Pengamat mempertanyakan indikator penanganan banjir Jakarta yang menjanjikan dapat tuntas dalam enam jam. Hal ini karena di Ibu Kota ada beberapa jenis banjir yang membutuhkan penanganan berbeda.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah DKI Jakarta sudah memasuki musim hujan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memastikan, antisipasi atas tiga jenis banjir yang sering terjadi di wilayah Ibu Kota betul-betul siap. Di sisi lain, pengamat juga mempertanyakan indikator penanganan banjir enam jam yang diungkapkan Gubenur DKI Anies Baswedan.
Nirwono Joga, peneliti dari Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, Sabtu (7/11/2020), menjelaskan, banjir di Jakarta mesti dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama adalah banjir kiriman dari wilayah Puncak Bogor, kemudian banjir lokal di wilayah Jakarta, serta banjir rob atau pasang air laut.
Setiap jenis banjir, menurut Nirwono, memiliki cara penanganan sendiri-sendiri. Untuk banjir kiriman, hal itu akan berkaitan erat dengan penanganan bantaran kali dan curah hujan. Karena penanganan bantaran kali atau yang selama ini dilakukan normalisasi kali belum maksimal, aliran air dari puncak membanjiri kawasan sekitar kali. Jika curah hujan tinggi, luberan air kali bisa makin luas.
Lalu banjir lokal, yaitu banjir yang terjadi karena hujan di wilayah Jakarta saja dengan curah hujan tinggi. Banjir lokal, seperti pada awal tahun 2020, terjadi karena ketidakseimbangan antara kapasitas drainase dan volume air yang masuk.
Nirwono memberi gambaran, saat ini drainase di Jakarta berkapasitas 100-150 milimeter (mm) per hari. Dengan curah hujan sangat tinggi seperti pada awal tahun yang mencapai 370 mm per hari, jelas air tidak tertampung sehingga genangan tak terelakkan.
Lalu ketiga, lanjutnya, adalah banjir rob atau banjir yang terjadi karena pasang air laut. Untuk banjir jenis ini, yang diperlukan Jakarta adalah penanganan kawasan pesisir.
Dari fakta itu, Nirwono mempertanyakan indikator yang dipakai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahwa penanganan banjir dikatakan baik apabila tidak ada korban jiwa dan genangan surut dalam enam jam begitu hujan berhenti. Hal itu disampaikan Anies saat apel kesiapsiagaan menghadapi musim hujan di Lapangan JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/11/2020).
Nirwono mengatakan, seharusnya indikator penanganan itu dijelaskan sambil melihat jenis banjir yang terjadi. Apabila indikator penanganan itu diterapkan pada genangan yang muncul karena hujan kiriman, ia mengajak untuk kembali melihat penanganan bantaran kali Jakarta. Kegiatan normalisasi kali di Jakarta sudah terhenti sejak 2017. Belum lagi apabila curah hujan di kawasan puncak tinggi, semakin besar curah hujannya, semakin besar luapannya, berarti akan semakin luas dampak banjirnya.
”Berarti itu tidak mungkin dalam enam jam penanganannya? Artinya, di situ kalau itu yang dijadikan patokan, seharusnya patokannya adalah bagaimana penanganan di bantaran sungai. Belum lagi curah hujan. Kalau curah hujan makin tinggi, ya, semakin lama,” tuturnya.
Kemudian, apabila penanganan enam jam untuk banjir rob, menurut Nirwono, akan lain lagi cara penanganannya.
Sementara jika penanganan enam jam diterapkan pada banjir lokal, ia memastikan, itu bisa saja dilakukan. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan pompa-pompa air. Ia meyakini, penanganan enam jam itu lebih pada genangan yang terjadi di jalan-jalan utama Ibu Kota karena mudah terlihat.
Upaya gerebek lumpur yang selama ini dilakukan dinas sumber daya air (SDA), lanjutnya, bisa menjadi antisipasi, tetapi belum memenuhi syarat. Sebab, kegiatan itu lebih sebagai kegiatan rutin, mengeruk lumpur di saluran. Jika bicara banjir lokal, dinas SDA sudah tidak bisa lagi mengeruk saluran.
”Dinas mesti segera memetakan saluran air yang perlu diperlebar, diperbesar, dan diperbaiki. Dinas SDA perlu melihat kembali seberapa efektif sistem draianase di Jakarta karena faktanya drainase kita hanya mampu menampung maksimal 150 mm per hari,” kata Nirwono.
Dengan indikator penanganan banjir enam jam, ia mengajak Pemprov DKI Jakarta untuk kembali ke dasar indikator tersebut. ”Itu dasarnya apa dulu, lokasinya di mana? Jenis banjirnya sudah berbeda. Penanganan banjir di tepi sungai, di kota atau di jalanan, dan di tepi pantai itu beda. Dan itu lagi-lagi tergantung dari penanganan di tiga tempat itu karena solusinya berbeda,” katanya.
Yang perlu dikhawatirkan, ujarnya, justru pada saat yang bersamaan terjadi hujan di tiga tempat itu dalam satu-dua hari. ”Kalau itu terjadi, dijamin indikator penanganan bajir enam jam terlewati. Rob, pompa tidak bekerja. Air mau dipompa ke mana juga tidak bisa,” ucapnya.
Itu sebabnya, ia menegaskan, Pemprov DKI harus bisa memastikan antisipasi atas ketiga jenis banjir itu betul-betul siap.
Sementara Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota DKI, Kamis (5/11/2020), menyampaikan, untuk penanganan banjir di Jakarta dan indikator penanganan, semuanya dibahas dalam Instruksi Gubernur Nomor 52 Tahun 2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim.
”Melalui Ingub No 52, semua sudah dibahas secara detail. Rencana aksinya dari tingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan RT/RW sudah disusun secara baik dan kami sekarang dalam proses penyelenggaraan ingub tersebut. Perencanaan juga sudah disusun secara detail dan komprehensif,” katanya.
Ahmad Riza menyebut beberapa upaya yang dilakukan berupa pengerukan sungai, waduk, situ, dan embung. Lalu membuat sodetan-sodetan serta optimalisasi pompa-pompa yang dipastikan semuanya berjalan dengan baik dan optimal. Upaya lain, ujar Ahmad Riza, Pemprov terus membangun drainase vertikal.
”Di samping program lain, di antaranya pembebasan lahan yang sempat tertunda. Insya Allah ada prioritas tahun ini dan tahun depan sampai 2022 dengan anggaran yang cukup. Memang ada tantangan, yaitu La Nina, kemudian curah hujan yang tinggi. Untuk itu, kami minta masyarakat tidak membuang sampah sembarangan. Selokan, got, dan lain-lain dibersihkan,” ujarnya.