DKI Perlu Membuat Kebijakan Pendorong Belanja Rumah Tangga
Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang minus 3,82 persen di triwulan III-2020 ditandai dengan bertambahnya pengangguran. Pengusaha dan ekonom menilai perlu ada pemberian pelatihan kewirausahaan selain bantuan sosial.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdampak pandemi Covid-19, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia DKI Jakarta mencatat pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta di triwulan III-2020 minus 3,82 persen. Pertumbuhan minus ini ditandai salah satunya dengan jumlah pengangguran yang bertambah dan konsumsi rendah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mesti membuat desain kebijakan yang bisa mendorong belanja rumah tangga dan mengalokasikan anggaran khusus bagi pelatihan dan pendampingan kewirausahaan bagi warga yang kehilangan pekerjaan atau pengangguran.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Sabtu (7/11/2020), menjelaskan, bila dibedah per sektor, konsumsi atau belanja pemerintah naik tinggi. Belanja Pemprov DKI Jakarta tercatat 57,89 persen dan berkontribusi 17,17 persen pada pertumbuhan ekonomi Ibu Kota. Meski belanja pemerintah besar, belanja rumah tangga malah minus cukup dalam, yaitu minus 5,28 persen.
”Ini berarti meski ditopang belanja pemerintah tetapi belum mampu menggerakkan konsumsi rumah tangga secara total di DKI Jakarta. Sementara, konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam ekonomi,” kata Bhima.
Jadi, kalau PPN bisa diturunkan 5 persen atau 2 persen, ini ada efek langsung pada bergeraknya konsumsi kelas menengah ke atas.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, ke manakah anggaran belanja pemerintah itu? ”Anggaran itu apakah mengalirnya ke belanja pegawai? Apakah larinya balik lagi untuk belanja barang? Kemudian apakah masih masuk juga ke proyek-proyek infrastruktur di DKI supaya tetap berjalan?” kata Bhima.
Selama pandemi Covid-19, kata Bbhima, yang perlu mendapat bantuan dan dukungan bukan hanya kelas menengah ke bawah, melainkan kelas menengah ke atas juga perlu didukung.
Untuk itu, ia menyarankan, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan pemerintah pusat mendesain kebijakan yang mendorong belanja atau konsumsi rumah tangga. Yang menjadi pendorong terbesar pertumbuhan di sektor belanja adalah kelas menengah ke atas.
Bhima menyarankan supaya ada pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang semula 10 persen menjadi 5 persen atau 2 persen atau malah ditangguhkan. Dengan demikian, ada dorongan bagi kelas menengah ke atas untuk mau belanja.
”Waktu itu saya tawarkan tarif PPN itu diturunkan atau ditangguhkan sementara. Karena PPN ini yang langsung dibayar oleh konsumen akhir. Jadi, kalau orang-orang kelas menengah ke atas ini beli makanan-minuman, di restoran, di hotel, ataupun di pusat perbelanjaan, akan kena PPN 10 persen. Jadi, kalau PPN bisa diturunkan 5 persen atau 2 persen, ini ada efek langsung pada bergeraknya konsumsi kelas menengah ke atas,” katanya.
Sebagai gambaran, 20 persen pengeluaran kelas teratas berkontribusi 48,5 persen terhadap total konsumsi DKI Jakarta; 40 persen pengeluaran kelas menengah berkontribusi 34,3 persen terhadap total konsumsi DKI Jakarta; sedangkan 40 persen pengeluaran terbawah hanya berkontribusi 17,1 persen.
Menurut Bhima, kebijakan pengurangan PPN jauh lebih efektif dibandingkan membuat kebijakan penguran PPH badan. Saat pandemi Covid-19 di mana banyak perusahaan merugi dan tidak memiliki profit, maka PPH badan tidak akan dibayarkan.
Namun, kata Bhima, kebijakan itu harus diikuti dengan jaminan pemerintah mengenai penanganan Covid-19. Saat ini, memang DKI Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Bagaimana dengan pelonggaran yang ada, pemerintah bisa menekan kasus harian, kasus kematian, memastikan kesiapan dari fasilitas kesehatan, tes yang lebih banyak, hingga tracing yang cepat.
”Ini yang harusnya dilakukan secara sinergis sehingga pandemi bisa ditekan dan orang kaya ini bisa mulai berbelanja lagi dengan aman dan nyaman,” katanya.
Sarman Simanjorang, Ketua Umum Dewan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, menjelaskan, kebijakan PSBB transisi dapat mendongkrak ekonomi Jakarta. Namun, itu belum maksimal karena masih pembatasan antisipasi penyebaran Covid 19.
Ia melihat, untuk menaikkan konsumsi rumah tangga, program bantuan sosial dan bantuan langsung tunai dilanjutkan dan ditingkatkan, termasuk di antaranya bantuan modal kerja kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di DKI Jakarta.
Langkah itu bisa menjawab sementara dampak lain karena pertumbuhan ekonomi yang minus, yaitu pengangguran. Buyung Airlangga, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, merilis, tingkat pengangguran terbuka di DKI Jakarta pada Agustus 2020 sebesar 10,95 persen atau setara 572.780 orang.
Bila dibandingkan dengan keadaan Agustus 2019, pengangguran di DKI Jakarta naik 4,41 persen atau bertambah 233.378 orang. Lalu selama periode pandemi, sektor formal kehilangan 453.295 pekerja, tetapi hanya 259.597 pekerja mampu diserap oleh kembali di sektor yang sama. Akibatnya, 193.698 orang kehilangan pekerjaan.
Bhima melanjutkan, kalau ada pengangguran banyak, akan rawan konflik sosial. ”Jadi harus disiapkan jaring pengaman sosial yang lebih besar, bahkan sampai 2021. Anggaran perlindungan sosial, bantuan langsung tunai, sembako, untuk yang kelas menengah ke bawah ini, baik yang KTP DKI maupun luar DKI, dilanjutkan,” katanya.
Bagi tenaga kerja yang non-DKI yang sudah pulang ke daerah asal yang ada di sekitar Ibu Kota, maka daerah-daerah tetangga juga sebaiknya memberikan pelatihan kewirausahaan. Demikian juga untuk mereka yang masih menetap di Jakarta, Pemprov DKI bisa memberikan pelatihan kewirausahaan dan pendampingan.
Program untuk UMKM perlu terus diperluas karena masih banyak yang belum mendapat atau malah baru ada yang menjadi UMKM ketika menganggurnya sekarang dan membuka usaha dadakan. ”Pendataan harus cepat supaya mereka bisa segera mendapat bantuan,” kata Bhima.
Simanjorang melanjutkan, bantuan itu bisa diarahkan khususnya ke kelas mikro karena mereka menggerakkan ekonomi akar rumput, misalnya pedagang makanan atau warung makan, pedagang mi ayam dan bakso, kelontong dan lain-lain.
Menurut Simanjorang, masalah pengangguran akan sangat bergantung pada normalnya perekonomian Jakarta. ”Semakin cepat kita keluar dari pandemi Covid-19, maka dunia usaha semakin bergairah dan lapangan usaha semakin terbuka. Kita berharap Pemprov DKI dapat menciptakan program padat karya untuk memberdayakan para penganggur, termasuk strategi bagaimana agar investor pasca-Covid-19 masuk ke Jakarta,” katanya.
Untuk itu, Simanjorang melanjutkan, Pemprov DKI harus lebih maksimal mengendalikan penyebaran Covid-19 sehingga kebijakan pelonggaran dapat diperluas. Dengan demikian, nantinya berbagai aktivitas bisnis dan ekonomi di Jakarta dapat lebih leluasa dan bergairah.
”Terlebih sebentar lagi memasuki perayaan Natal dan Tahun Baru dapat dimanfaatkan momentum untuk menggairahkan ekonomi Jakarta yang akan mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2020,” kata Simanjorang.