Ketahanan Pangan Ibu Kota Bukan Sekadar Ada Makanan
Selama pandemi Covid-19, masyarakat rentan di Ibu Kota diberi bantuan sosial berupa beras, mi instan, biskuit, dan minyak goreng. Dari sisi ketahanan pangan, hal ini tidak mencukupi kebutuhan gizi masyarakat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petani sibuk di sawah untuk merawat tanaman padinya di kawasan Marunda, Cilincing, Jakarta, Rabu (28/10/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Berlimpahnya produk pangan mentah maupun olahan di Ibu Kota tidak serta-merta menjadikan pola makanan masyarakat berimbang. Bahkan, belum tentu semua masyarakat dijamin bisa ataupun mau mengakses pangan dengan berbagai variasi bentuk maupun produk turunannya. Tugas ini merupakan pekerjaan rumah seluruh unsur wilayah perkotaan Jakarta, mulai dari pemerintah hingga masyarakat di akar rumput.
Pada Rabu (11/11/2020), Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria atau Ariza menghadiri acara panen padi di sawah milik TNI Angkatan Udara. Sawah seluas 6,2 hektar itu berada di dekat Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Ariza mengatakan bahwa perkiraan rata-rata kebutuhan beras setiap warga Jakarta adalah 0,3 kilogram per hari.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ahmad Riza Patria
”Adanya pandemi Covid-19 dan musim hujan disertai fenomena cuaca La Nina membuat kita benar-benar harus meningkatkan produksi beras,” kata Ahmad Riza.
Ketika dimintai keterangan secara terpisah, Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) DKI Jakarta Bambang Purwanto mengungkapkan, di Ibu Kota terdapat 414 hektar lahan sawah milik warga. Pemerintah Provinsi Jakarta bertindak sebagai pembina dalam upaya produksi beras serta mengimbau agar warga jangan melepas lahan untuk dibangun gedung.
Di samping itu juga ada program ketahanan pangan dengan mengajak masyarakat melakukan pertanian urban berupa hidroponik dan aeroponik. Total pertanian ini diterapkan di 600 gang hijau, 200 ruang publik terpadu ramah anak, dan 23 rumah susun. Mulai diperkenalkan pula program diversifikasi pangan seperti umbi-umbian dan biji-bijian dalam diskusi berbasis komunitas.
”Memang 95 persen pangan Jakarta berasal dari wilayah, bahkan pulau-pulau lain, tetapi untuk soal ketersediaan kita tidak pernah krisis, termasuk di masa pandemi Covid-19. Pangan yang bagus dan selalu dijamin keamanan dari zat-zat berbahaya tersebar mulai dari pasar tradisional, pasar swalayan, sampai warung,” tutur Bambang.
Ketahanan pangan
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas e-warong melayani warga yang akan mengambil bantuan pangan nontunai (BPNT) di Kembangan Selatan, Jakarta Barat, Rabu (11/11/2020).
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Ketahanan Pangan Ayip Said Abdullah menjelaskan bahwa konsep ketahanan pangan tidak hanya dari aspek ketersediaan makanan. Ada aspek aksesibilitas pangan, yaitu tempat-tempat pangan tersedia di titik yang bisa dijangkau masyarakat. Juga ada kemampuan masyarakat untuk membeli atau mendapatkan pangan tersebut.
Apabila pangan tersedia dengan harga murah di wilayah permukiman, tetapi masyarakat miskin kota seperti pemulung tidak mampu membeli, ketahanan pangan di akar rumput tidak tercapai.
Aspek berikutnya ialah utilisasi pangan, yakni pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk mengolah bahan pangan. Hal ini berkaitan erat dengan budaya masyarakat. Penduduk kota besar yang gaya hidupnya sibuk mengedepankan kepraktisan dalam memperoleh pangan. Metode mengolah makanan yang paling banyak ialah menggoreng, akibatnya asupan kolesterol tinggi.
Contohnya ialah vitamin A yang berasal dari sayuran hanya bisa diasup tubuh manusia jika dilarutkan dengan lemak. Oleh sebab itu, cara ideal mengolahnya adalah ditumis dengan sedikit minyak. Jika proses mengolahnya berupa dilalap atau dimasak terlalu lama, fungsi dari sayuran itu untuk tubuh tidak tercapai. Hal serupa juga berlaku untuk makanan pokok.
”Makanan cepat saji bagi masyarakat Jakarta banyak dari gandum dan turunannya seperti mi dan roti. Makanan pokok yang dimasak dari nol mayoritas beras yang menjadi 60 persen sumber energi masyarakat Jakarta. Ketidakseimbangan ini membuat makanan bukan menjadi sumber energi dan menyehatkan, melainkan sebatas membuat kenyang dan kemudian mendatangkan berbagai masalah kesehatan, seperti kurang gizi, obesitas, kolesterol, dan penyakit gula,” papar Ayip.
Selama pandemi Covid-19, masyarakat rentan di Ibu Kota diberi bantuan sosial berupa beras, mi instan, biskuit, dan minyak goreng. Dari sisi ketahanan pangan, hal ini tidak mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Harus ada pendekatan di akar rumput dengan cara membuka akses terhadap sayur, buah, dan protein serta pendampingan mengenai tata pengolahan yang baik.
Menurut dia, permasalahan utama ketahanan pangan di Jakarta serta wilayah sekitarnya adalah pengetahuan pengolahan bahan pangan. Berbeda dengan provinsi-provinsi lain yang memang mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan pangan.
Akan tetapi, perubahan budaya mengolah pangan ini adalah tantangan yang berat karena kebijakan ekonomi pangan seperti peredaran gandum dan minyak goreng dikedepankan oleh pemerintah. Selain imbauan untuk makan dengan variasi serta imbang secara gizi, juga perlu pendidikan di sekolah maupun di komunitas lokal.