Keterisian Hotel di Jakarta Meningkat, tetapi Tidak Signifikan
Di masa pandemi, ada tawaran menggunakan hotel untuk lokasi isolasi mandiri pasien korona tanpa gejala. Akan tetapi, ide tersebut tidak disambut baik karena pengelola khawatir terjadi penularan di gedung dan sekitarnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterisian hotel di Ibu Kota pada Oktober 2020 meningkat apabila dibandingkan dengan September. Akan tetapi, para pengusaha di sektor rekreasi tetap belum bisa mengatakan bahwa keadaan sudah membaik karena perekonomian belum menunjukkan pemulihan yang signifikan.
Hal itu terungkap dalam rilis berita resmi statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada hari Selasa (1/12/2020). Topik kali ini ialah ”Inflasi November 2020, Pariwisata, dan Ekspor Impor Oktober 2020”.
Kepala BPS Jakarta Buyung Airlangga mengatakan bahwa Jakarta mengalami inflasi -0,27 persen. Secara nasional, Jakarta menempati peringkat ke-55 dengan Tual di Maluku Utara sebagai kota dengan inflasi tertinggi, yakni -1,15 persen. Sementara kota dengan inflasi terendah adalah Bima di Nusa Tenggara Barat dengan nilai -0,01 persen.
Dibandingkan dengan kota-kota satelit, inflasi di Jakarta lebih rendah karena Bekasi mengalami inflasi -0,28 persen, Depok -0,32 persen, dan Bogor -0,32 persen. Tangerang mengalami inflasi terendah di Bodetabek, yaitu -0,13 persen. Komoditas penyumbang inflasi terbesar ialah harga daging ayam ras, tiket pesawat, dan cabai merah.
”Namun, ada peningkatan di sektor pariwisata dilihat dari jumlah kedatangan wisatawan asing ke Ibu Kota dan persentase keterisian hotel berbintang,” kata Buyung.
Jakarta tidak dikenal sebagai kota leisure atau lokasi liburan, tetapi sebagai kota bisnis. Hampir semua orang asing yang datang ke sini bertujuan untuk menghadiri kegiatan bisnis atau pekerjaan. (Krishandi)
Ia menjelaskan bahwa pada Oktober tercatat ada 10.529 wisatawan mancanegara yang datang ke Jakarta melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma. Data imigrasi mengungkapkan, mayoritas orang asing ini berasal dari China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia.
Jumlah ini naik dibandingkan dengan angka bulan September, yaitu 7.528 wisatawan asing. Dari persentase keterisian hotel berbintang juga ada kenaikan dengan 44,33 persen kamar yang terisi. Bulan September, hanya 38,96 persen kamar hotel di Jakarta yang dihuni. Apabila ditilik dari lama tinggal memang masih sebentar, yaitu kurang dari tiga hari.
Tidak signifikan
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DKI Jakarta Krishandi ketika dikontak pada kesempatan yang berbeda mengutarakan, angka-angka itu tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melambatkan semua sektor ekonomi.
”Jakarta tidak dikenal sebagai kota leisure atau lokasi liburan, tetapi sebagai kota bisnis. Hampir semua orang asing yang datang ke sini bertujuan untuk menghadiri kegiatan bisnis atau pekerjaan,” tuturnya.
Pandemi mengakibatkan pertemuan-pertemuan bisnis dan seminar beralih ke ruang-ruang digital yang tidak terhambat jarak geografis maupun waktu. Praktis nyaris tidak ada lagi seminar atau pertemuan yang memanfaatkan ruangan hotel.
Krishandi menduga para wisatawan asing yang datang ke Jakarta bukanlah orang-orang baru, melainkan para pebisnis yang telah lama memiliki izin usaha atau rekanan di Jakarta sehingga lebih mudah wira-wiri. Apalagi, Pemerintah Indonesia masih memberlakukan pembatasan visa guna mencegah penularan Covid-19 dari luar negeri.
Terkait dengan libur Natal dan Tahun Baru, menurut dia, tidak memberi pengaruh besar bagi bisnis hotel. Di tahun-tahun sebelumnya, pemasukan hotel setiap akhir tahun ialah dengan mengadakan berbagai gebyar seperti konser musik, festival prasmanan, dan rangkaian hiburan lainnya. PSBB tidak memungkinkan kegiatan itu terjadi.
”Selain itu, warga Jabodetabek pasti akan memilih untuk pergi keluar kota dibandingkan dengan staycation di Jakarta,” ujar Krishandi. Dalam hal ini, hotel-hotel di lokasi wisata terdekat seperti Anyer, Carita, dan Puncak yang diperkirakan bakal menuai untung.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan hotel meningkatkan prospek bisnis dengan menawarkan diri menjadi lokasi isoalsi mandiri, Krishandi mengatakan hal tersebut tidak dianggap potensial. Pada bulan Agustus ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan keterisian Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran hampir penuh, sejumlah hotel kemudian mengajukan diri menjadi tempat isolasi dan ada pula yang ditunjuk oleh Pemprov Jakarta. Dengan demikian, terdapat 35 hotel yang masuk daftar potensial lokasi isolasi orang tanpa gejala.
Akan tetapi, ide itu banyak ditolak oleh lingkungan hotel. Alasannya karena mayoritas hotel di Jakarta terletak di lokasi bisnis yang di sekitarnya ada pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan apartemen. Para pengelola gedung-gedung keberatan apabila lokasi itu dijadikan tempat isolasi pasien Covid-19 karena para pegawai maupun penghuni apartemen khawatir tertular. Akhirnya, ada enam hotel yang ditetapkan sebagai fasilitas isolasi.
Data terakhir menyebutkan, keterisian di RSDC Wisma Atlet Kemayoran kian penuh dan sudah lebih dari 80 persen. Komando Lapangan rumah sakit tersebut, Letnan Kolonel Angkatan Laut dokter gigi M Arifin mengatakan bahwa Wisma Atlet akan fokus menangani pasien Covid-19 dengan gejala. Menurut dia, kemungkinan besar Pemprov DKI Jakarta akan mengirim orang-orang tanpa gejala ke hotel-hotel.