Waspadai Ancaman yang Mengintai Anak di Balik Gim Daring
Memainkan gim daring di kalangan anak-anak menjadi sesuatu yang kian biasa akhir-akhir ini. Tanpa kontrol dari orangtua, gim daring menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan anak.
JAKARTA, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19, anak dan gim daring kian lekat. Dengan alasan untuk mengusir kejenuhan saat pandemi, anak dibebaskan memegang ponsel pintar untuk gim daring. Di balik keceriaan anak saat bermain di gawai, ada ancaman yang patut diwaspadai agar tidak mengganggu tumbuh kembang mereka.
Hampir setiap hari, Deni (13) tak pernah absen main gim Garena Free Fire di gawai milik ibunya. Gim yang mewajibkan para pemain tembak-menembak itu selalu ia mainkan setelah menyelesaikan semua tugas pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Baca juga : Konten Ramah Anak Belum Bertambah
Ia tak bisa menyebutkan berapa jam yang biasa dihabiskan untuk bermain gim ini. Menurut perkiraannya, dalam satu waktu, ia memainkan hingga 10 pertandingan. Satu pertandingan, rata-rata berdurasi 10-15 menit. Artinya, ia bisa menghabiskan 1,5-2 jam sekali mengakses permainan ini. Dalam sehari, Deni biasa bermain siang dan malam hari.
”Biasanya, begitu selesai ngerjain tugas langsung main. Malamnya, habis belajar main lagi,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Di antara semua gim daring yang ada, Deni memilih Garena Free Fire karena teman-teman dekatnya juga memainkan gim yang sama. Belakangan, mereka membentuk satu pasukan dan sering main bareng (mabar).
Deni tak setuju jika gim ini dianggap mengajarkan kekerasan sebab selama ini ia tak pernah terlibat perkelahian maupun tawuran. Padahal ia sudah mengakses gim ini sejak dua tahun terakhir.
”Seru aja, sih, mainnya bareng-bareng sama temen. Kalau pas PJJ gini, gim juga bikin gak bosen di rumah,” tambahnya.
Deni mengaku tak pernah dilarang oleh si empunya gawai, yakni ibunya, untuk bermain gim. Ibunya hanya berpesan agar Deni ingat waktu. Intinya, ia diperbolehkan bermain gim asal tidak mengganggu jam belajar dan shalat.
Farel (13), teman sekolah Deni, juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses gim daring ini. Bedanya, ia memainkan gim daring Mobile Legend yang bertema peperangan.
Farel menyadari gim ini sering memberikan pengaruh buruk akhir-akhir ini. Pengaruh buruk itu dirasakannya bukan dari permainannya, melainkan dari obrolan dalam gim. Obrolan berbentuk teks dan suara itu menjadi medium komunikasi antarpemain.
”Kata-katanya banyak yang kasar dan kotor. Biasanya yang kayak gitu malah anak-anak SD. Kalau kami mainnya enggak bener, mereka mengumpat dan menantang,” ungkap siswa kelas VIII SMP itu.
Komentar-komentar itu sering kali membuat emosi Farel tersulut. Meskipun begitu, ia jarang menanggapi. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah melaporkan pemain pada pengembang. Ia berharap, si pemain mendapatkan hukuman.
Kata-katanya banyak yang kasar dan kotor. Biasanya yang kayak gitu malah anak-anak SD. Kalau kami mainnya enggak bener, mereka mengumpat dan menantang.
Picu perkelahian
Pada beberapa kejadian, gim daring semacam ini juga memicu para pemain berkelahi fisik. Seperti yang diungkapkan Nauval (12), siswa kelas VI SD di Jakarta Barat.
Beberapa bulan lalu, dua temannya bertengkar saat sedang mabar Mobile Legend. Awalnya, kedua siswa SMP tersebut saling olok seusai kalah dalam permainan. Anak yang satu mengolok anak lainnya dengan sebutan noob atau newbie, sebutan untuk pemain pemula. Merasa tak terima, orang tersebut balik mengolok dengan umpatan-umpatan. ”Bertengkar, deh, akhirnya, pukul-pukulan. Sampai sekarang enggak pernah main bareng lagi,” ungkap Nauval.
Baca juga : Bahaya Tersembunyi di Balik Permainan Daring
Dian (40), warga kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengeluhkan perilaku anaknya yang kecanduan gim daring selama pandemi. Beberapa kali, Dian memergoki putranya masih mabar gim Mobile Legends bersama teman-temannya di dalam kamar sampai dini hari.
”Jam tidurnya jadi enggak beraturan. Kalau besoknya libur, bisa main gim sampai pagi. Habis itu, tidur sampai siang,” katanya.
Di luar belajar
Sebelumnya, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, selama pandemi Covid-19, banyak siswa menggunakan gawai untuk kepentingan selain belajar. Waktu mengakses gawai bervariatif. Sebanyak 36,5 persen anak menggunakan selama 1-2 jam dan 34,8 persen selama 2-5 jam. Bahkan 25,4 persen menggunakannya lebih dari 5 jam.
”Padahal, anak tidak direkomendasikan menggunakan gawai hingga 5 jam meskipun untuk kepentingan belajar,” kata Ketua KPAI Susanto.
Baca juga : China Batasi Waktu Bermain Gim Daring
Data lain menunjukkan bahwa 79 persen anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk belajar. Bahkan, 71,3 persen anak sudah memiliki gawai sendiri.
Sebanyak 26 persen anak menggunakan gawai untuk mengakses gim perang. Sisanya, anak mengakses gim petualangan (16 persen), edukasi dan kreativitas (12 persen), olahraga (6 persen), kekerasan (3 persen), dan percintaan (1 persen).
Perlu bekal sejak dini
Praktisi psikolog klinik anak dan remaja, Arijani Lasmawati, mengatakan, gim bertema peperangan sangat mungkin memicu tindakan agresif anak. Meski begitu, tindakan agresif ini tidak sampai menjurus pada tindakan kriminal.
”Tindakan agresif ini, misalnya, omongan kasar, mendorong-dorong, atau merebut mainan. Kalau tindakan yang mengarah ke kriminal, kan, sampai merusak barang, menyakiti orang, hingga menghilangkan nyawa,” kata peneliti Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini.
Menurut dia, selain karena faktor lingkungan, tindakan kekerasan kriminal pada anak ini juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk di masa kecil (adverse childhood experience/ACE). Bentuknya bisa bermacam-macam.
Tindakan agresif ini, misalnya, omongan kasar, mendorong-dorong, atau merebut mainan. Kalau tindakan yang mengarah ke kriminal, kan, sampai merusak barang, menyakiti orang, hingga menghilangkan nyawa.
Ia mencontohkan, pengalaman buruk itu bisa terbentuk akibat pengasuhan dengan kekerasan fisik dan verbal lantaran kehadiran anak tidak diharapkan dalam keluarga. Pengalaman buruk juga bisa terjadi saat ada pengabaian hak-hak anak oleh orang dewasa di sekitarnya.
Kondisi terparah menimpa anak-anak yang mengalami penganiayaan oleh orang dewasa. ”Hal ini dapat memicu anak untuk berperilaku delikuen (kenakalan) sampai dengan melanggar hukum pidana,” ungkapnya.
Perkembangan psikososial anak selalu mengikuti jenjang umurnya. Saat anak masih bayi dan balita, mereka amat berkaca pada keluarga. Ketika anak beranjak remaja, ia mulai dipengaruhi lingkungannya. Apa yang anak perbuat sangat bergantung dari apa yang ia lihat di lingkungannya.
”Anak-anak usia remaja sekitar belasan tahun itu menempatkan relasinya dengan teman di atas segalanya. Bahkan diatas relasi dengan orangtuanya,” ujarnya.
Bekal pengasuhan yang baik selama masa kanak-kanak dapat membentenginya dari pengaruh buruk saat menginjak usia remaja. Dengan bekal pengambilan keputusan dari sang ayah, misalnya, anak dapat menolak ajakan yang melanggar aturan dari teman sebayanya.
Khusus di masa pandemi ini, Arijani menyoroti pengaruh terbesar anak datang dari ruang virtual, termasuk gim daring. Oleh sebab itu, orangtua perlu mendampingi anaknya selama menatap layar gawai.