Merunut Sejarah Ibu Kota Lewat Artefak di Jalur MRT
Sejumlah artefak ditemukan dalam pembangunan jalur MRT fase 2a. Benda-benda temuan ini menceritakan sepenggal sejarah Jakarta.
Dalam proses pembangunan proyek MRT fase 2a antara Bundaran Hotel Indonesia hingga kawasan Kota Tua, tim ekskavasi menemukan sejumlah artefak. Artefak tersebut ditemukan pada 14 titik galian pembangunan Stasiun MRT MH Thamrin dan Monumen Nasional (Monas).
Berbagai artefak yang ditemukan berupa keramik, tembikar, dan tulang-tulang. Benda-benda berbentuk pecahan berukuran 5-10 sentimeter tersebut, sebagian besar ditemukan pada kedalaman sekitar 1-1,5 meter.
"Artefak ini hampir ditemukan di semua titik. Hanya ada dua titik yang tidak ditemukan artefak ini," kata Cecep Eka Permana, Ketua Tim Eskavasi MRT, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (9/11/2020).
Baca juga : Dirut MRT Jakarta: Proyek Fase 2A Hadapi Tiga Tantangan Besar
Cecep memperkirakan, temuan tersebut merupakan benda-benda milik penduduk yang tinggal di kawasan MH Thamrin sebelum tahun 1950-an. Saat itu, Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman belum dibangun. Kawasan tersebut masih berupa permukiman dan perkebunan.
Jalan MH Thamrin-Sudirman, dibangun sekitar tahun 1959. Jalan dibangun untuk menghubungkan komplek Stadion Gelora Bung Karno dengan Monas.
Cecep berpendapat, temuan artefak di bagian barat Monas, berasal dari urukan tanah. Karena dulunya merupakan dataran rendah, tanah di kawasan tersebut sempat diuruk pada medio 1960-1980.
"Nah pada urukan tersebut kami menemukan pecahan keramik, tembikar, bahkan genteng. Ada beberapa temuan dari struktur bekas penghancuran taman Monas sekitar 1980-an," ujarnya.
Namun, pada tiga galian di pintu masuk Monas bagian barat daya, tepatnya di dekat Monumen Patung Kuda, tim Cecep menemukan uang koin pecahan Rp 50. Pecahan uang tersebut ditemukan pada lapisan tanah di bawah urukan.
Pada urukan tersebut kami menemukan pecahan keramik, tembikar, bahkan genteng. Ada beberapa temuan dari struktur bekas penghancuran taman Monas sekitar 1980-an.
Ia menduga, uang dan sejumlah artefak yang ditemukan di kawasan tersebut berkaitan dengan aktivitas warga di pasar malam. Saat awal-awal Monas berdiri, kawasan tersebut sering digunakan untuk pasar malam Gambir.
"Kegiatan ini mungkin masih berlangsung hingga tahun 1970-an, sebelum digantikan oleh Pekan Raya Jakarta," lanjutnya.
Menurut Cecep, temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan stasiun di MH Thamrin dan Monas relatif aman dilakukan. Sebab, artefak yang ditemukan bukan berasal dari cagar budaya.
Yang perlu dikhawatirkan adalah pembangunan bagian selanjutnya, yakni Monas hingga Kota Tua.
Proyek pembangunan jalur bawah tanah MRT fase 2a dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) hingga kawasan Kota Tua. Fase ini akan berhenti pada titik sebelum halte Transjakarta depan Stasiun Jakarta Kota.
Baca juga : Merawat Artefak, Mewariskan Nilai Luhur
Dua tahun lalu, tim ekskavasi sudah menggali kawasan ini. Hasilnya, hingga kedalaman empat meter, mereka masih menemukan struktur bangunan. Salah satunya di dekat bangunan Museum Bank Mandiri.
Menurut Cecep, temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan stasiun di MH Thamrin dan Monas relatif aman dilakukan. Sebab, artefak yang ditemukan bukan berasal dari cagar budaya. Yang perlu dikhawatirkan adalah pembangunan bagian selanjutnya, yakni Monas hingga Kota Tua.
Struktur bangunan yang banyak ditemukan di sepanjang kawasan Harmoni-Kota Tua misalnya berupa tembok atau konstruksi bangunan bawah. Karena tanah di sana dulunya cukup labil, warga banyak menggunakan cerucuk dari kayu untuk memperkuat konstruksi bangunan bawah. Cerucuk inilah yang banyak ditemukan di bawah tanah.
"Kebanyakan bangunan milik Belanda ya. Ada perkantoran, permukiman, bahkan benteng," ungkap Cecep.
Bukan pertama
Jika dirunut, penemuan artefak dalam pembangunan proyek di ibu kota cukup sering terjadi. Beberapa bulan yang lalu, artefak berupa struktur fondasi bangunan juga ditemukan di bawah Kampung Aquarium, Jakarta Utara, saat area ini hendak dibangun kampung susun.
Cecep yang juga Guru Besar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menjelaskan, fondasi ditemukan pada kedalaman tiga meter. "Struktur bangunan fondasinya masih lengkap. Hanya saja bangunannya rusak," ungkapnya.
Bangunan tersebut, lanjut Cecep, merupakan Pusat Oseanografi pertama dan terbesar di Asia Tenggara di masa Hindia-Belanda. Pusat oseanografi ini adalah satu dari dua pusat ilmu pengetahuan milik Pemerintah Hindia-Belanda.
"Pusat ilmu pengetahuan untuk tumbuh-tumbuhan di Kebun Raya Bogor. Untuk maritimnya ada di Kampung Aquarium," katanya.
Kawasan tersebut kembali diuruk dengan tanah. Akan tetapi, Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta telah memasang tanda di permukaan tanah. Tanda tersebut menjelaskan adanya artefak di lapisan bawahnya.
Jauh ke belakang, tepatnya pada 2005, juga pernah ditemukan struktur bangunan menyerupai fondasi jembatan di dekat Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Utara. Menurut Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Chandrian Attahiyat, artefak tersebut ditemukan saat pembangunan Terowongan Penyeberangan Orang (TPO) di halte Transjakarta Jakarta Kota.
"Dulu kawasan Batavia kan dikelilingi tembok besar ya. Jembatan ini dulunya menjadi pintu masuk masuknya. Jembatan dan kanal di sana dulu diuruk pada zaman Daendels, sekitar tahun 1808, karena sering menimbulkan penyakit," ungkapnya.
Fondasi ini ditemukan pada kedalaman sekitar 6-7 meter dari permukaan aspal. Struktur tersebut berupa batu andesit, batu bata, dan balok. Jumlah bebatuan dan balok ini diperkirakan mencapai ratusan hingga ribuan. Sebagian besar batu-batu tersebut masih terdapat di sana. Beberapa di antaranya disimpan di Museum Seni Rupa Jakarta.
Pada 2010, saat revitalisasi Kota Tua, juga ditemukan dua jalur trem, tepatnya di dekat Taman Fatahillah. Satu jalur tersebut digunakan untuk trem tujuan Pasar Ikan Muara Baru, sedangkan satu jalur lainnya untuk tujuan Kampung Melayu.
"Kedalamannya hanya 50-60 sentimeter dari permukaan aspal. Periodenya cukup modern yakni sekitar 1905-1930-an," ungkapnya.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Nova Prima, artefak juga sempat ditemukan pada proyek pembangunan double track Manggarai-Cikarang. Temuan tersebut terdapat di Stasiun Bekasi, Jawa Barat.
"Artefak berupa fondasi batu bata ditemukan di sekitar area Stasiun Bekasi. Saat ini sedang dalam pantauan Pemerintah Kota Bekasi," katanya.
Sementara itu, PT Kereta Api Indonesia juga sempat melestarikan ubin asli berusia 102 tahun di Stasiun Manggarai. Ubin tersebut dilestarikan pasca renovasi di Stasiun Manggarai. Ubin tersebut kini ditutup dengan kaca agar para penumpang masih bisa melihat ubin asli stasiun tersebut.
Belum peduli
Menurut Ketua Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali, masih banyak pembangunan di Jakarta yang belum mempedulikan keberadaan artefak dan bangunan-bangunan bersejarah. Ini terutama pembangunan di sekitar kawasan Kota Tua.
Ia menilai, pembangunan ke depan seharusnya lebih berwawasan pelestarian. Saat menemukan artefak, misalnya, lebih baik jika dipamerkan ke publik. Hal semacam ini sebenarnya bisa diterapkan dalam kasus pembangunan TPO Kota Tua.
"Kalau misal dibangun dinding di bawah tanah, buat saja transparan dindingnya. Berikan juga narasi sehingga orang yang melintas bisa sekaligus belajar sejarah," ujar mantan Kepala Museum Mandiri ini.
Asep berharap, pembangunan MRT fase 2a yang dibangun di sekitar kawasan cagar budaya bisa mengangkat situs sejarah. Para penumpang bisa diberikan narasi mengenai pembangunan stasiun dan artefak apa saja yang pernah ditemukan.
"Kalau perlu ditampilkan atau dibuat museum mini di dalam stasiun. Itu perlu disiapkan dari sekarang," ujarnya.