Komisi B DPRD DKI Jakarta Pertanyakan Alasan Rute LRT Berubah
Komisi B DPRD DKI Jakarta mempertanyakan perubahan rute LRT Jakarta. Selain tidak tercantum di RITJ, perubahan itu dinilai juga menguntungkan swasta. Komisi B meminta dishub ada kajian soal demand dan tarif.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta mengkritik rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghapus dan mengubah rute kereta ringan (LRT) sebagai langkah yang lebih menguntungkan swasta. Perubahan rute itu juga memunculkan pertanyaan, khususnya terkait kajian jumlah penumpang dan tarif jika pembangunan diserahkan ke swasta
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P, Gilbert Simanjuntak, Jumat (13/11/2020), menjelaskan, terkait perubahan rute LRT itu, ia ketahui dari paparan Dinas Perhubungan DKI Jakarta di DPRD DKI pada 22 Oktober 2020. Terkait pembangunan LRT Jakarta, rute-rutenya itu sudah diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) tahun 2018-2029. Proyek LRT Jakarta sendiri merupakan proyek strategis nasional (PSN) yang diatur di dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018.
Di dalam perpres itu, sejumlah rute LRT Jakarta diatur, di antaranya rute Kelapa Gading-Kemayoran yang pada tahun lalu diurus izin perpanjangannya hingga ke Jakarta International Stadium (JIS) sejauh 8,2 km. Kemudian juga ada rute Velodrome-Manggarai sejauh 9 km dan sejumlah rute lain.
Dalam paparan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, rute Velodrome-Manggarai yang seharusnya menjadi rute 2b LRT Jakarta dihapus. Kemudian rute itu diubah menjadi Velodrome-Klender sejauh 4,1 km dan Klender-Pondok Bambu-Halim sejauh 5,2 km.
Di sisi lain, rute Pulo Gebang-Joglo sepanjang 32,8 km akan diserahkan kepada pihak swasta melalui skema kerja sama pemerintah daerah dan badan usaha (KPDBU). Rute ini akan melalui Jalan Basuki Rachmat, Kampung Melayu, Jalan Satrio, Pejompongan, Palmerah, Bundaran Senayan, Permata Hijau, dan berakhir di Joglo.
Eneng Malianasari, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, mempertanyakan penghapusan dan perubahan rute itu. Karena rute itu sudah masuk dalam PSN, ia minta Pemprov DKI Jakarta mematuhi program itu.
”Kami minta Pemprov DKI jangan menjegal PSN yang telah digariskan Presiden Jokowi. Menghapus rute Velodrome-Dukuh Atas berarti mengacak-acak rute yang telah ditetapkan Pak Presiden dan bisa mematikan proyek ini. Pasalnya, rute Velodrome-Dukuh Atas adalah rute prioritas yang memiliki potensi penumpang sangat besar dan terintegrasi dengan MRT, KRL Jabodetabek, dan Kereta Bandara di Dukuh Atas,” ucap Eneng.
Rencana pembangunan LRT fase II telah digulirkan sejak tahun 2018. Dalam acara konsultasi publik pada 6 Juni 2018, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, PT Jakarta Propertindo akan membangun rute LRT Velodrome-Dukuh Atas-Tanah Abang selepas perhelatan Asian Games atau akhir tahun 2018. Namun, hingga saat ini pembangunannya tidak kunjung dimulai karena tidak ada kucuran dana dari Pemprov DKI ke PT Jakpro.
”Kami awalnya heran, mengapa Pemprov DKI tidak mau mengalokasikan anggaran pembangunan LRT Velodrome-Dukuh Atas di APBD tahun 2018 hingga 2020. Rupanya, baru sekarang ketahuan bahwa Pak Anies ingin menghapus rute ini,” ujar Eneng.
Gilbert menyebut, perubahan rute yang dibuat Pemprov DKI tidak sesuai dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2018. ”Rute yang dibuat Pak Anies tidak sesuai dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2018 dan sangat merugikan Pemprov DKI. Di dalam perpres, Pemprov DKI dapat rute LRT ke pusat-pusat aktivitas di tengah kota. Namun, Pak Anies malah mengubah rute sehingga Pemprov DKI hanya dapat rute di pinggiran yang sepi penumpang,” katanya.
PSI, lanjut Eneng, mendesak agar Pemprov DKI segera menjalankan proyek LRT sesuai yang telah diatur di Perpres 55 tahun 2018 dan Perpres 56 tahun 2018. ”Membangun LRT memang butuh dana yang tidak sedikit. Jika anggaran Pemprov DKI tidak cukup, maka bisa dibiayai lewat pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari Kemenkeu. Tidak ada larangan untuk membiayai proyek LRT pakai pinjaman PEN. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Pemprov DKI untuk tidak melaksanakan proyek LRT sesuai kebijakan Presiden,” pungkas Eneng.
Sementara itu, terkait dengan perubahan rute 2b itu, Simanjuntak mempertanyakan kajian besaran penumpang di rute yang baru itu. Selain itu ia juga mempertanyakan besaran tarif yang mesti dibayar warga jika pembangunan dan pengelolaan LRT diberikan kepada swasta.
”Jika swasta yang mengelola, berapa tarifnya? Harga tarif harus terjangkau oleh rakyat kecil. Harga keekonomian tarif LRT berkisar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per orang. Saya tebak, nanti pihak swasta akan minta subsidi tarif ke Pemprov DKI. Selain subsidi, Pemprov DKI kemungkinan nanti juga harus mengeluarkan anggaran untuk pembebasan lahan dan biaya konstruksi. Belum lagi, Pemprov DKI harus kehilangan potensi pendapatan karena konsesi transit oritented development (TOD) diberikan ke swasta. Kalau begini caranya, Pemprov DKI rugi berkali-kali,” ujarnya.
Gilbert menegaskan, pihaknya menolak usulan rute baru ini. Ia beralasan, program LRT harus berorientasi pada pelayanan publik, bukan untuk cari keuntungan.
Terpisah, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Haris Muhammadun menyatakan, DTKJ sudah mengonfirmasi perubahan rute itu kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Diketahui, alasan perubahan karena untuk skema pembangunannya adalah dengan KPDBU.
Menurut Haris, kalau skema itu yang dipakai bisa diterima. Karena supaya investor masuk dan mendanai pembangunan LRT, memang rutenya adalah rute yang menarik untuk swasta, untuk investor masuk mendanai. ”Begitu ada pandemi Covid-19, ada kontraksi pada APBD sehingga tidak mungkin lagi kita memaksa APBD untuk melakukan penganggaran untuk pembangunan LRT,” kata Haris.
Terkait perubahan rute dari yang seharusnya Velodrome-Manggarai menjadi Velodrome-Klender dan Klender-Pondok Bambu-Halim serta tidak ada di dalam RITJ, Haris menjelaskan, dengan situasi hari ini RITJ bisa dimungkinkan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. ”Jadi, ketika tidak ada Covid-19 tentunya penganggaran dengan APBD tetap menjadi satu hal yang akan dilakukan. Begitu ada Covid, ada beberapa pertimbangan bahwa APBD tidak mungkin melakukan pembiayaan secara keseluruhan, sehingga perlu ada alternatif-alternatif yang memungkinkan investor masuk,” ujarnya.
Dengan perubahan rute itu, Haris melihat, rute itu bisa mengisi angkutan di sisi timur. Dengan rute itu, LRT Jakarta akan bisa menjadi feeder bagi kereta cepat di Halim. Lalu LRT Jakarta juga bisa terintegrasi dengan KRL di Klender.
Koordinasi
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, menjelaskan, terkait perubahan rute itu, sudah ada koordinasi dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan Kementerian Perhubungan. ”Sudah ada surat dan sudah ada pembahasan. Saat ini masih dalam kajian,” kata Adita.
Terkait surat yang dimaksud, surat dari Pemprov DKI itu bertanggal 17 September 2020 dan perihalnya adalah permohonan persetujuan trase LRT Jakarta Kelapa Gading-JIS dan Velodrome-Klender.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menjelaskan, Pemprov DKI terus berkomunikasi dengan Kementrian Perhubungan terkait perubahan-perubahan rute. ”Pastinya semua kebijakan yang akan kami ambil, kami akan cermati, kami koordinasikan dengan semua pihak, dengan para pakar, juga dengan pemerintah pusat. Semuanya masih dalam proses,” jelas Ahmad Riza.