Saat Negara Alpa, Anak Balita Anjaya Meninggal di Jalanan
Seorang anak balita meninggal di pangkuan ibunya saat menemani sang ibu mengemis di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini seharusnya tak terjadi jika negara hadir.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Anjaya Saputra Gunawan (2) mengembuskan napas terakhir saat digendong ibunya mengemis di wilayah Pasar Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 26 November 2020. Korban meninggal secara tiba-tiba. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.
Anak balita itu meninggal saat menemani ibunya, Nur Astuti Anjaya (32), berjuang demi sesuap nasi. Anak balita tersebut sudah empat hari menderita sakit. Namun, karena keterbatasan biaya, Anjaya pun meninggal tanpa mendapatkan bantuan kesehatan.
”Karena tinggal di lingkungan yang begitu (tidak sehat dan kemampuan ekonomi rendah), jadi tidak ada tetangga yang respons. Akhirnya dia ajak anaknya mengemis karena tidak ada yang mengasuh,” kata Kepala Kepolisian Sektor Bantargebang Komisaris Alam Nur, Sabtu (28/11/2030).
Mungkin itu kealpaan dalam operasional, seharusnya bisa terdeteksi. Turut berduka.
Ibu dari anak balita tersebut selama ini turut membantu suaminya menopang ekonomi keluarga dengan mengemis. Sementara ayah dari anak balita itu bekerja sebagai buruh serabutan.
Kasus meninggalnya anak balita dua tahun itu turut menjadi perhatian Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Bagi Rahmat, sebagai manusia ada berbagai hal yang dialami dalam menjalani kehidupan. Namun, ia mengakui, kematian bayi itu bisa saja karena kelalaian pemerintah.
”Mungkin ada kelalaian dari kita, ya, antisipasi dari ketidakmampuan warga kita, dinas sosial. Tetapi sebenarnya kami juga punya fasilitas, rumah singgah yang luar biasa. Mungkin itu kealpaan dalam operasional, seharusnya bisa terdeteksi. Turut berduka,” kata Rahmat, Senin (30/11/2020), di Bekasi.
Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang berjuang bertahan hidup di wilayah perkotaan, terutama di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi, lumrah ditemukan di mana-mana. Sudah menjadi hal biasa, di emperan toko, persimpangan jalan, dan tempat publik lain, para PMKS mencari nafkah sembari menggendong anak-anaknya. Bahkan, terkadang, ada anak-anak yang masih berusia sekolah ikut mengemis atau mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Meski PMKS berjamur di wilayah perkotaan, keberadaan mereka harusnya tetap menjadi perhatian negara. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Tahun 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara itu yakni melindungi segenap bangsa Indonesia.
Di dalam UUD 1945, perlindungan terhadap PMKS tercantum dalam Pasal 34 Ayat (1) dan (3). Di dua ayat itu, pada intinya menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara serta negara bertangung jawab atas penyediaan layanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Banyak faktor
Kota Bekasi merupakan salah satu kota metropolitan dan modern dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Namun, di balik status sebagai kota modern, masih ada warga yang termarjinalkan secara ekonomi dan sering luput dari akses terhadap pelayanan kesehatan.
”Faktornya banyak. Bisa jadi tak terdata di administrasi kependudukan atau terabaikan dari lingkungannya. Ini diperparah ketika mereka terkena masalah kesehatan karena akhirnya semakin sulit untuk menyelesaikan persoalan kehidupan,” kata Ketua DPRD Kota Bekasi Choiruman J Putro.
Kasus meninggalnya Anjaya, kata Choiruman, seharusnya menyadarkan semua pihak, terutama dari aparatur terdekat, baik itu lurah maupun pengurus wilayah. Tujuannya untuk terus membangun komunikasi demi memastikan seluruh data warga miskin terekap.
”Orang-orang ini harusnya mendapatkan kesehatan gratis yang dibayarkan melalui BPJS. Kondisi kesejahteraan mereka menjadi kewajiban pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi Rusham, dinas-dinas yang mengurusi persoalan anak di Kota Bekasi diharapkan untuk kembali mengevaluasi keberadaan PMKS di pinggir jalan yang melibatkan anak-anak. Keberadaan PMKS yang berujung meninggalnya anak seharusnya tak terjadi. Negara harus hadir dalam mengatasi persoalan kemiskinan itu.
”Masih banyak kasus yang terkait, orangtua melibatkan anak-anak untuk mengemis. Kemudian banyak juga anak-anak silver di jalan,” ujarnya.
Kota Bekasi, kata Rusham, sudah berulang kali mendapat penghargaan sebagai kota ramah anak. Bahkan, daerah itu sudah berada pada level Nindya. Level Nindya merupakan predikat kota layak anak yang statusnya sudah di atas kategori kota layak anak dan kategori utama.
Kasus meninggalnya anak balita dua tahun di Bantargebang itu menambah catatan persoalan yang dihadapi anak-anak Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki instrumen hukum yang cukup untuk menjaga dan melindungi anak-anak. Semoga kita tak lagi abai demi masa depan bangsa.