Utusan PBB Perkuat Gugatan Warga Negara terhadap Pencemaran Udara di Ibu Kota
Pelapor Khusus Persatuan Bangsa-Bangsa David R Boyd mengirimkan pendapat keahliannya atau ”amicus curiae” kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terkait kasus gugatan warga negara atas polusi udara di Jakarta.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelapor Khusus Persatuan Bangsa-Bangsa David R Boyd, dalam amicus curiae tertanggal 9 Oktober 2020, menyatakan, pendapatnya bertujuan membantu pengadilan dalam mengembangkan yurisprudensi Indonesia serta memberi perspektif tentang hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang relevan.
Boyd mengirimkan pendapat keahliannya atau amicus curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memperkuat gugatan warga negara atau citizen law suit terkait polusi udara di Jakarta yang sedang berlangsung. Amicus curiae dinilai akan memperluas pengetahuan hakim dalam memutus perkara ini.
Menurut dia, udara bersih adalah komponen penting dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Pemerintah dinilai gagal memenuhi kewajiban untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan kualitas udara.
”Melindungi hak asasi manusia dari efek berbahaya polusi udara merupakan kewajiban konstitusional dan legislatif bagi pemerintah di Indonesia, bukan sebuah pilihan. Dengan hormat saya sampaikan bahwa Pemerintah Indonesia gagal untuk meningkatkan kualitas udara luar ruangan di Jakarta,” tulisnya dalam keterangan pers seusai sidang.
Dia berpendapat, Jakarta merupakan salah satu ibu kota di dunia dengan kualitas udara buruk meskipun pemerintah telah mencantumkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat untuk warga negaranya dalam undang-undang. Kasus ini dinilai terkait dengan kepentingan global karena posisi Jakarta sebagai salah satu ibu kota terbesar di dunia.
Dia menguraikan lima poin yang harus dijadikan acuan dalam memutus perkara ini. Pertama, akses keadilan dan hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Kedua, bukti relevan berdasarkan penelitian ilmiah tentang dampak buruk pencemaran udara terhadap kesehatan manusia dan hak asasi manusia di Indonesia.
Ketiga, negara harus melakukan kewajibannya di bawah hukum hak asasi manusia internasional dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Keempat, mengenai yurisprudensi konstitusional komparatif dari negara lain untuk membantu dalam menafsirkan hak atas lingkungan yang sehat dalam konteks polusi udara.
Terakhir, ada tujuh tindakan yang perlu dilakukan negara untuk memenuhi kewajiban atas hak warga untuk menghirup udara bersih. Ini berangkat dari hukum HAM internasional dan hukum konstitusional domestik tentang penerapan hak atas lingkungan yang sehat.
Adapun tujuh langkah kunci untuk melindungi hak asasi manusia dari polusi udara adalah memantau kualitas udara dan dampaknya pada kesehatan; mengkaji sumber polusi udara; membuat informasi tersedia untuk umum, termasuk nasihat kesehatan masyarakat; menetapkan undang-undang, peraturan, standar, dan kebijakan kualitas udara; mengembangkan rencana aksi kualitas udara di tingkat lokal, nasional, dan jika perlu regional; menerapkan rencana tindakan kualitas udara dan menegakkan standar; serta mengevaluasi kemajuan dan memperkuat rencana untuk memastikan standar terpenuhi.
”Di setiap tahapan tersebut, negara harus memastikan bahwa publik mendapat informasi lengkap dan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Setiap upaya harus dilakukan untuk melibatkan perempuan, anak-anak, dan orang lain dalam situasi rentan yang suaranya terlalu sering dibungkam dalam proses kebijakan lingkungan,” tuturnya.
Dikonfirmasi terkait amicus curiae ini, Kepala Humas Kepala Humas PN Jakarta Pusat Bambang Nurcahyo menyatakan akan memeriksa terlebih dahulu keberadaan surat tersebut di kepaniteraan. ”Saya masih sidang, nanti saya cari info dulu di kepaniteraan,” ujarnya.
Anggota Tim Advokasi Aliansi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota), Ayu Eza Tiara, menjelaskan, amicus curiae yang ditulis Boyd akan membantu hakim dalam memperkaya pengetahuannya terkait kasus ini. Terlebih, amicus curiae ditulis oleh utusan PBB yang berpengalaman di bidangnya. ”Sehingga hakim akan jauh lebih berhati-hati dalam memutus perkara ini,” ujarnya.
Dia melanjutkan, gugatan warga negara terkait polusi udara di Jakarta sudah memasuki pemeriksaan saksi. Tim advokasi menjaring saksi dari open call beberapa waktu lalu. Dari kegiatan itu, tim advokasi memilih empat orang yang akan memberikan kesaksian di pengadilan. ”Pada Kamis kemarin sudah ada pemeriksaaan satu saksi. Sidang akan dilanjutkan 12 Desember nanti dengan agenda masih pemeriksaan saksi,” ujarnya.
Sidang gugatan warga negara terkait polusi udara di Jakarta berlangsung sejak 2019. Tim Advokasi Ibukota mewakili 32 warga sebagai penggugat. Gugatan ditujukan kepada tujuh pihak yang dinilai tak mampu mengatasi polusi di Jakarta.
Ketujuh pihak yang dimaksud adalah Presiden RI (Tergugat I), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat II), Kementerian Dalam Negeri (Tergugat III), Kementerian Kesehatan (Tergugat IV), Pemprov DKI Jakarta (Tergugat V), Pemprov Banten (Turut Tergugat I), dan Pemprov Jawa Barat (Turut Tergugat II).
Dalam pembacaan gugatan, Nelson Nikodemus Simamora selaku tim kuasa hukum penggugat menyampaikan buruknya kualitas udara Jakarta berdasarkan data pantauan mutu udara dari parameter pencemar Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Sejumlah lembaga pemerhati mencatat terjadi lonjakan angka konsentrasi partikel debu mikro atau PM 2,5 menjadi rata-rata sebesar 37,82 µg/m3 selama Januari hingga Juni 2019. Angka tersebut dua kali lebih tinggi dari standar nasional atau tiga kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (Kompas, 12/12/2019).
Kasus gugatan warga negara terkait lingkungan pernah menang di pengadilan. Berdasarkan catatan Kompas, gugatan warga negara pernah dilayangkan tahun 2016 sebagai buntut kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Para penggugat menggugat Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, dan Gubernur Kalimantan Tengah waktu itu.
Pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan terakhir Mahkamah Agung mengabulkan permohonan penggugat. Hanya satu gugatan yang tidak dikabulkan, yaitu tuntutan agar Presiden meminta maaf kepada warganya atas kebakaran hutan dan lahan.