PDI-P dan PSI Tolak Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Mengubah Rute LRT
Fraksi PDI-P dan PSI DPRD DKI Jakarta menolak rencana pembangunan LRT Jakarta rute Joglo-Pulogebang dengan skema KPDBU. Kedua fraksi berpandangan, skema itu hanya merugikan DKI, lebih baik ke penugasan awal.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta menolak rencana pembangunan LRT Jakarta dengan skema kerja sama pemerintah daerah dan badan usaha. Kedua fraksi tersebut merekomendasikan Pemprov DKI Jakarta untuk tidak mengubah rute LRT yang sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018.
Anggota Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta, Merry Hotma, yang membacakan pandangan umum Fraksi PDI-P terhadap Rancangan Peraturan Daerah APBD DKI 2021 dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, di Jakarta, Jumat (27/11/2020), menyatakan, pembangunan LRT di Jakarta rencana rutenya sudah tertuang dalam Perpres No 55 Tahun 2018. Dari satu rute yang tertuang dalam perpres tersebut, yaitu rute Joglo (Jakarta Barat)-Tanah Abang (Jakarta Pusat), diperpanjang hingga menjadi Joglo-Pulogebang (Jakarta Timur) sejauh 32,8 kilometer.
Rute sepanjang itu menurut rencana akan diselenggarakan dengan skema kerja sama pemerintah daerah dan badan usaha (KPDBU) sesuai Perpres No 38 Tahun 2015. Belajar dari pembangunan LRT Jakarta sebelumnya, biaya pembangunan LRT sekitar Rp 500 miliar per kilometer.
Eneng Malianasari, anggota Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, yang membacakan pandangan umum Fraksi PSI, menyebutkan, skema KPDBU ini menjadi isu penting. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 10 Desember 2019 menyatakan, dengan skema ini, Pemprov DKI Jakarta membiayai pengadaan prasarana (infrastruktur), sedangkan pengadaan sarana (kereta) oleh pihak swasta. Sementara saat DPRD DKI Jakarta meminta penjelasan rinci dari LRT dengan KPDBU itu, Dinas Perhubungan DKI Jakarta tidak kunjung memberikan penjelasan.
”Berdasarkan pemahaman kami secara umum, kurang lebih 90 persen biaya pembangunan LRT adalah untuk pengadaan prasarana yang meliputi pembebasan lahan dan konstruksi sipil,” ujar Eneng.
Berikutnya, jika pihak swasta hanya wajib melaksanakan pengadaan sarana, pihak swasta hanya menanggung biaya sekitar 10 persen. Sementara nantinya pihak swasta akan mendapatkan hak operasional, bisnis nontiket, dan pengusahaan kawasan berorientasi transit (TOD).
”Dengan swasta hanya menanggung biaya 10 persen, tindakan pemprov ini akan merugikan DKI Jakarta,” ucapnya.
Lalu, menilik pada biaya pembangunan sebesar itu, untuk bisa membangun rute sepanjang 32,8 km, Pemprov DKI Jakarta akan mengeluarkan belasan triliun rupiah untuk pembebasan lahan dan konstruksi. ”Jika Pemprov DKI Jakarta menanggung 90 persen biaya pembangunan LRT, lebih baik dibangun oleh BUMD PT Jakpro, bukan malah menyerahkan proyek kepada pihak swasta,” kata Eneng.
Hal lain yang menjadi sorotan, dalam pembahasan RAPBD 2021, Dinas Perhubungan DKI Jakarta bahkan sudah mengusulkan anggaran Rp 200 miliar untuk pengadaan lahan LRT KPDBU. Namun, usulan itu diajukan tanpa menjelaskan dasar perhitungan anggaran Rp 200 miliar dan kebutuhan total anggaran untuk LRT KPDBU.
Temuan lain yang menurut PSI aneh adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta menyebutkan, saat ini Pemprov DKI Jakarta masih dalam tahap penyusunan kajian perkeretaapian Jakarta. ”Jika benar masih dalam tahap kajian dan rute belum ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan, mengapa sudah minta anggaran pengadaan lahan? Di sisi lain, Tim Anggaran Pemerintah Daerah menyatakan, pemprov tidak memiliki dana untuk membiayai pembangunan LRT yang ditugaskan kepada PT Jakarta Propertindo,” tutur Eneng.
Dengan semua pertimbangan itu, baik Eneng ataupun Merry menegaskan, fraksi mereka menolak penyelenggaraan LRT dengan skema KPDBU. PDI-P dan PSI mendesak agar anggaran Rp 200 miliar dialihkan untuk pembangunan LRT penugasan Jakpro, rute Velodrome-Manggarai.
Namun sebelumnya, dalam pandangan umum Fraksi PSI disebutkan, rute Velodrome-Manggarai harus ditegaskan tidak diubah sesuai Perpres No 55 Tahun 2018. Apalagi, sesuai penugasannya sebagai penyelenggara sarana dan prasarana LRT Jakarta, PT Jakarta Propertindo sudah melakukan kajian atas sejumlah rute yang ditugaskan.
Diberitakan sebelumnya, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, yang juga membidangi transportasi, dalam paparan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 22 Oktober 2020, menyatakan, dinas perhubungan diketahui menghilangkan rute Velodrome-Dukuh Atas yang melewati Manggarai dan mengubahnya menjadi Velodrome-Klender. Perubahan rute disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melalui surat 17 September 2020.
”Yang membingungkan karena sepengetahuan kami, sama sekali belum ada kajian dan perencanaan mengenai rute Velodrome-Klender. Jika tidak ada kajian dan perencanaan, apa dasar Gubernur DKI mengirimkan permohonan izin trase LRT Velodrome-Klender?” lanjut Eneng.
Menyesuaikan rencana nasional
Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan, perubahan rute itu dilakukan karena untuk menyesuaikan dengan konsep rencana nasional yang akan menjadikan Stasiun Manggarai sebagai stasiun hub kereta api jarak jauh. Karena ada rencana itu, Dinas Perhubungan DKI kemudian menyesuaikan rute, mengubah rute Velodrome-Manggarai menjadi Velodrome-Klender.
”Padahal, sudah tepat apabila di dekat Stasiun Manggarai dibangun LRT yang terintegrasi. Dengan begitu, mobilitas warga Jakarta semakin mudah, nyaman, dan berkelanjutan,” ujar Eneng.
Sementara Direktur Proyek LRT PT Jakarta Propertindo Iwan Takwin, yang dihubungi terpisah, menjelaskan, rute Velodrome-Klender saat ini masih dalam proses kajian. ”Semua masih proses. Perubahan dari Manggarai ke Klender sedang dilihat dari dampak ekonomi sosial,” kata Iwan.
Update kajian rute dilakukan, antara lain, dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa hal itu sejalan dengan program gubernur untuk menghadirkan titik-titik kota baru, urban regeneration yang akan dilayani dengan angkutan umum modern berbasis rel. Dengan pertimbangan itu, sisi Jakarta yang masih kosong akan diisi dengan jaringan angkutan umum modern.
Karena masih dalam proses update kajian, menurut Iwan, saat ini belum diketahui dengan pasti skema pendanaan yang akan dipergunakan untuk membangun rute tersebut.