Faktor esensial seperti peremajaan trotoar dan pembenahan stasiun kereta masih bermasalah di Bodetabek, baik dari segi anggaran, persepsi masyarakat, maupun wujud layanan yang diberikan,
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sinergi transportasi publik tidak bisa hanya dilakukan di dalam Ibu Kota. Wilayah aglomerasi seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi juga harus mulai mengintegrasikan diri dalam jaringan angkutan umum yang mudah diakses masyarakat, murah, serta ramah lingkungan. Persepsi ini adalah keniscayaan dalam pembangunan wilayah masa kini.
“Satu wilayah tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan kabupaten/kota di sekitarnya. Pembangunan sarana transportasi publik di Jakarta semestinya juga bisa meluas ke daerah aglomerasi,” kata Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan, Polana Pramesti dalam seminar virtual bertema “Pembelajaran dari DKI Jakarta Memperoleh Sustainable Transport Award 2021”. Diskusi dilakukan pada hari Jumat (6/11/2020).
Oleh sebab itu, BPTJ menganjurkan agar pemerintah daerah Jabodetabek bersama-sama mengusulkan proposal pembangunan transportasi terintegrasi ke Kementerian Perhubungan. Selain lebih efisien dari segi pembiayaan, perencanaan ini berbentuk holistik dan langsung melihat wilayah aglomerasi sebagai satu kesatuan akses.
Targetnya Jakarta memiliki 500 kilometer jalur sepeda. Akibat pandemi Covid-19, target pembangunan jalur sepeda ini dikurangi menjadi 200 kilometer untuk tahun 2022. (Syafrin Liputo)
Hal itu menjawab pertanyaan beberapa perwakilan pemerintah daerah Bodetabek mengenai keberhasilan Jakarta mengembangkan sistem transportasi yang memiliki integrasi antarmoda kendaraan maupun dengan pejalan kaki dan pesepeda.
Di Bodetabek, faktor esensial seperti peremajaan trotoar dan pembenahan stasiun kereta yang dilakukan sendiri-sendiri, umumnya masih bermasalah. Baik itu mengandung masalah dari segi anggaran, persepsi masyarakat, maupun wujud layanan yang diberikan.
Terkait sektor transportasi, September lalu Jakarta memenangi Sustainable Transport Award 2021 atau penghargaan transportasi berkelanjutan yang diberikan oleh Sustainable Transportation Award Committee. Komite ini terdiri atas berbagai lembaga global yang mengkaji perkembangan jaringan angkutan umum terintegrasi dan ramah lingkungan, salah satunya adalah Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Asia Tenggara.
Direktur ITDP Asia Tenggara Faela Sufa menjelaskan, penghargaan menilai gagasan inovatif dari berbagai kota di dunia, bukan berdasar infrastruktur fisik serta layanan publik yang telah didirikan.
Dari aspek ini, Jakarta dinilai ambisius, dengan target terukur dan perencanaan sistematis. Tak heran, Jakarta mengalahkan kota-kota lain, di antaranya Frankfurt (Jerman), San Francisco (Amerika Serikat), dan Auckland (Selandia Baru). Sebelumnya, anugerah untuk tahun 2020 dimenangi oleh Kota Pune di India.
“Persepsi layanan angkutan umum di Jakarta tidak lagi sekadar memberi banyak unit kendaraan dan membangun infrastruktur fisik, tapi sudah berbasis kajian perilaku masyarakat, kapasitas lahan, serta dampak pembangunan bagi perubahan dinamika sosial dan ekonomi,” tuturnya.
Faela menjabarkan, dulunya kota-kota di Indonesia sekadar membangun trotoar dan jalur sepeda. Akan tetapi, pemerintah daerahnya tidak menganalisa perilaku masyarakat dalam bergerak.
Akibatnya, walaupun ada trotoar, fasilitas itu tidak dimanfaatkan pejalan kaki dan malah diokupasi pedagang kaki lima. Zaman sekarang, lanjut Faela, pendekatannya harus dari segi sosial kepada warga yang wilayahnya dibangun, warga kota secara keseluruhan, dan tata ruang fisik.
Orientasi manusia
Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, sejak 2018 pembangunan angkutan umum di Jakarta berfokus kenyamanan manusia, dalam hal ini pejalan kaki. Artinya, semua layanan transportasi harus bisa diakses warga, tanpa pemakaian kendaraan bermotor milik pribadi atau sewaan. Titik awal dari rumah dan titik akhir menuju tujuan, jika memungkinkan dicapai dengan berjalan kaki atau memakai kendaraan ramah lingkungan seperti sepeda dan otoped listrik.
“Integrasi antarmoda transportasi seperti bus transjakarta, MRT, KRL, LRT dengan jalur sepeda dan trotoar menjadi sangat penting. Selain itu juga ada disinsentif terhadap pemakaian kendaraan pribadi seperti penaikan pajak dan tarif parkir,” ujarnya.
Data Dishub Jakarta menunjukkan untuk pengguna bus transjakarta tahun 2018 ada 187,96 juta penumpang. Di tahun 2019 meningkat 41 persen menjadi 265,16 juta penumpang. Tentunya pada masa pandemi Covid-19 dengan adanya pembatasan sosial berskala besar jumlah penumpang sengaja dikurangi guna mencegah penularan virus korona jenis baru.
Ditambah pembangunan MRT dan LRT, kian banyak warga Jakarta menggunakan layanan angkutan umum. Apalagi, kini angkutan kota seperti mikrolet dirangkul ke dalam jaringan transportasi tersistem menjadi mikrotrans. Mereka secara bertahap dibenahi agar tidak menunggu penumpang (ngetem) sembarangan, memiliki halte yang pasti, dan terjadwal.
Menurut Syafrin, sudah ada 67 kilometer trotoar dan 63 kilometer jalur sepeda yang dibenahi. Targetnya Jakarta memiliki 500 kilometer jalur sepeda. Akibat pandemi Covid-19, target pembangunan jalur sepeda ini dikurangi menjadi 200 kilometer untuk tahun 2022. Sejauh ini telah tersedia 475 unit sepeda yang bisa digunakan oleh publik melalui sarana bike-sharing.
Titik-titik yang dinilai vital bagi pejalan kaki juga telah dibenahi di Tahap I, yaitu trotoar di wilayah Sudirman, Kawasan Senen, dan Terowongan Kendal. Pada Tahap II akan dilakukan peremajaan di wilayah Cikini, Kemang, dan Pasar Baru. Demikian pula dengan stasiun kereta pada Tahap I membenahi Tanah Abang, Juanda, Senen, dan Sudirman. Tahap II giliran stasiun Palmerah, Tebet, Manggarai, Kota, dan Gondangdia.
“Pastinya masyarakat setempat juga dilibatkan karena mereka yang akan memanfaatkan layanan angkutan terintegrasi sekaligus menjaga ketertiban di sarana publik tersebut,” kata Syafrin.
Sebagai tambahan, Kepala Bidang Angkutan Jalan Dishub Jakarta, Susilo Dewanto menuturkan, khusus jalur sepeda juga akan dibentuk berupa pop-up atau terjadwal. Artinya, di beberapa jalan akan ditutup untuk kendaraan bermotor setiap hari pada jam tertentu dan hanya bisa dilalui oleh sepeda.
Selain itu, di sisi integrasi antarmoda juga akan dilakukan dengan kapal feri menuju Kepulauan Seribu dengan membenahi akses ke titik-titik penyeberangan.