Bantuan UMKM, Hendak Dibelanjakan, tetapi Sayang
Masyarakat tidak bisa dibebani untuk memulai memutar perekonomian. Pemerintah pusat dan daerah didorong menerapkan berbagai strategi memantik kegiatan agar roda perekonomian kembali berputar.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak Maret 2020 mencekik para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Ibu Kota. Ketika pemerintah pusat memberikan stimulus fiskal berupa bantuan sebesar Rp 2,4 juta untuk empat bulan, kebijakan itu disambut dengan gembira oleh masyarakat. Akan tetapi, ternyata bagi-bagi uang itu tidak langsung membuat masyarakat belanja karena banyak yang memilih menabung untuk berjaga-jaga kalau keadaan memburuk.
Di Kelapa Gading Barat, Jakarta Barat, pengusaha salon Donna A Altamirano menunggu pelanggan datang untuk meminta layanan perawatan rambut ataupun penataan rambut. ”Aduh, susah deh di zaman pandemi begini. Omzet turun sampai 80 persen,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (9/11/2020).
Donna sudah memiliki usaha salon selama lebih dari 10 tahun untuk membantu menambah penghasilannya sebagai seorang pegiat di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sebelum pandemi, setiap bulan salon tersebut bisa mendatangkan omzet hingga Rp 2 juta. Ketika pandemi datang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), salon otomatis tidak boleh beroperasi karena dikhawatirkan menjadi kluster penularan virus korona jenis baru.
Sebagai warga Jakarta dari kelompok ekonomi rentan, ia mendapat bantuan sosial berupa paket bahan pokok setiap bulan. Hal ini membantu meringankan pengeluaran Donna untuk konsumsi sehari-hari. Di samping itu, ia masih memiliki pendapatan dari pekerjaannya di LSM walaupun tak seberapa. Cukup untuk membayar kontrakan rumah dan membeli sayur serta lauk sebagai variasi dari sarden kaleng yang diberikan melalui bansos.
Selama pandemi tersebut, walaupun salon ditutup, ia tetap harus membayar sewa tempat dan biaya listrik sehingga memberatkan pengeluaran. Melalui jaringan pertemanan di LSM, Donna memperoleh informasi bahwa salah satu anggota DPRD DKI Jakarta, Eneng Malianasari dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, tengah mengumpulkan data mengenai para pelaku UMKM untuk didaftarkan ke program bantuan pemerintah pusat melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ia pun segera mengumpulkan teman-teman sesama pengusaha salon rumahan di wilayah Kelapa Gading. Setelah terkumpul 12 orang, mereka menyerahkan foto kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan beberapa foto tempat usaha masing-masing ke LSM Perkumpulan Suara Kita yang membantu Eneng mengumpulkan data dari berbagai pelaku UMKM.
”Hampir sebulan setelah kami memberikan data ada pesan singkat yang mengatakan data sedang diverifikasi oleh Dinas UMKM Jakarta. Sekitar dua minggu kemudian saya datang ke BRI cabang terdekat yang antreannya panjang dan ternyata nama saya terdaftar. Langsung deh saya cairkan bantuan Rp 2,4 juta itu,” ujar Donna.
Menurut dia, dari 12 pengusaha salon yang mendaftar, tujuh orang memperoleh bantuan. Sisanya, ketika mendatangi BRI, diberi tahu bahwa nama mereka tidak terdaftar dalam sistem. Akan tetapi, tidak ada penjelasan lebih lanjut alasan nama mereka tidak masuk. Oleh sebab itu, Donna membesarkan hati teman-temannya dengan mengatakan kemungkinan akan ada gelombang kedua karena pendaftar program bantuan tersebut pasti banyak sekali.
Uang yang dicairkan itu segera digunakan untuk membayar tagihan listrik dan kontrakan salon. Selain itu, juga dipakai untuk membeli berbagai kosmetik serta obat-obatan yang dibutuhkan untuk perawatan rambut.
”Minimal uang itu saya putar dulu. Syukur-syukur dengan saya belanja, ada orang lain dapat rezeki dan mau datang ke salon saya,” tuturnya.
Sementara itu, di Rumah Susun Bidara Cina, Tebet, Moses, seorang penjual soto ayam mengubah pola penjualannya. Ia memarkir gerobak sotonya di depan salah satu warung di rusun tersebut dan memilih tidak berdagang keliling. Semenjak pandemi Covid-19, penurunan penjualan sotonya sangat drastis dari 20 mangkuk sehari menjadi lima hingga bahkan tidak ada pembeli sama sekali. PSBB membuat warga di sekitar rusun mengencangkan ikat pinggang dan mengurangi jajan.
Moses menceritakan, sebelum pandemi, setiap sore warga duduk-duduk di halaman rusun untuk bermain catur dan mengobrol. Biasanya sambil mengudap soto. Adanya larangan keramaian dan kewajiban bermasker membuat warga jarang nongkrong. Makan soto dianggap bukan bagian dari kebutuhan pokok sehingga Moses kehilangan pembeli. Akibatnya, selama enam bulan lebih ia hidup dari tabungan dan bansos sembako dari pemerintah.
Sama seperti Donna, ia mendapat informasi mengenai adanya bantuan UMKM dari pemerintah melalui Direktur LSM Suara Kita Hartoyo, yang dimintai tolong oleh Eneng Malianasari untuk mengumpulkan para pelaku UMKM jejaring LSM tersebut. Di rusun Bidara Cina ada 130 orang yang mendaftar. Moses adalah salah satu yang tembus memperoleh bantuan Rp 2,4 juta. Ia tidak tahu jumlah pasti warga rusun yang mendapat bantuan karena umumnya mereka mengurus sendiri-sendiri ke BRI.
Uang segera ia belanjakan untuk membuka kembali usaha sotonya. Perbedaannya adalah, jika sebelum pandemi ia berbelanja mingguan, kini ia belanja untuk harian. ”Setiap hari saya hanya memasak untuk sepuluh porsi supaya tidak mubazir. Saya belum berani mengambil risiko memasak lebih. Sisa satu mangkuk saja berarti sudah Rp 15.000 terbuang,” katanya.
Baca juga: Warga Berusaha Menekan Pengeluaran Selama Resesi
Ditabung
Tidak semua penerima bantuan UMKM membelanjakan uangnya. Ada pula yang memilih menabung, seperti Ienes Angela, pemilik salon rumahan di Mampang Prapatan. Ia tidak berani membeli berbagai barang sekaligus karena takut jika ada pengetatan PSBB salonnya tidak bisa beroperasi sehingga ia sama sekali tidak mempunyai penghasilan.
Saat ini, salonnya masih memiliki pelanggan walaupun dalam satu pekan hanya ada satu orang. Biasanya di masa PSBB pelanggan mayoritas meminta potong rambut dan creambath. Oleh sebab itu, layanan perawatan yang peminatnya sedikit ia tangguhkan. Pendapatan itu ia hemat benar-benar untuk kehidupan sehari-hari. Jika harus berbelanja, hanya sebatas sayur dan lauk untuk dimakan bersama beras yang diperoleh dari bansos.
”Kebetulan obat-obatan untuk rambut masih ada. Nanti kalau sudah habis baru uang dari bantuan pemerintah saya pakai bertahap,” kata Ienes.
Berharap
Orang-orang yang telah mendaftar bantuan UMKM, tetapi belum diterima berharap ada gelombang kedua yang memungkinkan mereka memperoleh dana Rp 2,4 juta tersebut. Salah satunya adalah Dede Hermawan, penjual bakso di rusun Bidara Cina. Ia optimistis bahwa bantuan akan datang sehingga setiap pekan rutin mengecek ke laman tautan e-formulir BRI jika nomor kartu tanda penduduknya sudah masuk ke sistem penerimaan bantuan itu.
Demikian juga Sri Herlina Rizki, pemilik warung beras eceran dan Sofiah, pemilik warung makan di Bidara Cina. Mereka berharap bantuan juga bisa diberikan dan setiap hari berdoa agar nama mereka segera terdaftar di data BRI.
”Nanti duitnya mau buat bayar kontrakan rusun Rp 1 juta per bulan sama tagihan listrik Rp 160.000. Sisanya buat beli makanan buat keluarga,” kata Herlina. Adapun Dede dan Sofiah memilih menabung jika mendapat bantuan dan membelanjakannya secara bertahap jika memang diperlukan.
Pakar mikroekonometri dan kemiskinan Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, menjelaskan bahwa budaya belanja masyarakat Indonesia berbeda dari di negara-negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, begitu pemerintah memberi stimulus fiskal, masyarakat ramai berbelanja sehingga ekonomi cepat berputar. Akan tetapi, di Indonesia naluri masyarakat di masa sulit dan tidak tertebak perkembangannya adalah berhemat secara besar-besaran.
”Pemerintah membayangkan masyarakat Indonesia langsung belanja, padahal praktiknya jauh lebih rumit. Perlu pendekatan berbasis komunitas agar uang dibelanjakan di sekitar tempat tinggal sehingga ada perputaran dalam jangkauan lokal,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Trisakti Tulus TH Tambunan menekankan agar pemutaran uang tidak bisa dibebankan kepada masyarakat untuk memulai. Pemerintah pusat dan daerah bisa memantik kegiatan ini dengan menyegerakan berbagai proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
Kegiatan pembangunan jalan dan jembatan, pengecatan fasilitas umum, serta pembuatan tanggul pencegah banjir justru harus dikerjakan di masa pandemi. Perusahaan pelaksana pembangunan memang hanya segelintir dan yang memenangkan lelang pemerintah, tetapi efek yang mereka berikan berantai dan memutar roda ekonomi.
”Satu perusahaan pasti memiliki berbagai subkontraktor untuk setiap jenis bahan baku. Jadi, walaupun perusahaan yang ditenderkan pemerintah itu pekerjanya hanya 100 orang, subkontraktor-subkontraktor mereka memiliki pekerja yang jika digabung mencapai ribuan,” paparnya.
Tulus menerangkan, Indonesia, bahkan Jakarta, tidak bisa diharapkan dapat memutar uang dari konsumsi rumah tangga yang terpukul paling berat akibat pandemi. Apalagi, mayoritas perusahaan di Jakarta bergerak di bidang kontraktor dan jasa yang pendapatannya bergantung pada proyek pemerintah. Memang harus pemerintah yang memulai kembali dengan pembangunan sarana prasarana umum.
Baca juga: DKI Perlu Membuat Kebijakan Pendorong Belanja Rumah Tangga