Komunikasi Intensif Solusi ”Virus” Abai Protokol Kesehatan
Keabaian merupakan masalah utama hingga akibatnya per 14 November data Dinkes Jakarta mencatat keterisian ruang isolasi dan unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit rujukan Covid-19 sama-sama 63 persen.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi merupakan alasan utama masih ada masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi abai menghadapi pandemi Covid-19 meskipun telah hampir sembilan bulan berjalan. Pendidikan masyarakat akar rumput mencegah penyebaran Covid-19 tetap harus digencarkan dengan konsep yang mudah dipahami sebagai pendamping aksi penegakan kedisiplinan oleh aparat penegak hukum.
”Kasus Covid-19 belum ada yang melandai di satu pun wilayah Indonesia. Justru pola beberapa bulan terakhir menunjukkan fluktuasi, turun pada bulan tertentu, tetapi kemudian naik lagi pada bulan berikutnya,” kata Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Zilhadia ketika membuka seminar virtual ”Harga Mati Disiplin Protokol Kesehatan Masyarakat Jabodetabek”, Jumat (20/11/2020).
Mewakili Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, hadir Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jakarta Fify Mulyani. Ia memaparkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah sukses menahan laju Covid-19 dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB), terutama fase-fase awal. Buktinya ialah ketika libur hari raya Idul Fitri tidak ada lonjakan kasus sehingga Jakarta bisa memasuki PSBB transisi.
”Memang, sekarang ada kenaikan kasus positif sebanyak 1.185 kasus. Tapi, perlu diingat bahwa tingkat kesembuhan di Ibu Kota sudah melebihi 90 persen dan angka kematian 2 persen,” tuturnya.
Fify menekankan pentingnya setiap warga memiliki keberanian dan kemauan untuk menegur sesama, seperti tetangga dan orang di sekitar yang tidak menegakkan protokol kesehatan. Alasannya karena tidak semua upaya penegakan protokol kesehatan bisa diserahkan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, seperti polisi, yang jumlah personelnya terbatas.
Apalagi, terjadi perubahan pola kluster. Pada masa awal PSBB transisi Juni lalu, bermunculan kluster perkantoran karena warga kembali bekerja. Kini yang terjadi banyak kluster keluarga. Padahal, berdasarkan survei Pemprov DKI Jakarta terhadap 114.133 warga, 99,5 persen mengatakan sudah memiliki masker kain berlapis tiga. Keabaian merupakan masalah utama hingga akibatnya per 14 November data Dinkes Jakarta mencatat keterisian ruang isolasi dan unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit rujukan Covid-19 sama-sama 63 persen.
Mengganti masker
Sementara itu, berdasarkan survei Program Keilmuan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayat terhadap masyarakat Jabodetabek terpetakan bahwa masih ada warga yang belum mengetahui bahwa pemakaian masker kain harus diganti tiga kali dalam sehari. Selain itu, masih ada warga beralasan sesak napas jika terlalu lama bermasker sehingga membukanya. Ada juga warga yang rutin nongkrong karena tetap menginginkan kehidupan sosialnya berjalan. Survei ini menyimpulkan bahwa adanya sosialisasi tetap harus diiringi dengan pemberian masker dan cairan antiseptik agar warga melihat bahwa pandemi merupakan masalah kesehatan yang serius.
Dari aspek praktisi lapangan hadir Deddy Darmawan, pakar kesehatan masyarakat yang berkiprah di lembaga swadaya masyarakat Islamic Relief Indonesia hingga Oktober 2020. Ia memberikan pendidikan masyarakat terkait Covid-19 di empat kelurahan, Jakarta. Pengalamannya mengungkapkan bahwa faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi sering dijadikan alasan warga melanggar protokol kesehatan. Padahal, sebenarnya bekerja tetap bisa dilakukan dalam koridor memakai masker, menjaga jarak, dan sering mencuci tangan dengan sabun.
”Ketika pertama kali berinteraksi dengan warga, mereka hanya memiliki satu hingga dua helai masker. Salah satu penyebab mereka bepergian tanpa masker ialah karena masker kainnya lagi dicuci dan tidak punya cadangan. Warga belum memprioritaskan membeli masker sendiri dan masih menunggu pemberian gratis dari pemerintah atau lembaga lainnya,” paparnya.
Sosialisasi ini memerlukan waktu yang lama dan proses bertahap. Menurut Deddy, keterlibatan ibu-ibu kader pemberdayaan kesejahteraan keluarga sangat efektif dalam menyebarluaskan informasi. Mereka memiliki kemampuan lunak untuk menerjemahkan informasi ke dalam konsep yang dipahami warga. Terlebih, mereka mendekati para ibu rumah tangga yang di masyarakat akar rumput adalah penggerak keluarga masing-masing.
Cara sosialiasi juga harus humanis, bukan sekadar memberi informasi, data, dan fakta. Selingan cerita-cerita personal, menurut Deddy, sangat ampuh, terutama ketika berhadapan dengan orang yang tidak memercayai bahwa Covid-19 nyata. Contohnya ialah pengalaman personal melihat kesulitan yang diderita para pasien Covid-19, duka keluarga, dan kepayahan para tenaga kesehatan menolong masyarakat di saat mereka sendiri kelelahan.
Warga kemudian diajak berefleksi dengan menanyakan jika mereka mau hal tersebut terjadi pada diri sendiri ataupun orang yang mereka sayangi. Umumnya, orang-orang yang meragukan adanya pandemi tersentuh hatinya dan tidak mengharapkan hal buruk tersebut terjadi kepada siapa pun sehingga mulai mengubah perilaku.
”Selain pentingnya kerja sama dengan berbagai LSM dan organisasi masyarakat, adanya insentif juga sangat membantu bagi warga yang menjadi penggerak di akar rumput. Walaupun insentif itu sekadar uang lelah, mereka merasa dihargai,” kata Deddy.
Pendapat serupa diutarakan oleh Baequni Boerman, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesmas Indonesia Jakarta. Mayoritas warga Ibu Kota tingkat pendidikannya SMP ke bawah sehingga sosialisasi di media arus utama tidak sampai ataupun dimengerti oleh mereka. Warga harus disentuh hatinya. Mereka sejatinya peduli terhadap sesama, hanya cara menyalurkan kepedulian itu yang harus dijelaskan kini berupa memakai masker dan menjaga jarak fisik.
Anggaran
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Idris Ahmad, memaparkan, di tengah kontraksi anggaran, pengalihan prioritas tetap bisa dilakukan oleh Pemprov Jakarta. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39/2020 memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk menaikkan belanja tidak terduga akibat Covid-19.
Jakarta memiliki anggaran Rp 5 triliun untuk penanganan pandemi tahun 2020, jumlah yang sama disisihkan untuk tahun 2021. DPRD Jakarta mengamati bahwa 50 persen anggaran ini digunakan untuk penyaluran bantuan sosial ke warga. Setelah itu, baru dipakai untuk memberi insentif kepada Satuan Polisi Pamong Praja sebagai penegak kedisiplinan di lapangan. Sedikit sekali yang dipakai untuk pendidikan masyarakat.
”Tanpa pendidikan terus-menerus, warga tidak akan sadar. Pelanggaran terus terjadi sampai Satpol PP dan aparat penegak hukum kelelahan menindak,” ujar Idris.
Tidak hanya di akar rumput, literasi pandemi belum menyentuh kelompok masyarakat yang semestinya memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih tinggi. Idris mengungkapkan fenomena kantor-kantor yang menolak menjalani pengambilan sampel ataupun tes cepat. Mereka ketakutan apabila ditemukan kasus positif kantor harus ditutup sementara, padahal perusahaan tidak memiliki uang untuk membayar insentif karyawan yang dirumahkan. Adanya Peraturan Daerah DKI Jakarta No 2/2020 tentang Penanggulangan Covid-19 yang disahkan pada 12 November semestinya menjadi dasar pendidikan masyarakat dan penegakan kedisiplinan.
Ia menjabarkan sistem komunikasi antarwilayah dan antarlevel pemerintah harus lancar. Petugas di rukun tetangga dan rukun warga kewenangannya sebatas menegur apabila mereka menemukan pelanggaran, tetapi mereka harus bisa meneruskan laporan ke Satpol PP, bahkan polisi, jika pelanggaran tidak kunjung selesai. Demikian pula ketegasan Satpol PP dan polisi membubarkan segala jenis kerumunan tanpa tebang pilih juga mencerminkan komunikasi yang jelas.