UMK 2021 Kota Bekasi disepakati naik Rp 193.226,74 atau naik 4,21 persen. Kalangan pengusaha menilai kenaikan UMK memberatkan.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Hasil rapat Dewan Pengupahan Kota Bekasi menyepakati upah minimum kota atau UMK Kota Bekasi 2021 naik 4,21 persen. Kesepakatan itu ditentukan melalui voting yang diikuti oleh perwakilan Pemerintah Kota Bekasi dan serikat buruh. Kalangan pengusaha memilih tidak ikut mengambil keputusan karena kenaikan UMK memberatkan pengusaha.
Anggota Dewan Pengupahan Kota Bekasi dari serikat pekerja, Rudolf, mengatakan, rapat penentuan UMK Kota Bekasi 2021 antara unsur pemerintah, serikat buruh, serta asosiasi pengusaha berjalan dinamis. Pihak buruh pada awal rapat mengusulkan agar UMK 2021 naik 13,7 persen.
”Rapat berjalan dinamis. Kami melakukan rapat setengah kamar (lobi) lebih kurang lima kali untuk mencapai angka yang disepakati,” kata Rudolf saat dihubungi pada Rabu (18/11/2020) di Bekasi.
Rudolf menambahkan, dalam rapat yang berlangsung pada Selasa (17/11/2020), serikat buruh awalnya mengusulkan agar UMK naik 13,7 persen. Namun, angka itu kembali dirundingkan dan buruh kemudian bertahan di angka 5,03 persen. Keputusan buruh bertahan di angka tersebut belum mengakomodasi kepentingan buruh karena angka ideal untuk memenuhi kebutuhan buruh minimal berada di kisaran 7,74 persen sampai 8,51 persen.
”Jadi, bukan mencari titik tengah, tetapi kami menyadari betul bahwa kondisi pandemi saat ini berdampak ke semua pihak. Pihak yang terdampak tidak hanya pengusaha, tetapi juga pekerja,” katanya.
Sementara itu, Pemerintah Kota Bekasi pada awal rapat mengusulkan agar UMK Kota Bekasi 2021 naik 3,27 persen. Angka itu kemudian berubah dan pemerintah bertahan di angka 4,21 persen.
Dari dua usulan itu, pihak pemerintah dan serikat buruh kemudian menggelar voting untuk menentukan angka terakhir UMK Kota Bekasi 2021. Dari hasil voting itu, angka usulan pemerintah disepakati sebagai UMK 2021 karena mendapat dukungan suara terbanyak.
”Dari unsur serikat pekerja, ada enam orang yang ikut memilih. Dari unsur pemerintah, ada 13 orang. Jadi, yang memilih sesuai usulan buruh ada enam orang dan sisanya memilih angka yang diusulkan pemerintah. Sementara asosiasi pengusaha memutuskan tidak ikut dalam voting itu,” kata Rudolf.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi Ika Indah Yarti mengatakan, angka 4,21 persen yang diusulkan pemerintah sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi kepentingan buruh yang tetap bertahan agar ada kenaikan 5,03 persen. Namun, usulan itu tidak menemukan titik temu sehingga diputuskan melalui voting.
”Kami mengakomodasi keinginan serikat pekerja. Angka yang ditawarkan pemerintah awalnya 3,27 persen dengan mengikuti inflasi nasional dan produk domestik bruto,” kata Ika.
Ika menambahkan, hasil rapat Dewan Pengupahan Kota Bekasi itu akan segera disampaikan kepada Wali Kota Bekasi. Hasil kesepakatan itu selanjutnya ditandatangani Wali Kota Bekasi dan diajukan sebagai rekomendasi ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
UMK Kota Bekasi pada 2020 sebesar Rp 4.589.708. Artinya, jika dihitung berdasarkan kesepakatan, yaitu sebesar 4,21 persen, UMK Kota Bekasi pada 2021 naik Rp 193.226,74 atau jika ditotal menjadi Rp 4.782.935,84.
Memberatkan pengusaha
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi Purnomo Narmiadi yang dihubungi secara terpisah mengatakan, Apindo memutuskan tidak mengikuti voting karena sejak awal pengusaha berharap tidak ada kenaikan UMK pada 2021. Pihak pengusaha berharap UMK 2021 mengikuti surat edaran Menteri Ketenagakerjaan.
”Pengusaha sebenarnya berharap tidak ada beban kenaikan, termasuk gaji karyawan, karena kondisi pandemi Covid-19. Kalau ada kenaikan, sangat memberatkan pengusaha,” kata Purnomo.
Ia menambahkan, penentuan UMK 2021 bertujuan untuk menentukan standar upah bagi tenaga kerja baru atau pekerja nol tahun dengan jabatan paling rendah. Namun, kenaikan UMK biasanya dijadikan sebagai acuan oleh buruh untuk meminta kenaikan upah.
Kenaikan upah bagi karyawan lama ditentukan berdasarkan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Ketentuan itu selama ini dijadikan sebagai pertimbangan untuk memberikan kenaikan upah karyawan berdasarkan kemampuan perusahaan.
”Cuma ada acuan persentase kenaikan UMK yang biasanya para buruh minta ada kenaikan menyamai persentase kenaikan UMK. Itu yang menyulitkan pengusaha,” kata Purnomo.
Kenaikan UMK, menurut Purnomo, sangat memberatkan pengusaha karena selama pandemi Covid-19, penjualan dan produksi perusahaan menurun. Jika ada kenaikan UMK, situasi itu kian memberatkan pengusaha, termasuk dengan kembali mengurangi aktivitas produksi, biaya operasional, bahkan hingga mengurangi tenaga kerja.
”Ini yang kami harapkan kerja sama supaya jangan sampai ada pengurangan tenaga kerja. Sebab, pengurangan tenaga kerja akan menyebabkan efek multiplier, mulai dari pekerja menganggur, daya beli masyarakat menurun, hingga keluarga terganggu perekonomiannya,” kata Purnomo.