Dampak Kekerasan Verbal pada Perempuan Dirasakan Menahun
Kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terjadi. Dampak kekerasan itu bisa mengendap hingga bertahun-tahun kemudian.
JAKARTA, KOMPAS — Dampak psikologis yang dialami oleh perempuan korban kekerasan dapat dirasakan hingga bertahun-tahun. Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan perlu segera dihentikan, termasuk kekerasan verbal.
Puji (28) masih belum bisa melupakan kejadian yang menimpanya sepuluh tahun lalu. Saat itu, ia masih mahasiswi semester II di salah satu perguruan tinggi di Semarang, Jawa Tengah. Puji tak pernah menduga akan mendapatkan pelecehan verbal dari salah satu teman kampusnya.
”Masih keinget terus sampai sekarang. Bahkan, waktu itu sempat enggak mau lihat mukanya sampai dua tahun, padahal sekelas,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Baca juga: Lima Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak di Buton Selatan Ditangkap
Kejadian berawal saat Puji mendapatkan sejumlah pesan singkat dari pria tak dikenal. Usut punya usut, pria itu mendapatkan nomor ponsel Puji dari teman kampusnya. Puji pun mengonfirmasi kepada temannya sebab ia merasa tidak nyaman nomornya disebarluaskan tanpa izin.
Bukannya permintaan maaf yang ia terima, tetapi justru hinaan. ”Kenapa sih. Kan kenalan doang. Emang siapa lagi yang mau kenalan sama kamu? Masih untung ada yang mau ajak kenalan. Cantik juga enggak,” ungkap Puji menirukan ucapan temannya.
Masih keinget terus sampai sekarang. Bahkan, waktu itu sempat enggak mau lihat mukanya sampai dua tahun, padahal sekelas.
Puji tidak hanya merasa sakit hati mendengar kekerasan verbal tersebut. Bahkan, ia sempat terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri. Setiap melihat teman sekelasnya tersebut, ucapan itu selalu terbayang-bayang.
Bagi sebagian perempuan, masalah ini barangkali cukup klise. Apalagi yang menganggap ini sekadar candaan. Terbukti saat Puji menceritakan masalah ini kepada perempuan teman-temannya. Mereka hanya menganggap hal itu masalah serius di awal. Beberapa hari setelahnya, hal itu sudah menjadi bahan candaan.
Sepanjang 2016-2019, Komnas Perempuan mencatat ada 55.273 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari data tersebut, ada 21.841 kasus kekerasan seksual. Sebanyak 8.964 di antaranya merupakan kasus pemerkosaan.
Baca juga: Perilaku Seks Pranikah Anak Muda Tetap Berlangsung Selama Pandemi
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, hingga saat ini, penanganan kasus kekerasan pada perempuan tergolong minim, termasuk perlindungan pada korbannya.
”Dari data kasus di atas, kurang dari 30 persen yang diproses secara hukum. Korban selama ini cukup dibebani dengan masalah pembuktian. Hal ini masih menjadi kendala,” katanya dalam acara pembukaan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta.
Mariana menambahkan, selama pandemi Covid-19, kekerasan berbasis siber juga meningkat. Hingga Oktober 2020, kasus kekerasan berbasis siber yang diadukan ke Komnas Perempuan sebanyak 659 kasus. Pada tahun sebelumnya, hanya ada 281 kasus.
”Ada kenaikan sekitar 200 persen untuk kasus kekerasan berbasis siber. Kebanyakan terkait kekerasan seksual seperti ancaman penyebaran foto intim pada perempuan usia muda,” ujarnya.
Kepala Bidang Partisipasi Organisasi Kemasyarakatan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Suhaeni menyebutkan, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan. Angka ini merujuk pada data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2016.
”Dua dari lima perempuan belum menikah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh selain pasangan mereka,” katanya.
Kementerian PPPA pada 2018 juga mengadakan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Hasilnya, satu dari dua anak perempuan mengalami kekerasan emosional. Sementara satu dari tiga anak perempuan pernah menerima kekerasan fisik.
”Tiga dari empat anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan fisik adalah teman atau sebayanya,” katanya.
Selain itu, satu dari 11 anak perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Kekerasan serupa menimpa satu dari 17 anak laki-laki.
Sebanyak 47-73 persen anak mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan seksual adalah teman atau sebaya. Sementara 12-29 persen anak mengaku, kekerasan seksual mereka dapatkan dari pacar.
Dilakukan ibu
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, selama pandemi Covid-19, anak banyak mengalami kekerasan. Kekerasan tersebut mayoritas dilakukan oleh ibu, yakni sebesar 60 persen. Adapun bentuk kekerasannya seperti dicubit (23 persen), dipukul (10 persen), dan dijewer (9 persen).
”Ini terjadi karena orangtua memiliki lebih banyak beban selama pandemi. Akibatnya, anak rentan terdampak situasi ini,” katanya.
Hal ini diakui oleh SY (40), ibunda dari MIS (10), siswa kelas IV SD di Jakarta Barat. Beberapa kali ia terpaksa memarahi dan menampar anaknya yang malas-malasan mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini ia lakukan untuk mendisiplinkan putranya.
”Kalau enggak begitu, dia enggak mau bangun pagi. Tetapi kadang-kadang merasa kasihan juga habis itu,” ujarnya.
Partisipasi masyarakat
Menurut Suhaeni, partisipasi masyarakat dalam memerangi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak amat dibutuhkan. Sebab, jangkauan pemerintah dinilai sangat terbatas. Apalagi, masalah kekerasan perempuan dan anak banyak terjadi di sekitar masyarakat.
”Setiap program pemerintah juga mengandung komponen partisipasi masyarakat. Mereka bisa memfasilitasi penanggulangan masalah kekerasan perempuan dan anak sampai ke akar rumput,” lanjutnya.
Dalam hal ini, masyarakat juga dapat berperan dalam mengidentifikasi permasalahan ataupun potensi yang ada di lingkungannya. Mereka juga bisa memberikan solusi ketika menemukan kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Dalam hal ini, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta akan melakukan kolaborasi dengan tim penggerak PKK dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selama 16 hari ke depan, mereka akan melakukan kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Kami akan menampilkan infografik data kekerasan perempuan dan anak lewat videotron. Kami juga mengadakan lomba Tiktok anti-kekerasan dan mengadakan webinar setiap hari untuk masyarakat,” kata Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta Tuty Kusumawati.