Di dunia digital, setiap orang bisa jadi korban. Tak hanya pesohor, warga pun berisiko terkena tindak kejahatan, penipuan digital, dan bocornya data pribadi ke dunia maya. Karenanya, perlindungan data jadi penting.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebocoran konten privat di internet menjadi alarm agar semua orang lebih paham risiko menaruh data di gawai. Dengan pengetahuan mitigasi risiko, warganet bisa mengukur apa saja yang akan dikorbankan ketika data pribadi mereka beredar di publik. Standar pengamanan pun bisa disesuaikan dengan potensi risiko yang ditimbulkan.
Beberapa hari terakhir, konten privat milik sejumlah pesohor beredar ke publik. Konten privat itu membuat para pesohor yang diduga terlibat menjadi perbincangan warganet. Reputasi pun dipertaruhkan. Akan tetapi, persoalan konten privat yang bocor ini tidak hanya mengancam publik figur. Semua orang bisa menjadi korban.
Karyawan swasta di Jakarta, Wisnu (26), menyimpan konten privatnya di folder terpisah. Dengan begitu, konten sensitif berupa video tak muncul di galeri gawai. Dia juga memberi kata kunci pada setiap aplikasi sensitif, seperti galeri dan aplikasi percakapan.
”Konten yang sifatnya sensitif disimpan di memori eksternal. Ketika gawai rusak dan harus diperbaiki, memori eksternalnya dicabut dulu,” ujarnya, Senin (9/11/2020) di Jakarta.
Dia menambahkan, konten pribadi sebaiknya tidak dibagi kepada orang lain. Sebab, tak ada yang bisa menjamin kerahasiaan data setelah dibagikan ke orang lain. Medium pengiriman melalui aplikasi percakapan pun sangat rentan diretas.
Konten yang sifatnya sensitif disimpan di memori eksternal. Ketika gawai rusak dan harus diperbaiki, memori eksternalnya dicabut dulu.
Elsa Toruan (29), karyawan di salah satu perusahaan konsultan komunikasi di Jakarta, membagi data privat di dua tempat, yakni di gawai dan di surel. Dia memproteksi gawai dengan memberi kata kunci pada aplikasi percakapan dan galeri. ”Kan, ada saja teman kita yang kepo dan buka-buka gawai kita. Makanya, selain mengunci layar, aku juga mengunci aplikasi,” ujarnya.
Data privat tersebut dia simpan pula di surel sebagai data cadangan. Biasanya, dia menyimpan di Google Drive. Ia pun tidak membuka surel di sembarang gawai. Surel hanya diakses dari perangkat miliknya. Setiap bulan, kata kunci surel diperbarui.
Nini Karlina (30), warga Tanah Datar, Sumatera Barat, melindungi data privat dengan membatasi akses aplikasi di gawai. ”Aplikasi yang baru dipasang biasanya meminta akses ke kontak, galeri, dan lain-lain. Akses ini biasanya saya tolak, tetapi risikonya fungsi aplikasi yang digunakan jadi terbatas. Namun, tidak masalah karena, kalau diizinkan untuk mengakses semua data di gawai, siapa yang bisa jamin data kita aman,” ujarnya.
Selain itu, Nini mencadangkan data privat di perangkat yang tak selalu terhubung dengan internet. Sebagian data privat, misalnya, dia simpan di
flashdisk. ”Saya juga simpan di laptop karena laptop saya tidak terhubung secara terus-menurus ke internet,” katanya menambahkan.
Sekretaris Indonesia Cyber Security Forum Satriyo Wibowo menjelaskan, warganet harus mengenali risiko penyimpanan data penting di gawai, termasuk kerugian yang ditimbulkan ketika data tersebar di publik. ”Apakah kerugiannya berupa materi atau reputasi? Ini yang menentukan standar keamanan perangkat yang akan digunakan,” ucapnya.
Untuk mengantisipasi kerugian materi, misalnya, warganet yang memasang aplikasi internet banking di gawai harus memecah saldo. Ini terutama berlaku bagi warganet yang memiliki uang di rekening dalam jumlah besar. ”Misalnya ada uang di rekening Rp 1 miliar. Usahakan 20 persen saja yang bisa ditarik langsung, sisanya deposito. Ketika gawai diretas dan peretas masuk ke aplikasi internet banking, hanya 20 persen itu kerugian kita. Sisa saldo lain masih aman,” tuturnya.
Selain itu, dia menyarankan warganet memilih gawai yang tingkat keamanannya bagus. Gawai dengan keamanan bagus sudah dilengkapi keamanan sidik jari dan pengenal wajah. Jika data di gawai sangat penting dan krusial, tidak ada salahnya memasang antivirus dan virtual private network (VPN) berbayar.
”Aplikasi berbayar cenderung lebih aman. Ini sesuai dengan adagium di dunia digital: ketika Anda tidak membeli sebuah produk atau produk itu Anda dapat gratis, berarti Andalah yang dijual,” ungkapnya.
Di dunia digital, katanya, setiap orang bisa terkena social engineering attack. Tak hanya pesohor, warganet biasa pun berisiko terkena tindak kejahatan atau penipuan digital. Ini karena semua data pribadi kebanyakan merupakan data statis, seperti tanggal lahir, nama orangtua, dan pekerjaan tetap. Ketika data tersebar, profil kita sudah diketahui.
”Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengelola data pribadi secara mandiri berbasis manajemen risiko dengan mengidentifikasi aset digital, mengaktifkan perlindungan perangkat, memonitor akses, merespons dan memulihkan data segera jika terjadi serangan digital dengan mengontrol keamanan yang bisa diakses secara rutin,” paparnya.