Warga Khawatir Manfaatkan Layanan di Fasilitas Kesehatan
Sejak awal pandemi hingga layanan kesehatan terancam kolaps, warga masih takut pergi ke fasilitas kesehatan. Padahal, mereka membutuhkan layanan medis tersebut.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga khawatir terpapar Covid-19 ketika pergi ke fasilitas kesehatan. Kekhawatiran itu muncul seiring semakin banyaknya kasus baru kendati mereka membutuhkan layanan medis. Lonjakan kasus yang belum terkendali itu membuat layanan kesehatan terancam kolaps.
Ibu muda dengan bayi berusia 40 hari, Dyah Saraswati (22), salah satunya. Warga Kemandoran, Grogol Utara, Jakarta Selatan, ini takut pergi ke puskesmas setempat karena melahirkan dengan prosedur Covid-19 setelah reaktif berdasarkan tes cepat. Bayinya pun menjalani tes dengan hasil nonreaktif. ”Waktu mau melahirkan, hasil tes cepat reaktif sampai dirujuk ke rumah sakit. Proses melahirkan dengan menggunakan protokol kesehatan Covid-19,” kata Dyah, Senin (30/11/2020).
Semenjak itu selalu ada kekhawatiran setiap akan pergi ke puskesmas. Sebisa mungkin dia menghindari kerumunan dan berbincang-bincang dalam waktu lama ketika antre untuk layanan kesehatan. Bayinya pun diselimuti dengan baik untuk meminimalkan kontak dan interaksi.
Khawatir terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, juga membuat Ayas (20), mahasiswi dari Salatiga, Jawa Tengah, belum juga ke puskesmas setempat. Padahal, dia hendak memeriksa kondisi pengelihatannya yang buram ketika berjalan dan membaca sehingga kepala terasa pusing.
Beberapa bulan lalu dia ke puskesmas menemani sang ayah berobat. Akan tetapi, puskesmas untuk sementara hanya menyediakan layanan untuk warga dengan gejala Covid-19.
”Kayaknya minus tambah, mau minta rujukan ke rumah sakit supaya bisa pesan kacamata. Tetapi, di sini semakin banyak kasus dan persebarannya merata. Banyak yang sudah tidak pakai masker juga, jadi parno kalau ada orang batuk atau bersin,” ucap Ayas.
Dia berencana ke puskesmas pekan ini atau pekan depan. Karena itu, dia masih bertanya kepada orang sekitar dan mengecek informasi terkini tentang layanan kesehatan.
Sebelumnya Kompas juga merekam kekhawatiran warga saat Jakarta kembali ke pembatasan sosial berskala besar ketat pertengahan September. Bahkan, warga enggan ikut tes cepat dan tes usap gratis di lingkungannya.
Hasan Abadi (36), penjahit di Kebayoran Lama, misalnya. Alasannya terapkan protokol kesehatan semata agar usaha menjahit tetap berjalan. Dia justru mempertanyakan mengapa harus takut Covid-19? Baginya, takdir ada di tangan Tuhan seraya menyebut orang-orang yang disiplin menjalankan protokol kesehatan, tetapi tetap terpapar Covid-19. ”Saya tidak percaya (Covid-19) karena dari dulu setiap hari ada orang meninggal. Baru sekarang ini orang meninggal dibilang Covid-19,” ucap Hasan.
Kekhawatiran warga pergi ke fasilitas kesehatan ini juga berimbas pada mereka yang membutuhkan donor. Salah satunya penderita kanker yang butuh donor trombosit.
Yayasan Laskar Aferesis Berbagi, yayasan pendonor trombosit sukarela, mencatat jumlah pendonor sukarela turun cukup banyak. Biasanya pendonor dari Yayasan Laskar Aferesis Berbagi sekitar 100-120 orang per bulan karena ada yang mendonorkan trombosit lebih dari satu kantong.
Alternatif
Semenjak pandemi pendonor turun berkisar 70-100 orang per bulan. Padahal, kebutuhan trombosit per bulan bisa mencapai 300 kantong. Mila Rahmania (30), salah satu pendonor sekaligus pegiat di Yayasan Laskar Aferesis Berbagi, menuturkan, pasien kanker sudah kembali ke fasilitas kesehatan untuk kontrol, kemoterapi, dan tindakan medis lain. Sementara pendonor belum kembali normal.
Situasi itu berbeda ketimbang awal pandemi yang mana terjadi penurunan pasien ke fasilitas kesehatan. ”Kebutuhan donor mulai berangsur-angsur normal, tetapi persediaan gitu-gitu saja,” ujar Mila.
Untuk itu, mereka menyarankan pemenuhan kebutuhan trombosit dari proses aferesis meskipun masih terkendala pembelian kantong trombosit aferesis yang tidak ditanggung BPJS.
Selain itu, setiap bulan membuat diskusi daring yang terbuka untuk umum tentang donor trombosit. Diskusi yang akan datang pada 13 desember akan membahas Tetap Berbagi Kala Pandemi. Mereka juga membuat video singkat tentang cara donor trombosit, infeksi menular lewat transfusi, donor orang bertato, pendonor muda, dan lainnya.
Saat ini, berdasarkan laporan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan pada Minggu (29/11/2020), grafik rasio pemanfaatan tempat tidur isolasi dan unit perawatan intensif atau intensive care unit (ICU) Covid-19 di rumah sakit di Indonesia mencapai 56,74 persen.
Sejumlah daerah bahkan sudah melebihi ambang okupansi atau keterisian 60 persen, seperti disarankan WHO, yaitu Jawa Barat 76 persen, Jawa Tengah 74 persen, Yogyakarta 73 persen, Banten 70 persen, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 63 persen, serta Jawa Timur dan Lampung masing-masing 60 persen.
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi khawatir situasi kembali gawat, bahkan bisa lebih gawat ketimbang bulan-bulan lalu, karena tren lonjakan pasien terjadi merata juga di daerah-daerah. ”Beberapa hari terakhir kami saja sudah kesulitan mencari tempat tidur untuk sejawat dokter yang sakit. Harus menunggu dulu ada yang meninggal atau keluar rumah sakit, baru bisa dapat tempat perawatan,” katanya.
Adapun lonjakan penambahan kasus dan jumlah pasien yang membutuhkan perawatan ini mulai terjadi setelah libur panjang dan cuti bersama pada akhir Oktober 2020. Pusdatin Kemenkes melaporkan pada 5 November 2020 tingkat keterisian pasien di rumah sakit darurat Covid-19 di Indonesia hanya 32,9 persen. Sejak 6 November 2020 atau seminggu setelah liburan terus terjadi kenaikan pasien hingga mencapai 76,16 persen pada 28 November.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi Setiawaty menyebutkan, kini mayoritas rumah sakit swasta, dari total 755 rumah sakit swasta rujukan dengan 1.274 ruang perawatan intensif unit dan 13.158 ruang isolasi, mulai penuh.