Kenalkan Diversifikasi Pangan ke Masyarakat Akar Rumput Ibu Kota
Pengenalan masyarakat terhadap keragaman pangan tidak bisa melalui sosialisasi. Harus ada kegiatan praktik dan kebijakan politik minimal dari pemerintah daerah untuk membuat warga terbuka pada berbagai alternatif pangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Kemampuan mengenali dan mengakses ragam bahan pangan, serta pengetahuan dan keterampilan mengolahnya termasuk ke dalam syarat ketahanan pangan. Masyarakat perkotaan yang identik dengan kehidupan yang sibuk cenderung mengonsumsi makanan siap saji dengan tingkat keragaman rendah. Akibatnya, definisi ketahanan pangan di wilayah Ibu Kota sekali pun belum bisa terpenuhi.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tahun 2019 DKI Jakarta memiliki skor ketahanan pangan 68,87. Setiap provinsi dengan kumulasi nilai di atas 6 diartikan memiliki ketahanan pangan yang baik. Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) Jakarta Bambang Purwanto menuturkan bahwa Jakarta memang tidak pernah mengalami krisis pangan karena bahan segar maupun olahan tersedia mulai dari pasar besar hingga warung-warung di akar rumput (Kompas.id, 12 November 2020).
Akan tetapi, ditelisik lebih mendalam tidak semua masyarakat Jakarta memiliki akses ataupun kemauan kepada ragam pangan. Survei Koalisi Rakyat untuk Ketahanan Pangan 2018 menunjukkan bahwa 60 persen konsumsi masyarakat Jakarta adalah beras yang dimasak menjadi nasi, diikuti makanan cepat saji seperti mi instan. Itu pun tidak dilengkapi protein, serat, dan mineral yang memadai.
Kami melihat warga, terutama anak-anak, banyak memakan mi instan tanpa lauk maupun sayur tambahan. Jadi jika setiap rumah tangga diberi sayur gratis, pasti akan mereka makan. (Adian Sudiana)
Menanggapi masalah tersebut, beberapa kelompok petani perkotaan mengambil tindakan dengan membuat lahan pertanian hidroponik di Ibu Kota. Salah satunya di Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Tepatnya di wilayah RW 003. Lahan yang digunakan berada di bantaran Kali Rawakerbau. Lebarnya mulai dari 1,2 meter hingga 2 meter dengan total luas hanya 200 meter persegi.
”Sengaja dibuat hidroponik karena kalinya diturap beton, jadi tanahnya tidak gembur. Tapi, karena hidroponik justru jumlah sayuran yang ditanam bisa lebih banyak daripada kalau ditanam langsung di tanah,” kata Ketua Pusat pelatihan Pertanian Swadaya Kementerian Pertanian untuk Kecamatan Cempaka Putih Adian Sudiana ketika ditemui pada Kamis (12/11/2020).
Warga RW 003 ini menceritakan bahwa sejak tahun 2011 dia dan sembilan warga lainnya sudah bercocok tanam di bantaran Kali Rawakerbau sebelum sungai ini diturap beton. Alasannya, selain untuk penghijauan, juga agar tanah bantaran tidak ambles serta mencegah orang membuang sampah sembarangan.
Kali Rawakerbau melintasi Jalan Cempaka Putih Tengah yang merupakan jalan raya. Persis di seberang kali ada kompleks perumahan mewah, tetapi ternyata tidak membuat orang-orang yang lewat menjaga kebersihan. Menurut Adian, dulu hampir setiap pagi ditemukan kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga yang ditinggalkan begitu saja di bantaran.
Ia dan warga yang tidak tahan melihat kejorokan itu pelan-pelan membersihkan bantaran. Tak lama kemudian, warga makin banyak yang ikut kerja bakti. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menanam sayur dan pohon buah di sepanjang bantaran agar lahan itu tidak kosong. Tujuannya sebatas konsumsi rumah tangga para penanam.
Ketika bantaran dibeton pada tahun 2016, Adian mengusulkan kepada Kelurahan Cempaka Putih Timur agar lahan itu serius dimanfaatkan untuk pertanian urban dengan metode hidroponik. Pihak kelurahan pun mengabari Dinas Bina Marga, Dinas Sumber Daya Air, dan Dinas KPKP yang menyetujui inisiatif tersebut.
Adian beserta warga yang tergabung dalam kelompok tani RW 003 segera membuat rangka hidroponik. Mereka memutuskan untuk fokus menanam sayur kangkung, pakcoy, fugui atau sayur pagoda, samhong, dan kubis keriting atau kale. Di sela-sela rangka hidroponik ditanami juga mangga dan anggur.
”Bibit kami beli mandiri. Terkadang dinas-dinas dan badan usaha milik pemerintah menyumbang bibit juga. Sebagian dibagikan gratis kepada warga yang mau bercocok tanam di rumah masing-masing,” tutur Adian.
Hasil panennya dijual kepada warga setempat dengan harga Rp 10.000 per 250 gram. Mereka yang berminat membeli bisa langsung mendatangi pos kelompok tani tersebut di bantaran kali atau mengontak salah satu anggotanya.
Selama pandemi Covid-19 yang terhitung dari Maret hingga November, lahan pertanian itu sudah mengalami panen 23 kali. Menurut Adian, hasilnya dibagikan gratis kepada warga. Alasannya ada dua, yang pertama karena di masa susah ini kelompok tani memounyai misi agar warga RW 003 yang terdiri dari 18 rukun tetangga itu tetap memiliki makanan pendamping. Mayoritas mereka memperoleh bantuan sosial bahan pokok dari pemerintah yang berisi beras, mi instan, dan sarden kaleng.
”Misi kedua ialah ’memaksa’ warga banyak mengonsumsi sayuran. Kami melihat warga, terutama anak-anak, banyak memakan mi instan tanpa lauk maupun sayur tambahan. Jadi jika setiap rumah tangga diberi sayur gratis, pasti akan mereka makan,” ujarnya.
Hal ini pula yang melandasi kelompok tani itu menanam pokcoy, kale, dan fugui. Ketiga tanaman itu pascapanen bisa diolah menjadi berbagai produk turunan selain dilalap dan ditumis. Kale bisa dijadikan jus segar kaya vitamin. Adapun pokcoy dan fugui bisa diolah menjadi mi sebagai pengganti mi instan yang mereka jual kepada warga. Harganya memang relatif lebih mahal, yakni Rp 20.000 per porsi, sehingga pembelinya belum banyak.
Diversifikasi pangan
Pada kesempatan yang berbeda, dosen Makanan Nusantara dan Kewirausahaan Program Pendidikan Tata Boga Universitas Negeri Jakarta, Ari Fadiati, mengatakan bahwa pengenalan masyarakat terhadap keragaman pangan tidak bisa melalui sosialisasi. Harus ada kegiatan praktik, bahkan kebijakan politik minimal dari pemerintah daerah untuk mengarahkan warga membuka alternatif pangan pokok selain beras.
Ia pernah meneliti pola pikir masyarakat terhadap beras yang menjadi budaya bagi masyarakat di Jawa dan Sumatera. Masyarakat, meskipun mengetahui ada alternatif pangan dan mampu memdapatkannya, mayoritas tetap memilih beras karena ada kenyamanan dan perasaan telah makan jika mengonsumsi nasi.
Alasan kedua ialah ketidaktahuan masyarakat untuk mengolah pangan alternatif, misalnya cara mengolah pisang berkadar gula rendah maupun labu menjadi pengganti karbohidrat atau bahkan singkong sebagai pengganti nasi. Ketiga ialah tidak tahu makanan pendamping atau lauk yang cocok dengan pangan pokok itu.
”Pemerintah Kota Depok dulu pernah menerapkan satu hari dalam sepekan adalah bebas nasi di kantor-kantor pemerintah. Kantin-kantin di lingkungan pemerintah kota akhirnya berkreasi menciptakan makanan-makanan baru dari singkong, jagung, kentang, dan sayuran hijau,” tutur Ari.
Konsep itu bisa diadopsi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta minimal di lingkungan dinas pemerintah sebagai perkenalan bagi pegawai dan orang-orang yang berkunjung ke sana. Setelah itu, secara bertahap bisa diturunkan ke masyarakat melalui kader pemberdayaan kesejahteraan keluarga dan di sekolah.