Menciptakan Kerumunan Orang Harus Jadi Pelanggaran Berat
Pihak penyelenggara acara ataupun hadirin sama-sama harus paham aturan. Akan tetapi, penyelenggara tetap memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan membatasi pengunjung.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19 dengan jumlah korban terus bertambah, kesadaran menjaga jarak fisik dan selalu memakai masker ketika berada di tempat umum adalah keniscayaan yang bisa menyelamatkan publik. Oleh sebab itu, pemahaman norma kesehatan ini harus kian digencarkan.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin, yang dihubungi pada Minggu (15/11/2020), mengatakan, penegakan kedisiplinan protokol kesehatan selama pembatasan sosial berskala besar transisi tidak menebang pilih. Denda Rp 50 juta untuk resepsi pernikahan anak Rizieq Shihab serta penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Petamburan, Jakarta Pusat, telah dibayar oleh penyelenggara acara.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 ditegaskan bahwa, apabila pelanggar aturan keamanan dan kesehatan melakukan pelanggaran kembali, jumlah dendanya akan ditingkatkan. Meskipun begitu, Arifin menekankan bahwa hal ini bukan sekadar membayar denda, melainkan kesadaran untuk menjaga keselamatan bersama.
”Pemerintah Provinsi Jakarta mengizinkan masyarakat mengadakan resepsi pernikahan selama PSBB transisi, tetapi ada aturan keamanan yang harus dipatuhi, seperti jumlah orang di dalam ruangan hanya boleh 25 persen dari kapasitas maksimal dan semuanya wajib memakai masker,” tuturnya.
Pihak penyelenggara acara ataupun hadirin sama-sama harus paham aturan. Akan tetapi, penyelenggara tetap memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan membatasi pengunjung. Menurut Arifin, hal ini sama dengan pengaturan di rumah makan. Terkadang ada pengunjung yang berkeras duduk bersama-sama. Pengelola rumah makan harus tegas mengatur dan menyuruh mereka menjaga jarak. Tentunya pihak penyelenggara acara tidak menginginkan kegiatan tersebut mengakibatkan kluster penularan baru.
Kategorisasi pelanggaran
Kepala Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Syaifudin menjelaskan, perlu ada evaluasi jenis pelanggaran. Melihat perkembangan pandemi yang kian memakan korban, semestinya kegiatan yang menciptakan kerumunan orang dengan alasan pribadi menjadi pelanggaran kategori terberat.
”Bukti dari wilayah lain di Indonesia dan seluruh dunia sudah jelas. Kluster resepsi yang tidak mematuhi jaga jarak menelan korban tamu, keluarga, bahkan pengantinnya sendiri,” tuturnya.
Pemerintah pusat dan daerah sudah sewajarnya meletakkan kegiatan menciptakan keramaian di dalam tingkat kewaspadaan tertinggi. Dalam hal ini, ketika penyelenggara acara mengajukan proposal kegiatan ke pemerintah, baik dari tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota ketegasan dan pengawasan harus diterapkan.
Apabila penyelenggara tampak tidak bisa memegang komitmen untuk menjaga jarak, jangan beri izin untuk kegiatan. Apabila contoh kegiatannya adalah pernikahan, tetap bisa dilakukan di kantor urusan agama atau dinas kependudukan dan pencatatan sipil dengan hanya melibatkan mempelai, orangtua, dan saksi. Kesakralan pernikahan tidak terganggu.
Aspek kedua ialah terkait denda. Syaifudin memaparkan, di satu sisi denda membuat sebagian orang takut dan menunjukkan keseriusan pemerintah memberi sanksi. Akan tetapi, di sisi lain, denda justru bisa melemahkan maksud dari aturan itu karena akan ada kelompok masyarakat yang memandang aturan dari nilai nominalnya.
”Bagi masyarakat yang belum memahami tujuan aturan untuk melindungi keselamatan diri sendiri dan orang lain akan muncul pemikiran: tidak apa-apa melanggar aturan, toh saya mampu membayar. Jadi, sebaiknya kategori denda juga dievaluasi dan ditingkatkan lagi nominalnya,” tutur Syaifudin.
Efek jera
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjar Thufail, menjelaskan, pelanggaran aturan telah membudaya di Indonesia karena sanksi, baik legal, adat, sosial, maupun komunal, banyak yang tidak bergigi dan memberi efek jera. Akibatnya, dalam kehidupan publik, tidak ada keselarasan antara aturan dan perilaku.
”Ada pembiaran ketika seseorang mengatakan akan berkomitmen pada suatu nilai dan norma, tetapi kenyataan bersikap sebaliknya,” ujarnya.
Perbedaan antara sikap dan perilaku bukan hal yang khas di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara lain. Perbedaannya ialah, di negara lain perbuatan itu tidak langsung dilupakan masyarakat. Jika tidak ada sanksi legal yang diterapkan, sanksi sosial berjalan dengan megingatkan masyarakat terhadap kesalahan yang pernah dilakukan individu tersebut disertai pesan agar tidak mengikuti jejak yang serupa.
Sebaliknya, di Indonesia, kebanyakan pelanggaran, baik besar maupun kecil, banyak diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Menurut Fadjar, cara kekeluargaan sendiri sebenarnya tidak masalah apabila menjamin ada efek jera bagi pelaku dan pembelajaran bagi orang lain.