Pengolahan Air Limbah Perkotaan di Jakarta dan Sekitarnya Masih Buruk
Menurut Bank Dunia, baru 14 persen dari prosedur pengelolaan limbah cair perkotaan di Jakarta yang memenuhi standar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 59 persen limbah cair kamar mandi maupun kakus rumah tangga di Ibu Kota tidak terkendali pembuangannya. Akibatnya, terjadi pencemaran tanah, air tanah, dan air permukaan. Jakarta memerlukan instalasi pengolahan air limbah atau IPAL yang berkapasitas perkotaan dalam jumlah banyak.
Fakta itu mengemuka dalam diskusi berjudul ”Dibuang ke Mana? Potret Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga di DKI Jakarta” yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Kamis (19/11/2020).
”Data Bank Dunia menyebutkan 10 persen warga Jakarta masih buang air besar sembarangan, sementara 49 persen warga yang memiliki tangki septik di rumah tidak pernah menyedotnya,” kata Doddy Suparta, Koordinator Indonesian Urban Water, Sanitation, and Hygiene, Penyehatan Lingkungan untuk Semua wilayah DKI Jakarta. Organisasi ini bekerja di bawah dana Amerika Serikat, USAid.
Wilayah Jakarta Utara terkena dampak paling banyak karena berada di hilir sehingga dilewati pembuangan dari semua wilayah.
Dalam konsep pengelolaan limbah cair, ada empat faktor yang harus terpenuhi keamanannya, yaitu penampungan, pengambilan lumpur atau residu di tangki septik, pengangkutan lumpur ke lokasi IPAL, dan pengolahannya. Menurut Bank Dunia, di Ibu Kota baru 14 persen dari prosedur ini yang memenuhi standar. Beberapa wilayah seperti Jakarta Timur memiliki permasalahan jarak, yaitu jauh dari IPAL maupun saluran pembuangan. Adapun wilayah Jakarta Utara terkena dampak paling banyak karena berada di hilir sehingga dilewati pembuangan dari semua wilayah.
Doddy memaparkan, keempat aspek ini tidak bisa seluruhnya dipenuhi oleh pemerintah daerah. Harus ada campur tangan dari pusat dan pihak swasta seperti berbagai perusahaan sedot tangki septik dan armada truk pengangkut ke lokasi IPAL. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa juga menurunkan truk-truk milik Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah Jaya ke wilayah-wilayah yang membutuhkan bantuan.
”Perlu juga dipikirkan kerja sama antarwilayah. Misalnya beberapa titik di Jakarta Timur berbatasan dengan Bekasi. Bisa diadakan pembangunan IPAL bersama Jakarta dengan kabupaten/kota perbatasan,” tuturnya.
Ubah pemikiran
Fakta senada dikemukakan Elisabeth Tarigan dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Ia adalah penanggung jawab proyek saluran air limbah atau Jakarta Sewerage System (JSS) untuk zona 1, 2, 5, 6, dan 8. Menurut rencana, Pemprov DKI Jakarta akan membangun 15 zona IPAL berkapasitas perkotaan yang bisa mengolah pembuangan dari 20.000 jiwa per hari. Saat ini proyek yang telah berjalan pembangunannya di Zona 1 Waduk Pluit, Zona 2 Waduk Muara Angke, Zona 5 Waduk Sunter Utara, Zona 6 Duri Kosambi, dan Zona 8 Marunda. Pemprov sengaja memilih wilayah waduk karena merupakan tanah milik pemerintah.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, 64 persen warga Ibu Kota sudah memiliki tangki septik di tempat tinggal masing-masing. Akan tetapi, ketika ditelaah, mayoritas mengaku tidak menyedot tangki itu karena kakus mereka tidak pernah meluap ataupun mampat. Padahal, jika tangki tidak pernah disedot, menandakan limbah cair merembes ke tanah dan mencemarinya dengan berbagai bakteri, terutama Escherichia coli.
Kajian yang sama juga menunjukkan cara berpikir warga, yaitu menganggap masalah limbah selesai ketika kotoran dan cairan tidak terlihat ataupun tercium. Hal ini mengakibatkan masih banyak rumah yang tidak memiliki tangki septik. Alih-alih mereka membuat pipa yang mengalirkan air buangan kakus dan dapur ke selokan ataupun sungai. Oleh sebab itu, Pemprov DKI Jakarta tengah menyusun peraturan daerah mengenai pengelolaan dan pengolahan air limbah.
Pada saat yang sama juga ditetapkan target per tahun 2024, Jakarta bisa menangani 80 persen limbah cair secara terpusat. Sisa 20 persen ditangani oleh domestik maupun berbasis komunitas dengan standar praktik yang ditentukan pemerintah. Adapun untuk tahun 2022 target penanganannya adalah 26,44 persen.
”Pengolahan air limbah selain membersihkan juga mengubahnya menjadi sumber air baku yang baru sehingga air tidak perlu dibuang ke drainase ataupun laut. Metode ini juga bisa mengurangi banjir karena saluran-saluran pembuangan tidak dipenuhi air limbah,” papar Elisabeth.
Sebagai gambaran, IPAL Zona 1 Pluit akan bisa mengolah 240.000 meter kubik limbah cair per hari. IPAL Muara Angke kapasitas olahannya 21.000 meter kubik per hari. Kemajuan teknologi sudah memungkinkan air yang dibersihkan itu bisa diolah lebih lanjut menjadi air baku untuk kebutuhan rumah tangga.
Dari Direktorat Sanitasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hadir Subkoordinator Air Limbah Domestik dan Sanitasi Nanda LE Sirait. Ia mengatakan, apabila Jakarta hendak membuat perda, pastikan ada poin-poin petunjuk teknis yang praktis. Kekeliruan banyak daerah ialah membuat terlalu banyak aturan yang melarang, tetapi tidak merinci pelaksanaan penanganan limbahnya. Selain itu, pembuat aturan dengan pelaksana aturan juga diusahakan dari pihak yang berbeda agar tidak ada bias dalam penilaian kinerja.
Pemerintah pusat telah mencakupkan anggaran sanitasi di dalam dana alokasi khusus setiap tahun, bahkan juga ada hibah sanitasi dari bantuan luar negeri berbasis kinerja daerah. Akan tetapi, dana ini di mayoritas daerah dibiarkan menumpuk karena tidak dipakai. Sanitasi belum dipikirkan sebagai salah satu elemen pembangunan ekonomi, kesejahteraan, kecerdasan, dan kesehatan masyarakat.
Rusli Cahyadi, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menjelaskan bahwa sanitasi komunal merupakan alternatif termudah bagi masyarakat miskin maupun di permukiman padat. Pembangunannya kolaborasi pemerintah dengan warga lokal maupun pihak swasta sehingga terstandar dari segi struktur fasilitas dan pengelolaannya. Selama ini, sanitasi dijadikan urusan individu sehingga setiap orang membangun sesuai kemampuan masing-masing. Akibatnya sporadis, kecil-kecil, dan tidak terpantau keamanannya.