahun setelah menginjakkan kaki di Jakarta.