Individu yang Menghalangi Penanganan Covid-19 Bisa Dipidanakan
Setiap orang dan komunitas yang menolak mengikuti tes bagian dari pelacakan kontak erat pasien positif Covid-19 bisa dijatuhi hukuman sesuai Undang-Undang Wabah Penyakit Menular dan UU Karantina Kesehatan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar & Aditya Diveranta
·5 menit baca
Penegakan hukum pidana bisa dilakukan kepada individu yang menolak untuk mengikuti tes, baik tes cepat maupun tes usap berbasis reaksi berantai polimerase apabila orang tersebut secara klinis terbukti sebagai bagian dari penelusuran kontak pasien positif Covid-19.
Agar penegakan hukum berhasil, ketegasan polisi sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkan hukum pidana harus terus ditingkatkan beriringan dengan pelacakan kasus serta pemastian penerapan protokol kesehatan di masyarakat.
Pendapat tersebut dijabarkan oleh Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Paranadipa ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (25/11/2020). Ia juga menjabat sebagai Ketua Tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Rumah Sakit (RS) Haji Jakarta, salah satu RS rujukan untuk isolasi dan perawatan pasien yang tertular virus korona jenis baru.
Aturan sanksi pidana ditegaskan di Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dikatakan bahwa setiap orang yang menghalangi penanggulangan wabah bisa diberi denda Rp 1 juta atau kurungan selama satu tahun. Penanggulangan wabah mencakup penelusuran, pengobatan, pencegahan, dan penyelidikan kasus positif.
Aturan senada ada di Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, malah untuk denda jumlah maksimalnya ialah Rp 100 juta. Kedua UU masih berlaku sampai sekarang dan semestinya menjadi instrumen untuk membuat masyarakat tetap waspada terhadap risiko selama pandemi.
”Apabila ada individu yang berdasarkan pemeriksaan klinis yang disetujui sebagai standar nasional, seperti tes PCR, terbukti positif Covid-19, ia wajib diisolasi atau dirawat. Jika menolak, sanksi pidana diberlakukan. MHKI mengusulkan agar sanksi berupa denda karena kalau kurungan nanti memunculkan kluster baru di lembaga pemasyarakatan,” kata Mahesa.
Mahesa menerangkan, sanksi serupa juga berlaku untuk orang-orang yang masuk dalam kontak erat pasien positif Covid-19. Petugas puskesmas pasti akan menghubungi orang-orang tersebut dan meminta mereka untuk menjalani tes. Apabila kontak erat tersebut menolak atau lebih parah lagi melarikan diri, tindakan pidana bisa menjadi pilihan untuk diambil.
Perlu diperhatikan, lanjut Mahesa, bahwa penegakan hukum harus dilakukan oleh polisi. Petugas kesehatan tidak bisa mengancam untuk melaporkan warga ke polisi atau mengatakan bahwa jika tidak menurut akan dikenai sanksi. Oleh karena itu, dalam sosialisasi dan pendekatan kepada anggota masyarakat yang menolak mengikuti tes walaupun berada di dalam daftar kontak erat pasien positif harus secara persuasif.
”Jika memang ada penolakan dari individu, bahkan komunitas, meskipun ada bukti klinis mereka harus mengikuti tes lanjutan ataupun perawatan, petugas kesehatan melapor kepada satgas di wilayah masing-masing. Satgas yang kemudian berkoordinasi dengan kepolisian untuk menurunkan aparat melakukan pendekatan dan penyelesaian masalah,” ujarnya.
Sanksi pidana tidak berlaku bagi tes cepat atau tes PCR yang dilakukan sebagai bakti sosial. Misalnya ada perusahaan, komunitas tertentu, dan bisa juga lembaga pemerintah yang mengadakan tes untuk sekelompok orang dalam satu wilayah meskipun belum ada temuan kasus positif ataupun pelacakan kontak erat. Apabila ada individu yang menolak tidak bisa dipaksa dengan alasan ada sanksi pidana.
Akan tetapi, hukum otomatis berlaku jika orang yang mengikuti tes menunjukkan hasil positif ataupun reaktif sehingga harus menjalani prosedur medis selanjutnya. Dalam hal ini penyuluhan terus-menerus adalah kunci kesadaran masyarakat.
Pendekatan serupa juga diambil jika ada penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 ataupun suspek dari RS. Suspek adalah orang yang menunjukkan gejala sakit seperti sesak napas, demam tinggi, dan foto rontgen paru berflek, tetapi hasil tes PCR belum keluar. Mereka terikat dengan aturan bahwa pemakaman harus memakai protokol keamanan Covid-19.
Apabila keluarga menolak, bukan pihak RS yang harus berhadapan dengan mereka untuk menjelaskan duduk perkara secara hukum. Satgas wilayah dan kepolisian yang harus turun tangan menjelaskan. Jika memang tidak ada solusi lain, orang yang menolak dikenai sanksi pidana.
Mahesa menuturkan, UU Wabah Penyakit Menular dan UU Karantina Kesehatan juga mendasari penegakan protokol kesehatan, seperti wajib bermasker, menjaga jarak fisik, dan rajin mencuci tangan dengan sabun. Harapannya bisa membuat penerapan aturan semakin kuat di masa darurat ini.
Bertambah
Dalam pengumuman perkembangan Covid-19, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengungkapkan ada penambahan 1.049 kasus positif. Sebanyak 224 kasus di dalamnya mencakup hasil akumulasi pemeriksaan laboratorium selama sepekan terakhir. Data per tanggal 25 November menyebutkan, di Ibu Kota ada 8.778 kasus aktif.
Total Jakarta sudah mempunyai 130.461 dengan rincian 119.099 pasien sembuh dan 2.584 orang meninggal dunia. Persentase kasus positif masih tinggi, yaitu 9,5 persen. Angka ini di atas persentase nasional, yaitu 8,3 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas aman adalah 5 persen.
Penambahan kasus tidak sejalan dengan kesadaran masyarakat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Di Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya. Pekan lalu, terjadi acara yang mengakibatkan kerumunan orang sehingga menjadi wilayah berisiko tinggi terhadap penularan virus korona jenis baru.
Polda Metro Jaya bersama Puskesmas Tanah Abang mengadakan layanan tes cepat untuk warga dengan ketersediaan 1.000 alat. Data Badan Pusat Statistik 2019 menyebutkan, warga Petamburan berjumlah 32.946 jiwa dan yang mengikuti tes itu hanya 276 orang. Sebanyak delapan orang reaktif. Lima orang kemudian diuji lebih lanjut dengan metode PCR dan terbukti negatif. Adapun yang tiga orang kini tidak tentu rimbanya sebelum sempat diminta mengikuti uji PCR.
Dalam diskusi mengenai penanganan Covid-19 pada pekan lalu, anggota Komisi E DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Idris Ahmad, mengatakan bahwa lambannya hasil uji PCR masih menjadi masalah terbesar dalam penanganan klinis penularan virus. Sampel PCR mengantre di laboratorium dan masih ada laboratorium yang tidak disiplin langsung melaporkan hasil tes kepada Dinas Kesehatan Jakarta, tetapi menunggu berhari-hari.