Kartu Jakarta Pintar Plus menjadi tumpuan bagi siswa penerima beserta keluarganya. Dana dari Pemprov DKI Jakarta ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama pandemi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Orangtua penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) mengisi berkas saat mengurus buku rekening dan kartu ATM Bank DKI melalui layanan khusus Bank DKI untuk peserta program KJP di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Senin (23/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Dana pencairan Kartu Jakarta Pintar atau KJP Plus menjadi tumpuan warga seiring dengan menurunnya pendapatan mereka selama pandemi Covid-19. Apalagi kini dana KJP Plus dapat dimanfaatkan lebih fleksibel.
O’om Rosmawati (54), warga Kelurahan Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, merasa kesusahan setelah putranya lulus dari SMK Muhammadiyah 04 Jakarta pada Juni lalu. Sejak saat itu, putranya tidak lagi menerima dana KJP.
Padahal, dana KJP Plus sempat menjadi salah satu tumpuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Pasalnya, pandemi Covid-19 yang merebak sejak Maret 2020 cukup memukul pendapatan O’om.
”Waktu itu warung sempat tutup beberapa bulan sampai Lebaran. Habis Lebaran baru buka lagi, itu pun jauh menurun pendapatannya,” kata penjual makanan ini saat ditemui di Jakarta, Selasa (24/11/2020).
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
O’om Rosmawati (54), warga Kelurahan Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, saat ditemui, Selasa (24/11/2020).
Sebelum pemerintah memutuskan untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama, penghasilan O’om bisa mencapai Rp 150.000-Rp 200.000 per hari. Selama PSBB, ia menutup warungnya selama tiga bulan. Setelah Lebaran, ia kembali membuka warungnya. Meski begitu, penghasilan O’om hanya Rp 70.000-Rp 100.000.
Selama warung tutup, O’om dan keluarga mengandalkan dana dari KJP Plus sebesar Rp 235.000 sebulan untuk bertahan hidup. Sebagian dana itu digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok murah di pasar. Sisanya diberikan kepada putranya untuk membeli paket data.
”Beruntung sekali waktu itu. Begitu dananya dikirim, langsung saya belanjakan bahan sembako kayak beras, telur, susu, dan minyak goreng. Pada antre belanja itu (penerima KJP) yang lain,” ujarnya.
Setelah putranya lulus, dana KJP Plus tidak lagi diterima O’om. Namun, ia masih beruntung karena setelah itu ia selalu menerima bantuan sosial (bansos) berupa bahan pokok setiap bulan.
Mei lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merelaksasi skema pencairan KJP Plus. Sebelumnya, dana KJP Plus dibedakan menjadi dua, yakni dana rutin dan dana berkala. Dana rutin diterima penerima setiap bulan, sedangkan dana berkala diterima setiap enam bulan saat libur akhir semester.
Selama pandemi, dana rutin dan dana berkala disalurkan kepada penerima setiap bulan. Seluruh dana bisa ditarik tunai atau nontunai. Sebelumnya, hanya sebagian saja dana yang bisa digunakan secara tunai. Untuk KJP Plus SD, misalnya, dari dana rutin Rp 135.000, hanya Rp 100.000 yang dapat ditarik tunai.
Kebebasan menarik dana KJP Plus ini membuat Suparmi (42), warga Kemanggisan Ilir, Palmerah, Jakarta Barat, menjadi lebih leluasa memanfaatkan dana KJP Plus milik putrinya yang duduk di kelas IV SD. Setiap bulan, ia bisa menarik dana rutin dan dana berkala hingga Rp 250.000.
Dana itu digunakan Suparmi untuk membeli bahan makanan. Sebab, selama pandemi ini, pasar sembako murah untuk penerima KJP Plus ditiadakan. Sebagai gantinya, Pemprov DKI Jakarta menyalurkan bansos.
”Memang sudah dapat bansos, tapi, kan, kami tetap harus membeli lauknya. Nah, beli lauk pakai dana KJP itu,” ungkapnya.
Selain itu, dana KJP Plus ini juga digunakan Suparmi untuk membeli masker dan sabun cuci tangan. Sebelum mendapatkan subsidi kuota internet dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dana ini juga digunakan untuk membeli kuota internet.
Suparmi mengaku, selama pembelajaran jarak jauh, pengeluaran untuk membeli perlengkapan sekolah anaknya berkurang. Misalnya, ia tak perlu lagi membeli buku dan seragam sekolah pada tahun ajaran baru.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Suparmi (42), warga Kemanggisan Ilir, Palmerah, Jakarta Barat, saat ditemui, Selasa (24/11/2020).
Meski diberi keleluasaan untuk membelanjakan semua dana KJP selama pandemi ini, Suparmi tetap menahan diri. Ia sadar, dana tersebut terutama untuk keperluan sekolah anaknya. Ia menyisakan dana itu untuk ditabung. Harapannya, saat anak naik ke kelas VI SD nanti, tabungan tersebut bisa digunakan untuk membeli laptop.
”Kebetulan yang kuota internet, kan, sudah dapat bantuan sekarang. Jadi bisa ditabung juga uangnya,” ungkapnya.
Transaksi turun
Menurut Rino (37), pemilik toko alat tulis di Pasar Slipi, Jakarta Barat, pembeli alat tulis yang menggunakan KJP di kiosnya kini menurun drastis. Penurunan bisa mencapai 70 persen.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Rino (37), pemilik toko alat tulis di Pasar Slipi, Jakarta Barat, saat ditemui, Selasa (24/11/2020).
Pada Januari 2020, Rino masih menerima transaksi KJP sekitar Rp 11 juta. Sementara pada Februari 2020, transaksinya Rp 9 juta. Pendapatannya menurun mulai Maret 2020 hingga saat ini.
”Transaksi pada Oktober 2020 saja hanya Rp 103.000. September 2020 malah sama sekali tak ada transaksi,” ujarnya sambil membuka rekapitulasi di komputernya.
Hal ini, menurut Rino, tidak terlepas dari relaksasi skema pencairan KJP Plus yang diberikan Pemprov DKI Jakarta. Ia menduga banyak penerima KJP Plus yang melakukan transaksi secara tunai untuk keperluan lain dibandingkan membeli alat tulis.
Selama pandemi ini, Rino juga tidak pernah lagi menerima pembelian buku tulis dalam bentuk pak. Kebanyakan pembeli mengecer saja. ”Padahal, kalau tahun ajaran baru itu banyak yang beli buku satu pak. Sekarang enggak ada,” ungkapnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Nevrita (50), penjual seragam sekolah di Pasar Slipi, Jakarta Barat, saat ditemui, Selasa (24/11/2020).
Hal yang sama dialami Nevrita (50), penjual seragam sekolah di Pasar Slipi. Dulu, saat tahun ajaran baru, ia bisa mendapatkan omzet Rp 2 juta-Rp 3 juta sehari. Pada tahun ajaran baru Juli lalu, omzetnya hanya Rp 100.000-Rp 200.000 per hari.
Transaksi menggunakan KJP Plus hampir tidak pernah terjadi selama pandemi ini. ”Sekarang orang beli seragam cuma atasan atau bawahan saja. Kalau dulu beli langsung satu setel,” katanya.