Persepsi dan Interpretasi Lokal tentang Wabah Belum Banyak Disentuh
Segala jenis aturan pengendalian pandemi bersifat formal dari atas, yaitu pemerintah, ke masyarakat. Sering kali aturan ini menjadi salah kaprah dan tidak digubris karena masyarakat memiliki pandangan yang berlawanan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pendekatan yang holistik untuk melakukan pendidikan masyarakat mengenai bahaya pandemi Covid-19 dan pentingnya menerapkan protokol kesehatan dinilai para pakar belum maksimal terlaksana, bahkan cenderung tidak menjadi metode yang diambil oleh pemerintah. Oleh sebab itu, kesadaran dan kepatuhan masyarakat terkait aturan darurat kesehatan tetap tidak tercapai dan justru tampak kian berkurang di lapangan.
Hal ini tampak pada kejadian menghilangnya tiga warga Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, setelah mereka dinyatakan reaktif ketika usai menjalani tes cepat yang diadakan pada 24 November 2020. Padahal, mereka harus menjalani uji usap tenggorokan dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) guna memastikan keberadaan virus korona baru di dalam tubuh mereka.
Kepala Puskesmas Tanah Abang Sari Ulfa Nardia ketika dihubungi hari Kamis (26/11/2020) mengatakan, ketiga orang tersebut kabur akibat takut akan distigma oleh lingkungan. Dua orang sudah pulang ke Petamburan berkat bujukan dan telah diambil sampel uji PCR, tinggal menjalani isolasi mandiri sambil menunggu hasil.
”Satu orang masih belum ditemukan pada alamat yang dicantumkan ketika menjalani tes cepat. Kami mengontak tim lintas sektor untuk terus mencari,” tutur Sari.
Antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Vita Priantina Dewi, menjelaskan, hingga saat ini belum ada pemetaan pemahaman lokal dan interpretasi masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Segala jenis aturan bersifat formal yang diturunkan dari atas, yaitu pemerintah, ke masyarakat. Sering kali aturan-aturan ini menjadi salah kaprah, bahkan tidak digubris karena masyarakat memiliki pandangan yang berlawanan.
Vita yang melakukan kajian masyarakat di perkotaan, perdesaan, serta berbagai kelompok umur terkait pengertian Covid-19 bagi mereka mengatakan bahwa akar permasalahan tetap pada kepercayaan bangsa Indonesia untuk pasrah. Penyakit merupakan pemberian Tuhan Yang Mahakuasa sehingga manusia hanya bisa menerima takdir. Persepsi ini sangat kuat di kalangan lansia yang menganggap apabila tertular penyakit apa pun karena sudah waktunya.
”Kuatnya kepercayaan ini mengakibatkan mental tak gentar ketika dihadapkan dengan situasi darurat, tapi dalam praktik yang keliru seperti tidak memakai masker dan menjaga jarak. Kepercayaan ini pula yang membuat masyarakat seolah bebal tidak mematuhi protokol kesehatan. Padahal, jika ditelaah ini bukan soal bebal, terdesak ekonomi, atau apatisme, melainkan ada prinsip spiritual di masyarakat,” ujarnya.
Kuncinya ialah mengadakan dialog rutin dengan masyarakat, seperti di tingkat kelurahan dan kecamatan. Di dalamnya bukan sekadar menyampaikan informasi mengenai protokol kesehatan, melainkan menanyakan kepada warga mengenai tingkat pengetahuan mereka akan pandemi. Cara ini bisa mengurai simpul permasalahan secara lokal, misalnya mematahkan mitos yang menyebar di komunitas tersebut.
”Penjelasan mengenai protokol kesehatan dipertemukan dengan keinginan masyarakat. Pemerintah bisa memediasi dengan mengetahui fakta-fakta itu, bagaimana warga memutuskan untuk mencegah pandemi di lingkungan masing-masing,” katanya.
Dialog ini juga harus membahas mengenai tekanan sesama atau peer pressure. Vita menerangkan, adanya kedekatan emosi dengan saudara, sahabat, atau rekan kerja membuat orang langsung percaya bahwa mereka tidak akan tertular Covid-19. Perilaku yang berlandaskan perasaan ini penyebab ketika sedang nongkrong, orang-orang tidak bermasker.
Menurut dia, pendekatan ini bersifat rutin dan terus-menerus, tidak bisa satu atau dua kali. Metode ini kemungkinan dianggap lama oleh pemerintah yang menginginkan intervensi cepat. Akan tetapi, tanpa pendidikan berkelanjutan, kesadaran tidak akan terbangun. Penerapan protokol kesehatan akan berujung sekadar takut ketika melihat ada aparat penegak hukum melakukan razia.
Misinformasi
Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Moch Iqbal Nurmansyah, mengungkapkan temuan praktik kuliah lapangan para mahasiswa ketika diminta memetakan masalah penegakan protokol kesehatan di masyarakat. Meskipun pandemi telah berlangsung selama sembilan bulan, berbagai misinformasi masih beredar di masyarakat.
Salah satu temuan ialah banyak warga percaya meminum campuran air jeruk, air kelapa, dan garam bisa membunuh virus korona jenis baru. Demikian pula dengan semakin banyak berada di bawah sinar matahari, tubuh kian kebal dari penularan Covid-19. Misinformasi ini yang membuat orang-orang percaya diri keluar rumah tanpa mengenakan masker serta menjaga jarak fisik.
”Selain itu, juga ada keterbatasan masker. Warga yang kami teliti mayoritas dari kalangan ekonomi bawah yang hanya memiliki satu hingga dua helai masker. Itu pun hasil dari bagi-bagi masker gratis dari pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat,” ujar Iqbal.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kemungkinan tidak mampu membeli masker sendiri. Kedua adalah jika memiliki uang sekalipun, masker belum menjadi prioritas. Di kantor-kantor kelurahan biasanya disediakan masker gratis, tetapi warga harus berinisiatif sendiri mengambilnya. Tanpa kesadaran akan risiko pandemi, masker gratis itu tidak akan diakses oleh warga.
Oleh sebab itu, proaktif membagi masker secara gratis penting dilakukan, terutama di titik-titik rawan seperti pasar. Iqbal mengatakan, semakin banyak masker yang dimiliki warga, mereka bisa menggantinya setiap empat jam.